Ramai-ramai Suntik Maskapai Global, Nasib Garuda Cs Gimana?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
12 June 2020 07:05
PESAWAT
Foto: REUTERS/Darren Whiteside

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 benar-benar menghantam sektor penerbangan dan jasa pendukungnya. Maskapai-maskapai global hingga perusahaan penerbangan dalam negeri pun dibuat tak berdaya, pendapatan anjlok karena karantina wilayah, perusahaan pun melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena beban meningkat.

Melihat kondisi ini, pemerintah sejumlah negara pun turun tangan ikut berupaya mempertahankan kelangsungan usaha maskapai penerbangan dengan memberikan dana talangan (bailout).

Berikut beberapa maskapai yang berupaya bertahan dan mendapatkan dana talangan dari pemerintah.

Cathay Pacific

Pada 9 Juni lalu, pemerintah Hong Kong mengungkapkan akan mengucurkan paket dana talangan sebesar HK$ 30 miliar atau setara dengan Rp 54,33 triliun (asumsi kurs Rp 1.811/HKD) untuk menyelamatkan maskapai penerbangan Cathay Pacific Airways. Suntikan dana itu akan memberikan jatah pemerintah dua kursi di dewan pengawas atau komisaris.

Menurut laporan South China Morning Post, kesepakatan bailout itu mencakup pinjaman pemerintah dan penyertaan saham. Bailout ini juga menjadi bagian dari restrukturisasi modal senilai HK$ 40 miliar (Rp 72,3 triliun) guna membantu maskapai tersebut dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Di bawah rencana penyelamatan Cathay ini, pemerintah Hong Kong akan membeli saham preferen (saham dengan hak suara terbatas) senilai HK$ 19,5 miliar sehingga akan memberikan 6% saham perusahaan, dan mendapatkan waran (pemanis saat membeli saham) senilai HK$ 1,95 miliar yang bisa dieksekusi di kemudian hari.

FILE PHOTO: A passenger walks to the First Class counter of Cathay Pacific Airways at Hong Kong Airport in Hong Kong, China April 4, 2018. REUTERS/Bobby YipFoto: REUTERS/Bobby Yip
FILE PHOTO: A passenger walks to the First Class counter of Cathay Pacific Airways at Hong Kong Airport in Hong Kong, China April 4, 2018. REUTERS/Bobby Yip

Selain itu, bantuan ini juga berupa pinjaman jangka pendek (bridging loan) dari pemerintah senilai HK $ 7,8 miliar yang akan memberikan dua kursi dewan komisaris di Cathay.

Kesepakatan tersebut juga termasuk penerbitan saham baru atau rights issue senilai HK $ 11,7 miliar. Dana ini akan diserap oleh pemegang saham lama yang dipimpin oleh Swire Pacific Ltd dan Air China Ltd. Saham Swire sudah dihentikan sementara pada Selasa pagi bersamaan dengan pengumuman Cathay ini.

Cathay menjelaskan Swire memegang 45% saham, Air China 30% dan Qatar Airways dengan rencana menyerap 10% saham baru untuk berpartisipasi dalam rights issue tersebut. Dengan menyerap sebagian saham baru, maka kepemilikan mereka akan turun atau terdilusi menjadi 42%, 28% dan 9,4% sesudah penerbitan saham baru ini.

Cathay sudah mendaratkan (grounded) sebagian besar pesawat akibat turunnya permintaan penerbangan di tengah aturan pembatasan perjalanan terkait virus corona. Sejauh ini, Cathay hanya menerbangkan pesawat kargo, dan penumpang ke tujuan utama seperti Beijing, Los Angeles, Singapura, Sydney, Tokyo, dan Vancouver.

Bulan lalu, Cathay membukukan kerugian yang tidak diaudit sebesar HK$ 4,5 miliar dari bisnis maskapai full-service Cathay dan Dragon selama periode Januari-April.

Maret lalu, Cathay juga menjual enam jet Boeing 777-300ER dan peralatan terkait senilai US$ 703,8 juta kepada BOCAviation Ltd. Menurut analis Morningstar, Ivan Su penjualan ini akan mencakup lebih dari setengah proyeksi arus kas keluar pada tahun 2020.

Singapore Airlines

Pada 27 Maret lalu, Singapore Airlines Ltd mengungkapkan sudah mendapatkan dana talangan hingga S$ 19 miliar (US$ 13 miliar) atau setara Rp 182 triliun (kurs Rp 14.000/US$) untuk membantu maskapai ini keluar dari dampak pandemi Covid-19.

Reuters melaporkan, dana talangan ini adalah satu-satunya paket pembiayaan terbesar yang diumumkan oleh sebuah maskapai penerbangan karena terdampak permintaan yang ambles akibat pandemi.

SQFoto: Singapore Airlines
SQ

Pemegang saham mayoritas Singapore Airlines, Temasek Holdings, mengungkapkan akan menyerap penjualan saham perusahaan dan obligasi konversi yang diterbitkan maskapai tersebut hingga S$ 15 miliar. Selain itu, bank terbesar di Singapura, DBS Group Holdings Ltd juga memberikan pinjaman sebesar S$ 4 miliar.

"Transaksi ini tidak hanya akan membuat SIA bisa menghadapi kendala likuiditas keuangan dalam jangka pendek, tetapi bisa menunjang pertumbuhan bisnis setelah pandemi," kata Kepala Eksekutif Internasional Temasek, Dilhan Pillay Sandrasegara, dilansir Reuters.

"Pengiriman pesawat generasi baru dalam beberapa tahun ke depan akan memberikan efisiensi bahan bakar yang lebih baik serta memenuhi strategi ekspansi perusahaan," tegasnya.

Sebelumnya, Singapore Airlines atau SIA Group sudah memangkas 96% kapasitas penerbangannya hingga akhir April, mengikuti langkah yang dilakukan sejumlah maskapai penerbangan global yang juga memangkas kapasitas karena coronavirus yang menyebar cepat dan membuat permintaan perjalanan anjlok.

Dalam pernyataan resmi, dikutip Bloomberg, perusahaan akan mengkandangkan (grounded) 138 dari 147 unit pesawat Singapore Airlines dan unit bisnisnya yang lain yakni SilkAir. Adapun divisi penerbangan berbiaya murah atau LCC (low cost carrier) yakni Scoot juga mendaratkan 47 dari 49 pesawatnya.

"Tidak jelas kapan SIA Group dapat mulai melanjutkan layanan penerbangan secara normal, mengingat ketidakpastian kapan kontrol terhadap perbatasan yang ketat akan dicabut," tulis pernyataan tersebut.

Singapore Airlines akan menunda pengiriman pesawat dan mengurangi gaji dalam upaya mengurangi biaya.

Lufthansa

Pemerintah Jerman dan Lufthansa, maskapai yang terpukul keras oleh pandemi coronavirus, akhirnya mencapai kesepakatan awal dana talangan sebesar 9 miliar euro (US$ 9,8 miliar) atau setara dengan Rp 146 triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$).

Maskapai ini sudah melakukan pembicaraan dengan Berlin selama berminggu-minggu mengenai bantuan dana talangan ini guna membantunya mengatasi anjloknya pendapatan di tengah pandemi.

Hanya saja, manajemen juga sempat berkonflik mengingat bantuan ini tidak gratis, karena ada beberapa ketentuan kontrol pemerintah terhadap maskapai tersebut sebagai imbalan atas bailout.

Kementerian Keuangan dan Ekonomi Jerman pada Senin (25/5/2020) mengatakan bahwa Lufthansa sebetulnya perusahaan yang sehat secara operasional sebelum wabah coronavirus, perusahaan ini juga menguntungkan dan memiliki prospek yang baik untuk masa depan tetapi mendapat masalah karena Covid-19.

Pesaing-pesaing Lufthansa seperti maskapai Prancis-Belanda Air France-KLM dan maskapai penerbangan AS: American Airlines, United Airlines dan Delta Air Lines juga telah meminta bantuan negara agar tetap bertahan.

Rencananya, pemerintah Jerman akan mengambil 20% saham di Lufthansa, yang rencananya akan dijual lagi pada akhir 2023. Jerman akan membeli saham baru (rights issue) dengan nilai nominal 2,56 euro masing-masing dengan total nilai pembelian sekitar 300 juta euro.

Menteri Keuangan Olaf Scholz mengatakan paket penyelamatan itu adalah "solusi yang sangat, sangat bagus" yang memperhitungkan kebutuhan perusahaan dan pembayar pajak.

"Dukungan yang kami siapkan di sini adalah untuk jangka waktu terbatas," katanya, dilansir Reuters dan CNBC.

"Ketika perusahaan fit lagi, negara akan menjual sahamnya dan mudah-mudahan ... dengan keuntungan kecil yang menempatkan kami pada posisi untuk membiayai banyak, banyak persyaratan yang harus kami penuhi sekarang, tidak hanya di perusahaan ini."

Pemerintah juga akan menyuntikkan 5,7 miliar euro dalam penyertaan modal yang diambil secara non-voting, yang dijuluki sebagai partisipasi senyap (silent) ke dalam perusahaan. Sebagian dari penyertaan modal ini dapat dikonversi menjadi 5% saham tambahan, dengan catatan jika pembayaran kupon tidak dilakukan atau untuk melindungi perusahaan terhadap pengambilalihan investor lain.

Namun kesepakatan bailout ini masih menunggu persetujuan oleh pemegang saham serta Komisi Eropa.

Maskapai AS

A Boeing 787-10 aircraft being built for Singapore Airlines sits in the Final Assembly Area before a delivery ceremony of the first Boeing 787-10 Dreamliner at Boeing South Carolina in North Charleston, South Carolina, United States March 25, 2018. REUTERS/Randall HillFoto: REUTERS/Randall Hill
A Boeing 787-10 aircraft being built for Singapore Airlines sits in the Final Assembly Area before a delivery ceremony of the first Boeing 787-10 Dreamliner at Boeing South Carolina in North Charleston, South Carolina, United States March 25, 2018. REUTERS/Randall Hill

Pada 9 April lalu, Departemen Keuangan AS menyebutkan bahwa akan segera membayar dana bantuan atau hibah ke maskapai-maskapai di nagara Paman Sam itu di tengah dampak pandemi Covid-19.

Tiga pejabat di industri penerbangan kepada Reuters mengatakan, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dalam pertemuan dengan maskapai penerbangan AS mengatakan akan membayar sebagian dari dana hibah US$ 25 miliar atau Rp 350 triliun (kurs Rp 14.000/US$0 dalam bentuk hibah tunai yang disetujui Kongres AS bulan lalu.

Mnuchin berbicara dengan kepala eksekutif beberapa maskapai besar dan menegaskan bahwa pemerintah AS menawarkan 70% dari bantuan dalam bentuk hibah yang tidak perlu dilunasi, dan 30% dalam pinjaman berbunga rendah, di mana maskapai diminta untuk menerbitkan waran.

Departemen Keuangan AS mengatakan pemerintah bekerjasama dengan 12 maskapai penerbangan yang diperkirakan akan mendapatkan lebih dari US$ 100 juta . Hanya sebagian besar permintaan dana yang kurang dari $ 10 juta.

Sebelumnya maskapai terbesar di Alaska, RavnAir mengajukan kebangkrutan Bab 11 dan memberhentikan hampir seluruh stafnya serta meng-grounded 72 pesawatnya.

Juru bicara United Airlines Holdings Inc juga mengatakan perusahaan sedang meninjau rincian proposal Treasury. American Airlines juga mengkonfirmasi pihaknya sedang meninjau proposal.

Reuters melaporkan setidaknya ada enam maskapai AS terbesar yang bakal mendapatkan sekitar 90% dari paket bailout US$ 25 miiar, yakni American Airlines, United Airlines, Delta Air Lines, Southwest Airlines Co, JetBlue Airways Corp , dan Alaska Airlines.

Garuda Indonesia

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) bakal mendapatkan dana talangan senilai Rp 8,5 triliun dari pemerintah. Namun dana ini bukan berupa bailout dari pemerintah kepada perusahaan tersebut melainkan pinjaman yang harus dikembalikan.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan dana ini diperoleh perusahaan karena memiliki utang dalam dolar Amerika Serikat yang akan jatuh tempo. Namun saat ini perusahaan tengah dalam pembicaraan dengan para pemegang sukuk tersebut untuk mengupayakan restrukturisasi.

"Yang bener kan ada penundaan pembayaran dan restrukturisasi global sukuk US$ 500 juta (ini tidak ada dukungan pemerintah, alias B2B). Dan skema dana talangan Rp 8,5 triliun yang masih dalam pembicaraam mekanismenya. Dana talangan ini dalam bentuk pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemerintah," kata Arya, Kamis (14/5/2020).

"Jadi yang benar hanya ada dana talangan (bridging loan) sebesar Rp 8,5 triliun yang disiapkan, gak ada bailout. Jadi ini pinjaman," tegasnya.

Adapun seperti diberitakan sebelumnya maskapai pelat merah ini akan menerima dana senilai total Rp 8,5 triliun dari pemerintah.

FILE PHOTO: Garuda Indonesia flight attendants arrive at Terminal 3 at Soekarno-Hatta Airport in Jakarta, Indonesia, August 9, 2016. REUTERS/Darren WhitesideFoto: REUTERS/Darren Whiteside
FILE PHOTO: Garuda Indonesia flight attendants arrive at Terminal 3 at Soekarno-Hatta Airport in Jakarta, Indonesia, August 9, 2016. REUTERS/Darren Whiteside

Hal ini tertuang dalam dokumen paparan Menteri Keuangan dengan Komisi XI yang diperoleh CNBC Indonesia. Dana tersebut masuk dalam kebijakan pemerintah untuk melakukan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Program tersebut disiapkan untuk memberikan stimulus kepada berbagai jenis kalangan usaha mulai dari UMKM, BUMN hingga korporasi.

Garuda memang tengah dilanda kesulitan utang setelah melakukan negosiasi dengan pemegang sukuk perusahaan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk membantu keuangan Garuda, terutama dalam membayar utang yang jatuh tempo tahun ini.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Luky Alfirman saat itu mengatakan, bantuan seperti apa yang akan diberikan masih dalam pembahasan secara intens.

Adapun utang Garuda Indonesia yang jatuh tempo pada 3 Juni lalu adalah berupa sukuk global senilai US$ 500 juta atau setara Rp 7,5 triliun (kurs Rp 15.000/US$). Pemegang sukuk tersebut sudah menyetujui restrukturisasi sukuk ini.

"Ini lead-nya Kementerian BUMN, kami sedang pikirkan beberapa alternatif. Insya Allah untuk sukuk itu kan memang bulan Juni (jatuh tempo) kami sedang cari solusi untuk bantu Garuda," kata Luky melalui teleconference, Jumat (8/5/2020).

AirAsia Group

Maskapai penerbangan berbiaya rendah (low cost carrier/LCC) terbesar di Asia Tenggara, AirAsia Group Berhad, berencana mengurangi jumlah tenaga kerja hingga 30% seiring dengan rencana sang pendiri, Tony Fernandes, yang mempertimbangkan melepas 10% saham perusahaan untuk mendapatkan dana segar.

Grup maskapai yang sahamnya tercatat di Bursa Kuala Lumpur ini memang tengah dirundung tekanan cukup berat yang juga menimpa industri penerbangan secara global akibat pandemi virus corona (Covid-19).

AirAsia bahkan memangkas sisa gaji para staf hingga mencapai 75% guna bertahan di tengah hantaman dampak Covid-19 ini. Efisiensi ini mencakup pengurangan 60% dari awak kabin dan pilot AirAsia dan afiliasinya, termasuk AirAsia X. Grup AirAsia kini beroperasi di Malaysia, Thailand, Indonesia, Jepang, India, dan Filipina.

Hampir 20.000 karyawan Grup ini sudah dievaluasi kembali secara individual sejak Januari berdasarkan skala gaji dan kinerja, dan gelombang PHK diperkirakan masih terus berlanjut hingga akhir Juli.

Beberapa sumber Asia Nikkei mengungkapkan bahwa maskapai ini, di mana porsi mayoritas saham dipegang Tony Fernandes, berpotensi menjual 10% saham baru guna mendapatkan dana segar. Kabarnya tiga konglomerasi Korea Selatan, yang dipimpin SK Corp, akan menyerap saham baru tersebut.

Penjualan saham baru AirAsia tidak akan memerlukan persetujuan dari rapat umum pemegang saham karena pemegang saham telah diberi mandat bagi AirAsia untuk meningkatkan jumlah saham baru hingga 10% pada rapat pemegang umum pemegang saham tahunan (RUPST) pada 27 Juni 2019.

Surat kabar Malaysia, The Star melaporkan bahwa konglomerat terbesar ketiga di Korea Selatan, SK Corp, berpotensi menyerap penerbitan saham baru AirAsia dengan harga 1 ringgit. Aksi korporasi ini bakal menarik dana hingga US$ 78,4 juta atau sekitar Rp 1,09 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) untuk maskapai ini.

Mengacu data perdagangan Jumat (5/6/2020), saham AirAsia di Bursa Kuala Lumpur (KLSE) diperdagangkan di level RM 0.86 /saham. Aksi korporasi penerbitan saham baru ini akan dilakukan dengan skema penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (Non-HMETD) alias private placement.

SK Corp, yang fokus bisnisnya di industri energi dan telekomunikasi melalui 95 anak perusahaannya, membukukan pendapatan US$ 213,6 miliar atau Rp 2.990 triliun pada tahun lalu dan didukung oleh aset senilai $ 257,9 miliar atau Rp 3.611 triliun.

"Semua proposal sedang dibahas oleh Dewan Direksi, dengan keputusan dapat diharapkan segera minggu depan," kata seorang sumber kepada Nikkei, dilansir Sabtu (6/6/2020).

Sementara itu, karyawan yang tersisa juga menerima kebijakan pemotongan gaji berkisar antara 15% -75%. Fernandes pun memangkas pengeluaran modal AirAsia, dan modal kerja semua maskapai yang beroperasi dalam grup ini.

Sumber lain yang dekat dengan Fernandes juga mengatakan kepada Nikkei bahwa Fernandes juga tengah menjajaki penjualan anak usaha maskapai penerbangan yang tidak menguntungkan di Jepang dan India.

"Dia [Fernandes] terbuka untuk mengurangi pertaruhan [bisnis] atau bahkan keluar dari Jepang dan India, karena kompleksitas industri dalam negeri dan biaya yang membengkak jika dibandingkan dengan penjualan," sumber itu, yang menolak disebutkan namanya.

Fernandes tidak merespons pertanyaan langsung dari Nikkei.

The Bangkok Post melaporkan pada Mei lalu bahwa Thai AirAsia juga sedang menjajaki merger dengan beberapa maskapai domestik guna bertahan dari dampak pandemi.

Pemerintah Malaysia juga berupaya menyalurkan lebih dari US$ 350 juta atau Rp 4,9 triliun ke tiga maskapai utama di sana yakni AirAsia, Malaysia Airlines, dan Malindo Airways sebagai bagian dari paket penyelamatan ekonomi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular