Belum Pulih, Harga Batu Bara Dibayangi Perang Dagang

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 May 2020 14:08
An undated handout photo of Whitehaven Coal's Tarrawonga coal mine in Boggabri, New South Wales, Australia.   Whitehaven Coal Ltd/Handout via REUTERS   ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE HAS BEEN SUPPLIED BY A THIRD PARTY. NO RESALES. NO ARCHIVES
Foto: Tambang batubara Tarrawonga Whitehaven Coal di Boggabri, New South Wales, Australia. (Whitehaven Coal Ltd/Handout via REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kontrak acuan Australia Newcastle ditutup menguat pada perdagangan Selasa kemarin. Selain hubungan Amerika Serikat (AS) dan China yang kembali retak, pelaku pasar juga mencermati tensi tinggi Negeri Tirai Bambu dengan Negeri Kanguru dan berbagai implikasinya terhadap pasar batu bara.

Selasa (19/5/2020) harga batu bara untuk kontrak yang ramai diperdagangkan naik 0,37% ke US$ 54,1/ton. Kenaikan harga batu bara yang terjadi sejak bulan Mei dipicu oleh sentimen kembali dibukanya perekonomian yang turut mengangkat harga energi primer lain yakni harga minyak mentah.



Namun sebenarnya harga batu bara sendiri masih rawan terkena tekanan. Pasalnya ada beberapa faktor yang berpengaruh seperti tingginya stok batu bara di berbagai pembangkit listrik India.

Data Refinitiv yang melacak aliran perdagangan batu bara menunjukkan hingga 18 Mei 2020 mencatatkan penurunan menjadi 50,7 juta ton dari 51.5 juta ton pekan sebelumnya. Tetap saja total stoknya masih tinggi walau turun. Volume ini setara dengan penggunaan selama 29 hari. 


Ketersediaan gas alam cair (LNG) yang melimpah serta harganya yang juga murah berpotensi membuat Jepang dan Korea beralih dari batu bara ke produk substitusinya yang lebih ramah lingkungan.

Anjloknya harga batu bara juga membuat harga batu bara di China ikut merosot. Hal ini berpotensi membuat pemerintah China beralih ke pasokan domestik ketimbang harus impor untuk mendukung industri lokal.

Selain itu kini semua mata juga tertuju pada hubungan Australia dan China yang merenggang. China memutuskan untuk menerapkan pungutan anti-dumping dan anti-subsidi terhadap lebih dari 80% impor gandum barley dari Australia.

Bukan hanya barley saja, China dikabarkan tengah mempertimbangkan "sejumlah hukuman" bagi barang ekspor lain. Di antaranya produk susu, makanan laut, oatmeal, dan buah-buahan, termasuk anggur. Sebagaimana ditulis Bloomberg dan The Print, hal ini diungkapkan sumber yang dekat dengan masalah ini.

Batu bara adalah area lain di mana Australia rentan terhadap tindakan China, terutama pada batu bara termal di mana ada banyak pemasok alternatif seperti Indonesia, Rusia dan Afrika Selatan.

Untuk batu bara kokas yang digunakan dalam pembuatan baja, Cina lebih bergantung pada Australia, dengan sekitar setengah dari impornya berasal dari Down Under, dan akan sulit untuk mendapatkan sumber yang cukup dari pemasok lintas laut lain seperti Kanada dan Amerika Serikat.

Retaknya hubungan Australia dengan China ini diduga karena Negeri Kanguru yang gencar menyuarakan investigasi internasional untuk menelusuri penyebab wabah Covid-19 yang terjadi secara global.

Masih belum bisa dipastikan apakah aksi ini akan berbuntut menjadi perang dagang seperti apa yang sudah dialami China dengan AS. Namun tersiar kabar bahwa Australia akan melaporkan China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas tindakannya. 





TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]





(twg/twg) Next Article Top! Akhirnya Harga Batu Bara Membara, Naik Signifikan 5,64%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular