Soal BI Cetak Uang Rp600 T, Faisal Basri: Isu Ini Kita Kubur!

Daniel Formen Siburian, CNBC Indonesia
18 May 2020 17:29
Ekonom senior, Faisal Basri saat menghadiri acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ekonom senior, Faisal Basri saat menghadiri acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior Faisal Basri turut mengomentari usulan DPR RI agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebesar Rp 600 triliun, guna menyelamatkan ekonomi Indonesia dari pandemi Covid-19.

Dosen Universitas Indonesia itu menyimpulkan kebijakan mencetak uang tersebut hanya akan menimbulkan risiko moral alias moral hazard.

Menurutnya, kebijakan ini dapat berakibat pada inflasi yang hanya akan membawa bencana bagi negeri sendiri. Ia mengatakan seharusnya pemerintah dapat belajar dari masa orde lama, di mana kebijakan mencetak uang pada masa itu berujung pada inflasi dan krisis ekonomi.

Lebih lanjut Ia menuturkan, risiko penyimpangan atau moral hazard ini juga berpotensi terjadi mengingat pemerintah memiliki kepentingan tersendiri dalam setiap kebijakan yang diambil.

Tak terkecuali DPR RI, Faisal menilai usulan tersebut bisa saja didasarkan untuk memperkuat posisi tawar atau bargaining position wakil rakyat di pemerintahan.

"Cetak uang adalah opsi yang pernah dilakukan di masa orde lama dan berbagai negara, hampir semua mengarah ke bencana. Hal ini karena negara itu dikelola oleh politisi," ungkap Faisal dalam webinar ISPE Lecture yang diadakan oleh INDEF, Senin (18/5/2020).


"Mereka itu [DPR] punya masa kepemimpinan 4 sampai 5 tahun, kemudian dipilih kembali, jadi cara pandangnya itu sempit. Mereka cenderung ingin mengalihkan masalah ke masa di depannya, tidak diselesaikan pada masa mereka. Spending-spending aja, tapi tidak mau intensifkan ke penerimaan, jadi ini adalah moral hazard yang terjadi," tegasnya.

"Coba anggota DPR itu apa motifnya cetak uang? Ya supaya mereka bargaining position dengan pemerintah meningkat, ya untuk dapat benefit. Misalnya minta tunjangan naik, nanti bilang kan sudah saya izinkan cetak uang, kan begitu nantinya," kata mantan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Jakarta ini.

Faisal juga mengatakan pencetakan uang bukan perkara mudah, ada syarat-syarat ketat dalam mengambil kebijakan tersebut.

Selain itu perlu dipastikan pula bahwa pemerintahan dapat berjalan bersih dan efektif, sehingga tak ada kepentingan yang terselubung. Dia berpendapat, syarat-syarat tersebut belum tercermin pada pemerintahan saat ini, sehingga menurutnya opsi pencetakan uang perlu dikubur sementara waktu.

"Syaratnya [pencetakan uang] itu harus sangat ketat. Semua itu membutuhkan syarat pemerintahannya bersih, efektif, semua jalan dengan bagus, uang banyak nanti alokasinya seperti apa," katanya.

"Cetak uang itu bisa berhasil kalau yang mengelola pemerintahan ini adalah dewa yang tidak punya interest. Jadi menurut saya moral hazard membuat cetak uang bukanlah opsi yang dikedepankan, kita kubur untuk sementara waktu," jelasnya.


Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo berkali-kali menekankan bahwa BI tidak akan mengambil langkah mencetak uang untuk menambah likuiditas di perbankan. Sebab, BI lebih memilih cara yang sesuai dengan mekanisme pasar.

Meski banyak yang meminta BI untuk mencetak uang termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat rapat bersama, tapi Perry menepis bahwa itu cara yang tepat. Sebelumnya salah satu usul Badan Anggaran DPR RI adalah BI mencetak uang sebanyak Rp 600 triliun.

Namun menurut Perry, cetak uang untuk menambah likuiditas perbankan serta membantu pembiayaan defisit fiskal bukan hal yang tepat, meskipun BI bisa melakukannya.

Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan MMT. Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.

"Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI," ujar Perry, Kamis (14/5/2020).

Alasan BI tidak ingin mencetak uang meski Indonesia dalam kondisi sulit karena dampak pandemi Covid-19 yakni, pertama, Perry tak ingin kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BI) pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi melonjak tinggi hingga 67% terulang kembali.

Saat itu BI mengeluarkan atau mencetak uang untuk membeli Surat Utang Pemerintah (SUP). Namun, saat kondisi kembali membaik, susah menyerap kembali saat likuiditas yang beredar terlalu besar.

"SUP-nya itu tidak tradable [diperdagangkan], suku bunganya itu mendekati 0%. Karena tidak tradable mendekati 0%, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak bisa menggunakan SUP ini untuk menyerap likuiditas. Kenapa di 98-99 itu inflasinya 67%. Itu yang disebut pencetakan uang. Beda dengan yang kita lakukan sekarang," jelasnya.

Kedua
, BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter yang lazim seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

GWM adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, besarannya ditetapkan oleh bank sentral berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun.

[Gambas:Video CNBC]





(tas/tas) Next Article Sederet Alasan BI Ogah Cetak Uang Banyak-banyak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular