Bisakah BI Cetak Uang buat Tambal APBN? Ini Kata Chatib Basri

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
16 May 2020 13:16
Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri  (CNBC Indonesia/Cantika Adinda Putri)
Foto: Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri (CNBC Indonesia/Cantika Adinda Putri)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom dan mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri menilai pemerintah masih mempunyai ruang fiskal melebarkan defisit anggaran hingga 7-8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menangani pandemi di Aanah Air. 

Selain itu, guna menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Chatib mengatakan, Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia bisa melakukan cetak uang dengan cara Modern Monetary Theory (MMT), yang artinya bank sentral dapat mencetak uang sebanyak-banyaknya tanpa ada batasan, guna membiayai defisit APBN 2020.

"Defisit anggarannya dibiayai oleh bank sentral [Bank Indonesia], kita bisa lakukan," kata Chatib dalam video conference Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu, Selasa (21/4/2020).

Meski pembiayaan defisit APBN bisa dilakukan oleh BI dengan mencetak uang. Namun, Chatib mewanti-wanti, bahwa ada risiko inflasi yang tinggi di depannya, apabila pembiayaan defisit itu dilakukan oleh BI dengan jumlah yang banyak.


"Tapi jumlah terbatas. Karena jangan lupa bahwa dalam kondisi saat ini, produksi turun. Jadi supply-nya juga turun. Kalau kita cetak uang, itu kan berarti menambah demand pada saat supply turun. Kalau kita cetak uang, itu kan berarti nambah demand pada saat supply turun, yang terjadi adalah inflasi naik," kata Chatib melanjutkan.

Pembiayaan defisit APBN 2020 oleh BI yang dimaksud di atas adalah langkah BI untuk bisa membeli surat utang pemerintah atau government bond di pasar primer. Hal ini sudah tertuang dalam Perppu Nomor 1/2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Menurut Chatib, pemerintah bersama BI harus berhati-hati menjalankan kebijakan ini. Karena kondisi Indonesia cukup rentan, dan tidak bisa melakukan kebijakan cetak uang seperti yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS).

Di AS, menurut Chatib, Bank Sentral AS bisa dengan leluasa membeli goverment bond, dengan cetak uang sebanyak apapun dan tidak terkena risiko inflasi. Pasalnya di seluruh dunia mereka pasti membutuhkan dan memiliki likuiditas dalam bentuk dolar, sehingga risiko inflasinya sudah dipastikan hampir tidak ada.

"[Indonesia] uang ada, tapi tidak bisa terus-menerus, dan jumlahnya tidak bisa terlalu signifikan, seperti di AS," pungkas Chatib.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo berkali-kali menekankan bahwa BI tidak akan mengambil langkah mencetak uang untuk menambah likuiditas di perbankan. Sebab, BI lebih memilih cara yang sesuai dengan mekanisme pasar.

Meski banyak yang meminta BI untuk mencetak uang termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat rapat bersama, tapi Perry menepis bahwa itu cara yang tepat.

Menurutnya, cetak uang untuk menambah likuiditas perbankan serta membantu pembiayaan defisit fiskal bukan hal yang tepat, meskipun BI bisa melakukannya.

Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan MMT. Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.


"Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI," ujar Perry, Kamis (14/5/2020).

Alasan BI tidak ingin mencetak uang meski Indonesia dalam kondisi sulit karena dampak pandemi Covid-19 yakni, pertama, Perry tak ingin kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67% terulang kembali.

Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun, saat kondisi kembali membaik, susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.

"SUP-nya itu tidak tradable [diperdagangkan], suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang," jelasnya.

Kedua
, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter yang lazim seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

GWM adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, besarannya ditetapkan oleh bank sentral berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun.

Kembali ke defisit anggaran, sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan defisit APBN 2020 bisa mencapai 5,07% dari PDB. Proyeksi ini yang menjadi dasar pemerintah untuk mengeluarkan Perppu agar defisit APBN tidak melebihi batas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3% dari PDB.

[Gambas:Video CNBC]



(tas/tas) Next Article Soal Usul DPR Cetak Uang Rp600 T: Tidak Lazim & Berbahaya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular