
Per 12 Mei, Restrukturisasi Nasabah Leasing Capai Rp 44,6 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah restrukturisasi pembiayaan yang disetujui dilakukan perusahaan pembiayaan (multifinance/leasing) kepada nasabahnya sudah mencapai Rp 44,61 triliun yang terdiri dari 1,48 juta debitur leasing. Ini merupakan restrukturisasi pembiayaan yang berlaku selama pandemi Covid-19.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan jumlah tersebut berdasarkan data yang disampaikan per 12 Mei 2020.
"Jumlah bank, hampir semua bank komit dan yang sudah melaporkan hampir semuanya sudah melaporkan. Adapun lembaga keuangan, yang sudah restrukturisasi, jumlah kontraknya 1.484.768 nasabah dengan nilai Rp 44,61 triliun," kata Wimboh dalam teleconference, Jumat sore (15/5/2020).
Secara rinci,dari 183 perusahaan pembiayaan, ada 180 perusahaan telah menerima permohonan restrukturisasi dan menyampaikan laporan kepada OJK terkait dengan pelaksanaan program restrukturisasi.
Ada 2.210.448 jumlah kontrak permohonan baru dan ada 658.222 jumlah kontrak restrukturisasi dalam permohonan persetujuan. Sementara total kontrak yang disetujui yakni 1.484.768 kontrak dengan nilai Rp 44,61 triliun.
Sementara data restrukturisasi perbankan masih memakai data per 10 Mei lalu, di mana ada 88 bank sudah mengimplementasikan restrukturisasi kredit dengan total sebanyak 3,88 juta debitur dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 336,97 triliun. Dari jumlah itu, terbesar dilakukan nasabah UMKM yakni mencapai 3,42 juta debitur degan nilai Rp 167,1 triliun.
Dalam paparannya, Wimboh menjelaskan restrukturisasi tidak bersifat otomatis tapi harus diajukan oleh debitur dengan syarat:
- Plafon kredit/pembiayaan UMKM maksimal Rp10 miliar rupiah;
- Debitur existing individual/perusahaan termasuk debitur kendaraan bermotor roda dua /empat;
- Peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi;
- Teknis eksekusi restrukturisasi diserahkan kepada bank/leasing dengan prinsip kehati-hatian;
- Jangka waktu paling lama/maksimal 1 tahun;
- Debitur terdampak dan kredit lancar sebelum Pemerintah mengumumkan darurat Covid 19.
OJK menyampaikan, terjadi perbedaan persepsi masyarakat karena kurangnya pemahaman sehingga ini menjadi kendala di lapangan dalam program restrukturisasi ini.
Selain itu, kendala lain yakni industri (baik bank maupun multifinance) yang masih berpedoman pada SOP (standard operational procedure) lama sehingga cenderung memakan waktu dan birokrasi.
Tak hanya itu, kendala datang dari adanya beberapa pemda yang menetapkan penundaan penagihan kredit dari ASN (aparatur sipil negara) dan pengemudi online (ojol) yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan pembiayaan.
"Memang terjadi perbedaan antara masyarakat atau debitur degan bank [dan multifinance] sehingga sering terjadi distorsi di lapangan. Maka kami sampaikan bahwa dalam restrukturisasi ini, covenant [ketentuan kredit] itu harus betul-betul bahwa kredit yang bisa direstrukturisasi yang tidak macet sebelum dampak Covid-19, kalau sudah macet ga bisa [ikut program restrukturisasi]," tegas Wimboh.
(tas/tas) Next Article Restrukturisasi Nasabah Leasing Capai Rp 43 T per 8 Mei
