
Dialog dengan Perbina, Bos OJK: Bank RI Bakal Tumbuh di 2021

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis kinerja perbankan nasional akan tumbuh dengan sehat dan kuat dalam menghadapi tekanan serta dapat berkontribusi optimal dalam mewujudkan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19.
Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam pertemuan dengan Perhimpunan Bank-bank Internasional Indonesia (Perbina) di Jakarta, Senin kemarin (29/3/2021) sebagaimana disampaikan Wimboh dalam akun Instagram resmi OJK.
"Kemarin (29/3) saya berkesempatan berdialog dengan perwakilan Perhimpunan Bank-bank Internasional Indonesia. Dalam pertemuan itu saya menyampaikan bahwa OJK senantiasa menerima masukan dari industri perbankan serta siap untuk mengambil kebijakan yang diperlukan dalam mendukung pemulihan ekonomi termasuk kinerja perbankan," kata Wimboh, dikutip Selasa (30/3).
Dia mengatakan, pemberian vaksinasi secara masif ke berbagai penjuru daerah serta efektivitas vaksin menjadi kunci penting pemulihan ekonomi nasional.
Sampai dengan saat ini, pemulihan ekonomi mulai bergerak ke arah yang positif dengan beberapa indikator ekonomi bergerak naik.
"OJK bersinergi bersama Pemerintah dan BI [Bank Indonesia] menetapkan rangkaian kebijakan yang bersifat antisipatif, extraordinary, dan akomodatif, serta forward looking untuk menahan pelemahan ekonomi lebih jauh dan menghindari gangguan stabilitas sistem keuangan," tegas Wimboh.
Menurut dia, OJK telah mengeluarkan kebijakan stimulus lanjutan di tahun 2021 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor jasa keuangan.
Relaksasi temporer terhadap kebijakan prudensial tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit yang lebih cepat dengan mempertimbangkan adanya unsur idiosyncratic pada sektor jasa keuangan.
Data terbaru OJK mencatat, pertumbuhan kredit bank swasta asing adalah:
1. YoY pada Sep 2020 vs Sep 2019 adalah -2,5%
2. YoY pada Des 2020 vs Des 2019 adalah -8,9%
3. YoY pada Feb 2021 vs 2020 adalah -9,4%
Adapun ada tiga hal yang menjadi latar belakang tingkat pertumbuhan negatif ini. Pertama, pelunasan pinjaman besar-besaran di Q4-2020, karena ekses likuiditas di pasar yang mengakibatkan angka pertumbuhan Q3 ke Q4 2020 anjlok.
Kedua, pinjaman yang belum dicairkan di bank asing sebetulnya meningkat 5,1%, namun tidak atau belum dimanfaatkan oleh klien. Ketiga, sebanyak 27% dari kredit bank asing dalam bentuk valas dan permintaan turun.
Di sisi lain, secara umum, restrukturisasi kredit perbankan RI akibat pandemi menunjukkan, nilai outstanding (dikurangi nilai pelunasan) restrukturisasi kredit sektor perbankan per Januari 2021 mencapai Rp 825,8 triliun untuk 6,06 juta debitur. Jumlah ini mencapai 15,32% dari total kredit perbankan.
"Jika tidak direstrukturisasi, debitur tersebut akan default dan memberikan dampak besar bagi kinerja perbankan. Ini akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan serta perekonomian nasional," kata Wimboh.
Perbankan telah merestrukturisasi 4,37 juta debitur UMKM dengan total baki debet mencapai Rp328 triliun. Sedangkan jumlah debitur korporasi yang direstrukturisasi sebesar 1,68 juta debitur dengan baki debet sebesar Rp497,7 triliun.
Wimboh mengatakan upaya pemulihan ekonomi akan berjalan dengan baik jika semua pihak tidak berjalan sendiri. Namun senantiasa melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pihak/lembaga terkait dalam mengeluarkan kebijakan.
Saat ini penurunan suku bunga kredit bukan satu-satunya solusi untuk mendorong pertumbuhan kredit.
Berdasarkan data OJK, tren suku bunga menurun yang terjadi di masa pandemi juga belum mampu menjadi stimulus pelaku usaha untuk menggunakan fasilitas kreditnya. Namun penurunan bunga kredit modal kerja dan investasi tidak mempengaruhi jumlah penyaluran kredit perbankan.
Justru yang dibutuhkan adalah mengembalikan demand masyarakat. Efektivitas vaksin akan menjadi game changer bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional karena akan memberikan kepercayaan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas normal kembali.
Untuk diketahui sejak Januari 2020, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) telah mengalami penurunan sebesar 150 bps (basis poin).
Penurunan tersebut telah ditransmisikan oleh perbankan sehingga Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) periode yang sama turun sebesar 101 bps (dari 11,32% menjadi 10,32%), dan Suku Bunga Kredit (SBK) turun sebesar 95 bps (dari 12,99% menjadi 12,03%).
Penurunan tersebut berasal dari penurunan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) sebesar 86 bps (dari 5,61% ke 4,75%) dan penurunan overhead cost sebesar 29 bps (dari 3,18% ke 2,89%).
Sementara profit margin dan premi risiko naik masing-masing 14 bps (2,53% ke 2,68%) dan 5 bps (1,66% ke 1,71%).
Hal tersebut menunjukkan masih terdapat potensi penurunan SBDK dan SBK dari penurunan profit margin. Selain itu, suku bunga dana (deposito 12 bulan) juga mengalami penurunan sebesar 122 bps dari 6,87% menjadi 5,64%.
Namun demikian, hingga Februari kredit perbankan terkontraksi sebesar -2,15% yoy seiring dengan tingginya tren pelunasan kredit serta belum pulihnya permintaan sektor usaha.
Pada Maret 2021, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) tercatat sebesar 3,21%.
Sementara itu, likuiditas berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 17 Maret 2021 terpantau pada level 160,41% dan 34,67%, di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap-siap! Deretan Sektor Ini Bakal Dapat Relaksasi OJK
