Melihat Peran Kunci BI Antisipasi Terjangan Krisis Ekonomi RI

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
11 June 2020 10:00
Gedung BI
Foto: CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Berhentinya aktivitas ekonomi di tengah pandemi covid-19 telah menurunkan penerimaan pemerintah. Disamping itu naiknya belanja negara membuat defisit anggaran pemerintah juga melebar. Akibatnya, naiknya defisit membuat utang pemerintah meningkat.

Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara menjelaskan, akibat krisis covid-19, APBN Indonesia tahun ini diperkirakan jatuh 24%. Sedangkan belanja negara meningkat 8%

Defisit APBN diperkirakan meningkat sebelum pandemi hanya sekitar 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) menjadi 6,3% terhadap PDB.

"Selama ini pemerintah selalu menjaga defisit APBN tak pernah melampaui batas 3 persen PDB dan utang pemerintah sekitar 30 persen PDB. Namun, dalam situasi krisis, tentu perlu kebijakan tersendiri," jelas Mirza yang menyuarakan opininya di media kabar nasional, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (11/6/2020).

Lebih lanjut, Mirza mengatakan pembiayaan ekonomi Indonesia banyak bergantung pada modal asing, baik dalam bentuk kredit, investasi portofolio, maupun penanaman modal asing. Investasi portofolio keluar dari Indonesia sekitar US$ 9 miliar, terutama di pasar surat berharga negara (SBN). Akibatnya, rupiah melemah signifikan walaupun ditahan oleh BI, bahkan kurs hampir menembus Rp 17.000 terhadap dolar AS.

"Cadangan devisa turun pada Maret. Imbal hasil (yield) SBN meningkat menembus 8,2% walaupun juga sudah ditahan BI [Bank Indonesia] dengan pembelian SBN di pasar sekunder. Memburuknya imbal hasil SBN akan menaikkan biaya utang Indonesia," ujar Mirza.

Sesuai mandatnya, BI pun melakukan stabilisasi kurs menggunakan cadangan devisa. Pada waktu melakukan stabilisasi kurs, kata Mirza, sebenarnya BI menyerap likuiditas rupiah karena harus jual dollar, beli rupiah.

Agar likuiditas tidak mengetat, BI melakukan injeksi ulang rupiah ke pasar dengan cara membeli SBN di pasar sekunder sekaligus menahan pemburukan imbal hasil SBN.

Pemerintah menurut Mirza terbantu karena imbal hasil SBN tidak melambung lebih tinggi. Sementara perbankan terbantu karena likuiditas rupiah diinjeksi kembali oleh BI. Akibat upaya stabilisasi kurs, pada Maret cadangan devisa turun US$ 9,4 miliar, terjadi kontraksi likuiditas setara Rp 140 triliun. Untuk menetralisasi likuiditas, menurut info di media, BI membeli SBN di pasar sekunder sekitar Rp 166 triliun.

Di samping itu, sektor perbankan terbatas kemampuan dananya karena rasio kredit terhadap deposit atau simpanan dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) sudah 94%.

"Artinya 94% deposit sudah terpakai menjadi kredit. Dana pensiun, asuransi, dan reksa dana ukurannya hanya sekitar 40% dari deposit perbankan, itu pun dananya sudah diinvestasikan. Jadi, sumber dana pembiayaan peningkatan defisit APBN harus bergantung pada bank sentral," kata Mirza.

"Tanpa adanya dana bank sentral, krisis ekonomi tak bisa tertangani," kata Mirza melanjutkan.

Itu kenapa, lanjut Mirza, di dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) No. 1 tahun 2020, yang baru saja disahkan menjadi Undang-undang, BI diberi kewenangan membeli SBN dari pasar perdana. Pada waktu BI melakukan pembelian SBN di pasar sekunder dan pasar perdana, itulah yang disebut pencetakan uang.

"Di luar negeri, ini disebut quantitative easing (QE), dilakukan oleh bank sentral di AS, Eropa, Inggris, dan Jepang dengan cara membeli berbagai surat berharga dalam rangka memberi stimulus pada perekonomian. Jadi, istilah pencetakan uang bukanlah mencetak uang kertas, melainkan bank sentral menciptakan uang giral. " jelas Mirza.

[Gambas:Video CNBC]




(dru) Next Article BI Bisa Cetak Uang agar Ekonomi Tak Jatuh ke Jurang Krisis?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular