Rupiah Perkasa, Ini Manfaat & Mudaratnya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 June 2020 15:08
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sempat mengalami depresiasi tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ketika pandemi corona mulai merebak secara global. Pelemahan rupiah lebih banyak membawa mudaratnya ketimbang manfaat bagi perekonomian. Oleh karena itu stabilitas nilai tukar jadi kunci utama untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Rupiah merupakan salah satu mata uang emerging market yang tergolong ke dalam soft currency. Artinya mata uang yang tergolong dalam kategori ini memiliki fluktuasi tinggi dan cenderung melemah akibat situasi politik dan ekonomi negaranya yang tak menentu. 

Sejak 998, mata uang Garuda terus mengalami depresiasi di hadapan dolar AS. Berbagai krisis dan economic shock telah dilalui rupiah. Pelemahan tajam rupiah harus kembali terjadi saat wabah corona melanda. 

Di awal tahun rupiah di pasar spot dibanderol di Rp 13.880/US$. Bahkan rupiah sempat menyentuh level terkuatnya pada 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$. Namun memasuki pertengahan Februari saat wabah corona di China dan menjalar ke negara lain, rupiah melemah terhadap dolar. 

Periode tersebut menjadi awal periode pesakitan bagi mata uang RI. Puncaknya terjadi pada 23 Maret 2020, rupiah kala itu dibanderol Rp 16.550/US$ pada penutupan pasar spot. Pada kuartal I-2020, rupiah harus takluk di hadapan dolar AS dengan depresiasi mencapai 17,4%.

Pemicu depresiasi rupiah adalah adanya aliran dana asing (outflow) besar-besaran di pasar keuangan RI. Bank Indonesia (BI) mencatat di sepanjang masa pandemi yaitu 20 Januari-30 Maret total dana asing yang keluar dari pasar finansial dalam negeri mencapai Rp 167,9 triliun.

Depresiasi mulai mereda setelah bank sentral global mulai memangkas suku bunga dan memulai kembali program pembelian aset-aset keuangan atau yang disebut dengan quantitative easing (QE). 

Wabah corona menimbulkan risiko yang besar di pasar keuangan. Investor lari kalang kabut untuk menyelamatkan diri dan berburu aset-aset minim risiko (safe haven) seperti emas dan surat utang pemerintah AS.

Bahkan saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah corona sebagai pandemi, mood investor menjadi risk off dan lebih memilih menyimpan uangnya dalam bentuk tunai (cash). Jargon cash is king kembali punya taji di masa pandemi. Pasar ekuitas dan instrumen berbasis utang di Indonesia ditinggalkan investor. Ini lah yang jadi biang kerok dari pelemahan rupiah. 

Bagaimanapun juga depresiasi rupiah menimbulkan lebih banyak dampak negatif ketimbang positif dari perekonomian Indonesia. Salah satu indikator dampak pelemahan rupiah terhadap ekonomi tercermin dari pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Harga-harga saham merepresentasikan Net Present Value (NPV) dari arus kas di masa mendatang. Arus kas ini mencerminkan aktivitas riil. Depresiasi rupiah memiliki korelasi yang positif terhadap koreksi yang terjadi pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Nilai korelasinya mencapai 0,37. 



Di saat rupiah mengalami depresiasi, ekonomi RI juga berada dalam bahaya. Setiap kali depresiasi terjadi, kinerja ekonomi Indonesia mengalami pemerosotan bahkan sempat terkontraksi saat krisis moneter tahun 1998. Hal ini tercermin dari pertumbuhan PDB RI sejak tahun 1995-2020.



Pernyataan bahwa ketika rupiah melemah maka ekspor Indonesia mendapat berkah perlu dicermati lebih lanjut. Indonesia memang bukan negara yang terlalu berorientasi ekspor seperti Singapura dan Malaysia yang porsi ekspor terhadap PDB-nya besar. 

Ambil contoh saja, sumbangsih ekspor terhadap output perekonomian Singapura mencapai 160%. Walau lebih rendah dari Negeri Singa, kontribusi ekspor terhadap PDB Negeri Jiran masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara Asia non-Jepang lainnya yang mencapai 76%. 


Namun ekspor Indonesia masih berbasis komoditas seperti migas, batu bara dan minyak nabati. Ekspor komoditas tersebut bahkan mencapai lebih dari 40% di sepanjang Januari-April 2020. Hal ini membuat pelemahan rupiah cenderung tak bisa berkontribusi besar terhadap ekspor.

Rupiah yang terdepresiasi artinya dolar AS menguat. Ketika dolar menguat maka harga produk primer yang dibanderol dalam dolar menjadi lebih mahal untuk negara-negara pengimpor. Alhasil mereka mengimpor lebih sedikit. 

Ini jelas berbeda jika ekspor Indonesia merupakan produk-produk yang memiliki nilai tambah seperti produk-produk manufaktur layaknya barang elektronik yang diuntungkan ketika nilai tukarnya cenderung melemah. 

Rupiah yang melemah juga membuat impor merana. Sejauh ini sektor manufaktur Indonesia yang menyumbang hampir 20% PDB RI masih mengandalkan impor barang modal sehingga rupiah yang anjlok membuat biaya impor menjadi lebih mahal.

Pelemahan rupiah juga berdampak buruk bagi sektor riil hingga ke sektor perbankan. Rupiah yang melemah berarti beban biaya untuk pembayaran bunga utang juga meningkat (debt service cost). Hal ini dapat berbuntut pada penurunan kinerja korporasi.

Lebih lanjut penurunan kinerja ini bisa merembet ke sektor keuangan. Kinerja bank bisa terancam, kredit macet bisa bertambah dan penyaluran kredit menjadi terganggu.

Padahal kredit merupakan bahan bakar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan kredit yang terbatas berarti bahan bakar untuk ekonomi melaju kencang juga menjadi minim.

Tantangan RupiahSumber : Bank Indonesia

Memang kondisi perbankan saat ini berbeda dengan saat krisis moneter 22 tahun silam. Bank-bank di Indonesia menikmati laba yang besar, likuiditas yang terjaga dan rasio kecukupan modal yang tinggi. 

Namun menurut kajian The Research Institute of Economy, Trade & Industry (RIETI) tahun lalu, 71% pinjaman bank diberikan kepada korporasi dan 45% utang korporasi dalam bentuk utang luar negeri (foreign debt), sehingga perbankan tetap mendapat eksposur terhadap pelemahan rupiah.


Kalau pelemahan rupiah lebih banyak membawa mudarat, berbeda cerita dengan penguatannya. Apresiasi rupiah bisa menimbulkan berkah sekaligus masalah bagi perekonomian Indonesia.

Beberapa berkah yang bisa dinikmati kala rupiah menguat antara lain penurunan biaya pembayaran utang baik utang korporasi maupun utang pemerintah. Kedua, apresiasi rupiah terhadap dolar AS membuat biaya impor menjadi lebih murah. 

Lebih rendahnya biaya impor berdampak pada dua hal. Pertama, biaya subsidi untuk bahan bakar yang masih berbasis impor menjadi lebih murah sehingga beban pos pembiayaan APBN jadi lebih ringan. Penguatan rupiah  juga berpotensi mengurangi tekanan inflasi yang berasal dari imported inflation

Kedua, apresiasi rupiah juga memberikan keuntungan bagi importir. Jika barang-barang yang diimpor itu adalah barang modal (mesin dan peralatan) dan bahan baku, maka kapasitas produksi perekonomian bisa ditingkatkan karena biaya produksi yang harus dikeluarkan akan menjadi lebih murah.

Namun, apresiasi rupiah juga berpotensi membawa mudarat bagi perekonomian, terutama dari sisi neraca perdagangan. Untuk industri yang berorientasi ekspor, seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) akan mendapatkan masalah ketika rupiah menguat.

Penguatan rupiah akan berdampak pada lebih mahalnya produk-produk RI sehingga kurang kompetitif dan berpotensi menekan pendapatan para eksportir. Apalagi produk-produk Indonesia harus bersaing dengan produk dari negara lain.

Rupiah yang menguat juga berpotensi membuat Indonesia kebanjiran produk impor. Akibatnya, kondisi ini akan membuat produsen dalam negeri yang berorientasi pasar domestik mendapat saingan dari munculnya produk-produk impor.

Bisa-bisa para produsen malah akan jadi importir maupun distributor. Jelas hal ini akan membuat industri dalam negeri menjadi tidak berkembang. Ujung-ujungnya neraca dagang bisa tekor dan defisit karena lebih banyak impor yang masuk daripada ekspor.


Melihat bahwa penguatan dan pelemahan rupiah membawa dampak negatif, maka kunci utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang sustainable adalah dengan menjaga stabilitas nilai tukar. 

Beberapa kebijakan yang dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah antara lain dengan melakukan triple intervention di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) hingga pembelian SBN di pasar sekunder.

Saat ini rupiah sudah berada di bawah level Rp 14.200/US$. Namun Gubernur BI Perry Warjiyo meyakini rupiah saat ini masih tergolong kemurahan dan masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalued). Keyakinan Gubernur BI tersebut dilandasi oleh beberapa faktor.

Seiring dengan berjalannya waktu dan kecemasan global mereda dan intervensi yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas nilai tukar, rupiah berbalik arah dan berada pada tren penguatan sejak awal April lalu.



Beberapa indikator makro yang jadi patokan BI dalam memberikan outlook rupiah ke depan ada empat. Pertama adalah inflasi yang terjaga. Indikator kedua adalah defisit transaksi berjalan (CAD) yang membaik. 

BI juga memutuskan untuk tetap menahan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) 4,5% di bulan Mei untuk menjaga rupiah. BI yang menahan suku bunga di angka 4,5% membuat imbal hasil surat utang pemerintah RI masih terbilang menarik dengan yield di kisaran 7%. Hal ini membuat masuknya aliran modal asing dalam bentuk portofolio investasi ke SBN dan bisa menopang rupiah yang kecanduan 'hot money'.




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular