
Rupiah Perkasa, Ini Manfaat & Mudaratnya
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 June 2020 15:08

Pernyataan bahwa ketika rupiah melemah maka ekspor Indonesia mendapat berkah perlu dicermati lebih lanjut. Indonesia memang bukan negara yang terlalu berorientasi ekspor seperti Singapura dan Malaysia yang porsi ekspor terhadap PDB-nya besar.
Ambil contoh saja, sumbangsih ekspor terhadap output perekonomian Singapura mencapai 160%. Walau lebih rendah dari Negeri Singa, kontribusi ekspor terhadap PDB Negeri Jiran masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara Asia non-Jepang lainnya yang mencapai 76%.
Namun ekspor Indonesia masih berbasis komoditas seperti migas, batu bara dan minyak nabati. Ekspor komoditas tersebut bahkan mencapai lebih dari 40% di sepanjang Januari-April 2020. Hal ini membuat pelemahan rupiah cenderung tak bisa berkontribusi besar terhadap ekspor.
Rupiah yang terdepresiasi artinya dolar AS menguat. Ketika dolar menguat maka harga produk primer yang dibanderol dalam dolar menjadi lebih mahal untuk negara-negara pengimpor. Alhasil mereka mengimpor lebih sedikit.
Ini jelas berbeda jika ekspor Indonesia merupakan produk-produk yang memiliki nilai tambah seperti produk-produk manufaktur layaknya barang elektronik yang diuntungkan ketika nilai tukarnya cenderung melemah.
Rupiah yang melemah juga membuat impor merana. Sejauh ini sektor manufaktur Indonesia yang menyumbang hampir 20% PDB RI masih mengandalkan impor barang modal sehingga rupiah yang anjlok membuat biaya impor menjadi lebih mahal.
Pelemahan rupiah juga berdampak buruk bagi sektor riil hingga ke sektor perbankan. Rupiah yang melemah berarti beban biaya untuk pembayaran bunga utang juga meningkat (debt service cost). Hal ini dapat berbuntut pada penurunan kinerja korporasi.
Lebih lanjut penurunan kinerja ini bisa merembet ke sektor keuangan. Kinerja bank bisa terancam, kredit macet bisa bertambah dan penyaluran kredit menjadi terganggu.
Padahal kredit merupakan bahan bakar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan kredit yang terbatas berarti bahan bakar untuk ekonomi melaju kencang juga menjadi minim.
Memang kondisi perbankan saat ini berbeda dengan saat krisis moneter 22 tahun silam. Bank-bank di Indonesia menikmati laba yang besar, likuiditas yang terjaga dan rasio kecukupan modal yang tinggi.
Namun menurut kajian The Research Institute of Economy, Trade & Industry (RIETI) tahun lalu, 71% pinjaman bank diberikan kepada korporasi dan 45% utang korporasi dalam bentuk utang luar negeri (foreign debt), sehingga perbankan tetap mendapat eksposur terhadap pelemahan rupiah.
(twg/twg)
Ambil contoh saja, sumbangsih ekspor terhadap output perekonomian Singapura mencapai 160%. Walau lebih rendah dari Negeri Singa, kontribusi ekspor terhadap PDB Negeri Jiran masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara Asia non-Jepang lainnya yang mencapai 76%.
Namun ekspor Indonesia masih berbasis komoditas seperti migas, batu bara dan minyak nabati. Ekspor komoditas tersebut bahkan mencapai lebih dari 40% di sepanjang Januari-April 2020. Hal ini membuat pelemahan rupiah cenderung tak bisa berkontribusi besar terhadap ekspor.
Ini jelas berbeda jika ekspor Indonesia merupakan produk-produk yang memiliki nilai tambah seperti produk-produk manufaktur layaknya barang elektronik yang diuntungkan ketika nilai tukarnya cenderung melemah.
Rupiah yang melemah juga membuat impor merana. Sejauh ini sektor manufaktur Indonesia yang menyumbang hampir 20% PDB RI masih mengandalkan impor barang modal sehingga rupiah yang anjlok membuat biaya impor menjadi lebih mahal.
Pelemahan rupiah juga berdampak buruk bagi sektor riil hingga ke sektor perbankan. Rupiah yang melemah berarti beban biaya untuk pembayaran bunga utang juga meningkat (debt service cost). Hal ini dapat berbuntut pada penurunan kinerja korporasi.
Lebih lanjut penurunan kinerja ini bisa merembet ke sektor keuangan. Kinerja bank bisa terancam, kredit macet bisa bertambah dan penyaluran kredit menjadi terganggu.
Padahal kredit merupakan bahan bakar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan kredit yang terbatas berarti bahan bakar untuk ekonomi melaju kencang juga menjadi minim.
![]() |
Memang kondisi perbankan saat ini berbeda dengan saat krisis moneter 22 tahun silam. Bank-bank di Indonesia menikmati laba yang besar, likuiditas yang terjaga dan rasio kecukupan modal yang tinggi.
Namun menurut kajian The Research Institute of Economy, Trade & Industry (RIETI) tahun lalu, 71% pinjaman bank diberikan kepada korporasi dan 45% utang korporasi dalam bentuk utang luar negeri (foreign debt), sehingga perbankan tetap mendapat eksposur terhadap pelemahan rupiah.
(twg/twg)
Pages
Most Popular