Soal Usul DPR Cetak Uang Rp600 T: Tidak Lazim & Berbahaya!

Lidya Julita Sembiring & Daniel Siburian, CNBC Indonesia
07 May 2020 17:00
People walk past a mock one thousand Rupiah coin on display at Bank Indonesia's headquarters in Jakarta, Indonesia, November 17, 2016. REUTERS/Beawiharta/File Photo                  GLOBAL BUSINESS WEEK AHEAD PACKAGE       SEARCH BUSINESS WEEK AHEAD 12 DEC FOR ALL IMAGES
Foto: REUTERS/Beawiharta/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Banggar DPR RI) beberapa waktu lalu mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) bertindak dalam menangani dampak pandemi Covid-19. Salah satu usul Banggar DPR RI adalah BI mencetak uang sebanyak Rp 600 triliun. 

Menurut Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDIP Said Abdullah, usulan itu masuk akal, terutama dari sisi inflasi yang kerap kali dikhawatirkan.

"Kalau nyetak uang Rp 600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Htungan kami kalau BI nyetak Rp 600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp 600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? Dari mana hitungannya," kata Said dikutip dari detik.com, Kamis (7/5/2020).

Ia juga mengungkapkan alasan lain di balik usulan itu. Said bilang kalau dibutuhkan sumber dana bagi pemerintah dalam menjalankan stimulus Rp 405 triliun.

"Karena kegentingan memaksa tahun ini saja supaya apa yang direncanakan dimasukkan refocusing, realokasi dilakukan pemerintah Rp 405 triliun berjalan sesuai target pemerintah maka perlu BI diharapkan peran sentralnya sebagai the last resort, nyetak uang dong Rp 600 triliun tapi dengan bunga 2,5%," ujar Said.

Berbicara dalam media briefing, Rabu (6/5/2020), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan pencetakan uang untuk menambah likuiditas tidak tepat dilakukan.

Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT). Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.

"Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI," ujar Perry.

Menurut dia, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter yang lazim seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Ia menambahkan, banyak masyarakat yang juga menginginkan BI mencetak uang dan mengedarkan ke masyarakat. Namun hal itu tidak akan dilakukan, karena bisa memacu inflasi tinggi seperti dilakukan pada saat kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998.

Oleh karena itu, perluasan operasi moneter demi menambah likuiditas dilakukan BI. Bahkan selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp 503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Namun, agar kebijakan moneter BI ini bisa sampai ke sektor riil dinilai tugas dari kebijakan fiskal pemerintah serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu, koordinasi terus diperkuat demi mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas pasar keuangan.

"BI kan mandatnya kendalikan inflasi dan stabilkan nilai tukar rupiah, tentu saja kami pertimbangkan, kami juga ingin pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pertumbuhan ekonomi ini kan fungsi fiskal," jelasnya.



Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Rizal Ramli juga menilai usulan Banggar DPR RI agar BI mencetak uang Rp 600 triliun tidak tepat. Ia mengingatkan apa yang terjadi pada era orde lama hingga orde baru.

"Waktu gubernur BI zaman Soekarno, kerjanya cetak uang aja. Akhirnya terjadi inflasi 1.000 persen, rupiah jatuh, ekonomi kita hancur. Pada tahun 1998 juga, karena krisis akhirnya terpaksa cetak uang di Australia, akhirnya inflasi naik 68 persen. Jadi jangan ulangi kesalahan model begini", kata Rizal kepada CNBC Indonesia dalam program Closing Bell, Rabu (6/5/2020).

"Eropa sama AS bisa mencetak uang lebih dari seharusnya. Misalnya harusnya 10 persen, dia cetak tiga kali gak masalah karena mereka punya cadev (cadangan devisa) besar. Kita, cadev kita enam bulan terakhir kan dari pinjam, bukan dari produktivitas impor ekspor, tapi kebanyakan pinjam. Uang pinjam ini dipake mompa, ya celaka", lanjutnya.

Untuk itu, Rizal mengkritik keras usulan anggota parlemen tersebut.

"Ini jangan bawa ke kehancuran. Anggota DPR kalau gak ngerti ya tanya, jangan sok ngerti," katanya.

[Gambas:Video CNBC]




(miq/miq) Next Article Sederet Alasan BI Ogah Cetak Uang Banyak-banyak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular