Melemah 2 Hari Beruntun, Rupiah Mulai Kehabisan 'Bensin'?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 June 2020 06:30
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Well, kalau bicara 'bensin' sebetulnya isi dalam tangki rupiah masih melimpah. 'Bensin' di sini bisa diartikan sebagai fundamental penyokong rupiah, sesuatu di dalam yang membuatnya bisa terus melaju.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa fundamental rupiah masih cukup kuat, jarum masih jauh dari huruf E. Pertama adalah transaksi berjalan (current account), neraca yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa.

Pada kuartal I-2020, neraca berjalan Indonesia memang masih defisit tetapi semakin menipis di 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi yang terendah sejak 2017.

Pada kuartal II-2020, sepertinya defisit transaksi berjalan tetap terjaga rendah. Pasalnya, impor kemungkinan masih lemah sehingga tidak terlalu menjadi beban.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pada April terkontraksi (tumbuh negatif) -18,58% secara tahunan (year-on-year/YoY). Ekspor juga terkontraksi tetapi lebih landai yaitu -7,02% YoY. Ini membuat neraca perdagangan Indonesia selama Januari-April surplus US$ 2,25 miliar.

Pada Mei, konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor mengalami kontraksi -18,8% YoY sementara impor anjlok lebih dalam di -24,7% YoY. Neraca perdagangan diramal surplus US$ 560 juta.

Ini menunjukkan bahwa peluang perbaikan transaksi berjalan pada kuartal II-2020 cukup tinggi karena ada harapan surplus devisa dari ekspor-impor barang. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) berani memperkirakan defisit transaksi berjalan bisa terjaga di bawah 2% PDB untuk keseluruhan 2020.

Indikator kedua adalah inflasi. Sepanjang Januari-Mei 2020, laju inflasi domestik sangat rendah yaitu 0,9% tahun kalender (year-to-date/YtD).

Tren inflasi rendah berpeluang berlanjut pada Juni. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pada pekan pertama, BI memperkirakan inflasi Juni hanya 0,04% secara bulanan (month-to-month/MtM). Jika ini terjadi, maka inflasi Januari-Juni 2020 adalah 0,94% YtD, belum menyentuh 1%.

Meski di satu sisi menunjukkan kelesuan daya beli, tetapi di sisi lain inflasi yang rendah mencerminkan kuatnya suatu mata uang. Secara riil, nilai mata uang relatif tinggi karena tidak 'termakan' oleh inflasi.

Indikator ketiga adalah cadangan devisa. Per akhir Mei, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 130,5 miliar, tertinggi sejak awal tahun ini.

Ke depan, peluang peningkatan cadangan devisa lebih lanjut masih terbuka seiring seiring derasnya pasokan valas akibat tren kebijakan moneter ultra-longgar di berbagai negara. Fitch Ratings memperkirakan nilai stimulus moneter dalam bentuk pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) oleh seluruh bank sentral dunia pada tahun ini bisa mencapai US$ 6 triliun.

Dengan prospek cadangan devisa yang cerah ini, investor boleh yakin bahwa rupiah bakal terus stabil bahkan bisa cenderung menguat. Sebab, BI akan punya 'peluru' yang cukup untuk menjaga rupiah kalau sampai terjadi apa-apa.

Berdasarkan tiga indikator tersebut, terlihat bahwa 'bensin' rupiah masih jauh dari habis. Fundamental yang semakin kuat membuat rupiah masih punya ruang untuk kembali terapresiasi. Makanya BI sering bilang bahwa level rupiah yang sekarang masih terlalu murah (undervalued) sehingga bisa menguat lagi.

(aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular