
Sederet Alasan BI Ogah Cetak Uang Banyak-banyak
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
15 May 2020 09:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo berkali-kali menekankan bahwa BI tidak akan mengambil langkah mencetak uang untuk menambah likuiditas di perbankan. Sebab, BI lebih memilih cara yang sesuai dengan mekanisme pasar.
Meski banyak yang meminta BI untuk mencetak uang termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat rapat bersama, tapi Perry menepis bahwa itu cara yang tepat.
Menurutnya, cetak uang untuk menambah likuiditas perbankan serta membantu pembiayaan defisit fiskal bukan hal yang tepat, meskipun BI bisa melakukannya.
Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT). Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.
"Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI," ujar Perry, Kamis (14/5/2020).
Alasan BI tidak ingin mencetak uang meski Indonesia dalam kondisi sulit karena dampak pandemi Covid-19 yakni, pertama, Perry tak ingin kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67% terulang kembali.
Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun, saat kondisi kembali membaik, susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.
"SUP-nya itu tidak tradable [diperdagangkan], suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang," jelasnya.
Kedua, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter yang lazim seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
GWM adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, besarannya ditetapkan oleh bank sentral berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun.
Perluasan operasi moneter demi menambah likuiditas dilakukan BI. Bahkan selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Namun, agar kebijakan moneter BI ini bisa sampai ke sektor riil dinilai tugas dari kebijakan fiskal pemerintah serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu, koordinasi terus diperkuat demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas pasar keuangan.
"BI kan mandatnya kendalikan inflasi dan stabilkan nilai tukar rupiah, tentu saja kami pertimbangkan, kami juga ingin pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pertumbuhan ekonomi ini kan fungsi fiskal," jelasnya.
(tas/tas) Next Article Soal Usul DPR Cetak Uang Rp600 T: Tidak Lazim & Berbahaya!
Meski banyak yang meminta BI untuk mencetak uang termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat rapat bersama, tapi Perry menepis bahwa itu cara yang tepat.
Menurutnya, cetak uang untuk menambah likuiditas perbankan serta membantu pembiayaan defisit fiskal bukan hal yang tepat, meskipun BI bisa melakukannya.
Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT). Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.
"Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI," ujar Perry, Kamis (14/5/2020).
Alasan BI tidak ingin mencetak uang meski Indonesia dalam kondisi sulit karena dampak pandemi Covid-19 yakni, pertama, Perry tak ingin kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67% terulang kembali.
Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun, saat kondisi kembali membaik, susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.
"SUP-nya itu tidak tradable [diperdagangkan], suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang," jelasnya.
Kedua, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter yang lazim seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
GWM adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, besarannya ditetapkan oleh bank sentral berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun.
Perluasan operasi moneter demi menambah likuiditas dilakukan BI. Bahkan selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Namun, agar kebijakan moneter BI ini bisa sampai ke sektor riil dinilai tugas dari kebijakan fiskal pemerintah serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu, koordinasi terus diperkuat demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas pasar keuangan.
"BI kan mandatnya kendalikan inflasi dan stabilkan nilai tukar rupiah, tentu saja kami pertimbangkan, kami juga ingin pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pertumbuhan ekonomi ini kan fungsi fiskal," jelasnya.
(tas/tas) Next Article Soal Usul DPR Cetak Uang Rp600 T: Tidak Lazim & Berbahaya!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular