Usai Sentuh Rekor Tertinggi Sejak Mei, Harga Batu Bara Ambles

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 June 2020 09:06
Coal barges are pictured as they queue to be pull along Mahakam river in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, August 31, 2019. Picture taken August 31, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan
Foto: Tongkang batubara di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan Newcastle untuk kontrak yang ramai diperdagangkan masih sulit menembus level US$ 60/ton seperti saat sebelum pandemi corona terjadi. Setelah ditahan selama 2 hari di level US$ 56/ton, harga pasir hitam ini pun ambles lagi.

Kamis kemarin (4/6/2020), harga batu bara anjlok 1,95% ke US$ 55,4/ton. Memang sejak akhir April harga komoditas unggulan Australia dan Indonesia ini mengalami tren kenaikan. Namun harga batu bara selalu gagal tembus ke level psikologis US$ 60 ketika mencapai harga US$ 56/ton.



Bangkitnya ekonomi China sebagai konsumen batu bara terbesar di dunia usai pencabutan lockdown memang membawa berkah bagi komoditas ini. Ketika ekonomi China dipacu kembali permintaan batu bara impor China melonjak pesat.

Bahkan impor batu bara China pada April lalu pertumbuhannya sempat menyentuh dobel digit dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.  

Namun impor batu bara besar-besaran China ini dinilai tak akan berlanjut ke semester dua tahun ini lantaran satu dan lain hal. China kemungkinan besar akan membatasi impornya pada paruh kedua 2020 dan beralih mengandalkan pasokan batu bara domestiknya. 

Di sisi lain retaknya hubungan Canberra dan Beijing juga menjadi risiko yang membuat permintaan batu bara dari Negeri Panda itu semakin susut. China dibuat geram oleh Australia karena Negeri Kanguru itu mendukung langkah investigasi asal usul virus corona. 


Pada akhir Mei lalu, tiba-tiba impor sereal (barley) asal Australia kena bea masuk anti dumping dan subsidi sebesar 80,5% saat masuk ke tanah Negeri Tirai Bambu. Bahkan bea masuk itu akan dikenakan setidaknya selama lima tahun ke depan, bisa direvisi tergantung situasi dan kondisi.

Kondisi ini ditakutkan juga akan merembet ke komoditas batu bara. Namun tanpa harus merembet pun sebenarnya kemungkinan besar China memang akan membatasi impor batu baranya di semester kedua karena sudah jor-joran impor saat ekonominya kembali diputar pasca lockdown dibuka.

Impor batu bara di negara-negara konsumen batu bara termal seperti Korea Selatan dan Jepang juga masih rendah. Berdasarkan data Refinitiv Coal Flow, Korea Selatan dan Jepang mengimpor batu bara sebesar 7,7 dan 12,3 juta ton pada bulan Mei. Volume ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan 9,1 dan 12,6 juta ton yang diimpor Mei tahun lalu.

Impor batubara ke India pada bulan Mei ini mencapai 10,1 juta ton atau lebih kurang dari setengah dari impor bulan Mei tahun lalu sebesar 21,8 juta ton. Persediaan batu bara di pembangkit listrik di seluruh wilayah di India turun menjadi 49,5 juta ton pada 01-Juni-2020, atau setara dengan rata-rata penggunaan 29 hari.

Rekor stok yang tinggi dan aktivitas bongkar muat yang rendah jelang musim Monsoon kemungkinan akan membuat permintaan lintas laut India masih lemah. Namun masalah logistik regional masih bisa mendorong impor.

Harga batu bara juga masih dibayangi dengan ketidakpastian akan prospek ke depan. Saat ini pasar masih fokus pada kecepatan pemulihan permintaan, kebijakan impor negara-negara konsumen batu bara terutama China serta ketersediaan dan keterjangkauan sumber energi primer substitusi.



TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]





(twg/twg) Next Article Reli 3 Hari Beruntun, Begini Proyeksi Harga Batu Bara Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular