Dampak Corona, 70% Penerbitan Obligasi Buat Refinancing

tahir saleh, CNBC Indonesia
11 June 2020 14:56
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sejak Kamis pagi (11/6/2020) menguat, tiba-tiba melemah pada tengah hari. Mata uang Garuda ini tampaknya tidak sanggup bertahan di tengah terpaan sentimen negatif yang bertubi-tubi menghampiri.

Mengadu data Refintiv, pada Kamis (11/6/2020) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.940 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Meski demikian, rupiah sebetulnya sudah menunjukkan performa yang luar biasa sejak memasuki kuartal II-2020. Selepas Maret yang 'gila', rupiah langsung balas dendam dengan sangat cepat.

Sejak awal kuartal II hingga perdagangan Selasa pekan ini, kurs rupiah telah menguat 15,03% terhadap hadapan dolar AS. Penguatan itu berhasil menghapus koreksi parah yang terjadi pada Maret. Rupiah kini sudah menguat secara year-to-date meski apresiasinya tipis saja yaitu 0,29%.

Ramdhan Ario Maruto, Head of Fixed Income PT Anugerah Sekuritas Indonesia, menilai penguatan rupiah jika dihitung sejak pandemi Covid-19 terjadi sudah mulai membaik. Namun jika dibandingkan dengan awal tahun tidak signifikan.

"Rupiah sempat Rp 13.700, tapi di awal tahun sempat Rp 13.000, jadi jika dilihat dari awal tahun belum sama levelnya. Tapi nila melihat periode setelah pandemi, cukup stabil," katanya dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (11/6/2020).

Namun dia menilai penguatan rupiah atas dolar AS tidak serta merta mendorong penerbitan obligasi yang dilakukan korporasi di Indonesia. Hal itu lantaran penerbitan obligasi, termasuk obligasi berdenominasi dolar atau global bond, tergantung dengan kebutuhan pendanaan perusahaan.

Dampak Pandemi, Penerbitan Obligasi Korporasi Diproyeksi Menurun (CNBC TV )Foto: Dampak Pandemi, Penerbitan Obligasi Korporasi Diproyeksi Menurun (CNBC TV )
Dampak Pandemi, Penerbitan Obligasi Korporasi Diproyeksi Menurun (CNBC TV )

Saat ini, Ramdhan memprediksi sebagian besar penerbitan obligasi atau lebih dari 70% penerbitan obligasi baru tahun ini digunakan untuk melakukan pembiayaan ulang atau refinancing obligasi lama.

"Paling banyak refinancing, untuk ekspansi itu masih terkendala industrinya karena dampak Covid-19. Kami perkirakan sekitar 70% itu penerbitan untuk refinancing," katanya.

Di perbankan, penerbitan obligasi juga dilakukan untuk memperkuat pendanaan perusahaan di tengah relaksasi dan restrukturisasi debitur perbankan yang diminta oleh pemerintah lewat Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Mandiri, Bank Negara Indonesia, sebelumnya juga menerbitkan global bond untuk bantu pemerintah dalam relaksasi kredit ini," katanya.

Menurut dia, saat ini secara cost of fund alias beban bunga penerbitan obligasi masih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.

"Secara cost of fund relatif tinggi kalau dibanding awal tahun, pas market mulai tertekan. Misalnya kita lihat yield SBN [surat berharga negara] tenor 10 tahun, 8,3%, sekarang sekitar 7,1%, cukup ada penguatan," katanya.

"Pas awal-awal itu yield SBN 10 tahun itu masih 6,6%, 6,7%, bahkan sempat 6,5%. Jadi balik lagi, soal depresiasi dolar ini, tergantung kebutuhan si penerbit, untuk industri masih tertekan, mungkin 3-4 bulan, kita harapkan bisa revovery setelah itu kondisi lebih baik. Jika ada recovery mereka butuh dana untuk pendanaan dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Semester kedua. Bisa lebih baik."

Sebelumnya, PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) atau sebelumnya bernama Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menyebut penerbitan obligasi korporasi tahun ini diprediksi hanya akan mencapai Rp 105 triliun, turun 38% dari prediksi lembaga ini yang sebelumnya senilai Rp 170 triliun.

Direktur Utama PHEI Yoyok Isharsaya mengatakan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang dalam skenario terburuknya bisa jatuh hingga -0,4% dapat berdampak pada potensi penerbitan obligasi korporasi.

"Proyeksi yang mungkin ada dalam saat ini, ada di angka sekitar Rp 105 triliun, dengan range yang konservatif, yakni Rp 100 triliun sampai Rp 110 triliun," kata Yoyok, Rabu (15/4/2020).

Dia menyebut, kebutuhan penerbitan obligasi tahun ini diestimasi hanya untuk memenuhi pendanaan kembali (refinancing) obligasi yang akan jatuh tempo. Menurut catatan PHEI, nilai obligasi korporasi yang akan jatuh tempo di tahun ini nilainya mencapai Rp 105,6 triliun yang terdiri dari 177 seri.

Turunnya minat penerbitan obligasi ini sudah mulai tergambar dari penerbitan obligasi pada kuartal pertama tahun ini yang hanya mencapai Rp 21,34 triliun. Nilai ini turun dari jumlah penerbitan pada kuartal pertama tahun sebelumnya yang senilai Rp 30,39 triliun.

[Gambas:Video CNBC]


(tas/hps) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular