
Tahan Kejatuhan Rupiah, Sri Mulyani Akan Tempuh Strategi Ini
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 May 2020 14:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga kejatuhan rupiah terhadap dolar AS di tengah dampak pandemi virus corona (Covid-19) yang juga memicu larinya modal asing keluar Indonesia.
"Yang dilakukan Kemenkeu untuk penguatan rupiah dan kebijakan fiskal mempengaruhi nilai tukar rupiah. Kami memahami kurs, bukan hanya [tugas] BI saja, banyak yang mempengaruhi nilai tukar rupiah," kata Sri Mulyani dalam paparan virtual di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Beberapa sentimen yang bisa menyetir pergerakan rupiah di antaranya dilihat dari balance of payment (neraca pembayaran), dan situasional pandemi Covid-19 yang bisa memicu terjadinya aliran modal keluar atau capital outflow, dan penarikan dana dari negara-negara berkembang dengan jumlah yang lebih besar dari Taper Tantrum 2013 dan krisis finansial.
"Jadi Covid-19 ini dampaknya lebih besar dari 2013 dan 2008," tegas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.
Taper tantrum mengacu pada istilah untuk efek pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) pada tahun 2013, yang langsung memukul nilai tukar sejumlah negara berkembang, termasuk rupiah. Diistilahkan Taper Tantrum karena efek itu langsung muncul meski tindakan kebijakan moneter belum dilakukan.
"[Dampak corona] ini sangat real mengancam. [Kami] bekerjasama dengan BI, melakukan stabilisasi di sektor pasar uang," kata Menkeu.
Sri Mulyani mengatakan Kemenkeu akan menjaga defisit anggaran bisa dibiayai tanpa tergantung sangat besar dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
"Untuk pendanaan defisit baik pake SAL [sisa anggaran lebih APBN] dan dana-dana abadi dan dana-dana BLU [badan layanan umum] kita lakukan. Maksimalkan untuk penggunaannya," katanya.
Dia juga menjelaskan, Kemenkeu akan meningkatkan pembiayaan fiskal dengan deaminasi valuta asing (forex). "Pemerintah bisa menghasilkan sumber pendanaan luar negeri untuk forex untuk [peningkatan] cadev [cadangan devisa] dan pembayaran-pembayaran utang, yang sifatnya deaminasi dolar."
"Kita juga issuance bond luar negeri, seperti 4,3 miliar dolar AS [global bond]. Ini membantu BI US$ 4 miliar dari kami bisa meningkatkan cadev secara langsung dan untuk pembayaran utang luar negeri," jelasnya.
"Secara jelas, kebijakan fiskal akan dilakukan hati-hati meskipun kondisi luar biasa berat dan dari luar negeri suku bunga rendah dan harus hati-hati dari sisi volatilitas nilai tukar rupiah. Dari luar negeri akan vulnerabilitas [rentan] dan defisit di atas rata-rata negara kita."
"Posisi Indonesia tidak terlalu baik. Neraca pembayaran dan cadev, Indonesia dianggap berisiko meskipun fiskal dijaga hati-hati," kata Menkeu.
Bank Indonesia (BI) sebagai penanggung jawab nilai tukar rupiah, juga melakukan intervensi mati-matian agar dolar tidak menembus Rp 17.000.
Gubernur BI Perry Warjiyo, mengatakan pada sekitar Maret 2020 lalu, dolar sempat mau 'menendang' ke Rp 17.000, akibat investor asing melakukan aksi jual surat utang negara (SUN) milik pemerintah Rp 160 triliun-Rp 170 triliun.
Untuk menahan pelemahan rupiah, Perry mengatakan, BI menguras cadev hingga US$ 7 miliar atau Rp 105 triliun. Karena itu cadangan devisa di akhir Maret 2020 berada di posisi US$ 121 miliar, turun US$ 9,4 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
"Ini kami buka supaya masyarakat paham, tidak minta di-terima kasih. Jadi ingat, Maret itu kurs memang melemah secara cepat," kata Perry dalam rapat di Gedung DPR, Rabu (6/5/2020).
Tak hanya intervensi Rp 100 triliun lebih di pasar spot, BI juga membeli SUN yang dijual asing hingga Rp 166,2 triliun. Ini dilakukan agar nilai SUN pemerintah tetap terjaga, dan tidak dijual oleh investor sehingga nilai tukar tidak melemah drastis.
"Stabilitas nilai tukar tugas BI, mohon dipahami kami gunakan seluruh resource biar dolar tidak Rp 17.000 dan sekarang sudah di bawah Rp 15,000. Tugas kami stabilkan dan beban Covid-19 tidak timbulkan tekanan krisis dan saat yang sama kita beli SBN Rp 166 triliun supaya yield [imbal hasil] tidak meroket ke 10%," papar Perry.
(tas/tas) Next Article Duh Dolar AS Lagi Garang, Rupiah pun Ditekuk & Tumbang
"Yang dilakukan Kemenkeu untuk penguatan rupiah dan kebijakan fiskal mempengaruhi nilai tukar rupiah. Kami memahami kurs, bukan hanya [tugas] BI saja, banyak yang mempengaruhi nilai tukar rupiah," kata Sri Mulyani dalam paparan virtual di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Beberapa sentimen yang bisa menyetir pergerakan rupiah di antaranya dilihat dari balance of payment (neraca pembayaran), dan situasional pandemi Covid-19 yang bisa memicu terjadinya aliran modal keluar atau capital outflow, dan penarikan dana dari negara-negara berkembang dengan jumlah yang lebih besar dari Taper Tantrum 2013 dan krisis finansial.
Taper tantrum mengacu pada istilah untuk efek pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) pada tahun 2013, yang langsung memukul nilai tukar sejumlah negara berkembang, termasuk rupiah. Diistilahkan Taper Tantrum karena efek itu langsung muncul meski tindakan kebijakan moneter belum dilakukan.
"[Dampak corona] ini sangat real mengancam. [Kami] bekerjasama dengan BI, melakukan stabilisasi di sektor pasar uang," kata Menkeu.
Sri Mulyani mengatakan Kemenkeu akan menjaga defisit anggaran bisa dibiayai tanpa tergantung sangat besar dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
"Untuk pendanaan defisit baik pake SAL [sisa anggaran lebih APBN] dan dana-dana abadi dan dana-dana BLU [badan layanan umum] kita lakukan. Maksimalkan untuk penggunaannya," katanya.
Dia juga menjelaskan, Kemenkeu akan meningkatkan pembiayaan fiskal dengan deaminasi valuta asing (forex). "Pemerintah bisa menghasilkan sumber pendanaan luar negeri untuk forex untuk [peningkatan] cadev [cadangan devisa] dan pembayaran-pembayaran utang, yang sifatnya deaminasi dolar."
"Kita juga issuance bond luar negeri, seperti 4,3 miliar dolar AS [global bond]. Ini membantu BI US$ 4 miliar dari kami bisa meningkatkan cadev secara langsung dan untuk pembayaran utang luar negeri," jelasnya.
"Secara jelas, kebijakan fiskal akan dilakukan hati-hati meskipun kondisi luar biasa berat dan dari luar negeri suku bunga rendah dan harus hati-hati dari sisi volatilitas nilai tukar rupiah. Dari luar negeri akan vulnerabilitas [rentan] dan defisit di atas rata-rata negara kita."
"Posisi Indonesia tidak terlalu baik. Neraca pembayaran dan cadev, Indonesia dianggap berisiko meskipun fiskal dijaga hati-hati," kata Menkeu.
Bank Indonesia (BI) sebagai penanggung jawab nilai tukar rupiah, juga melakukan intervensi mati-matian agar dolar tidak menembus Rp 17.000.
Gubernur BI Perry Warjiyo, mengatakan pada sekitar Maret 2020 lalu, dolar sempat mau 'menendang' ke Rp 17.000, akibat investor asing melakukan aksi jual surat utang negara (SUN) milik pemerintah Rp 160 triliun-Rp 170 triliun.
Untuk menahan pelemahan rupiah, Perry mengatakan, BI menguras cadev hingga US$ 7 miliar atau Rp 105 triliun. Karena itu cadangan devisa di akhir Maret 2020 berada di posisi US$ 121 miliar, turun US$ 9,4 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
"Ini kami buka supaya masyarakat paham, tidak minta di-terima kasih. Jadi ingat, Maret itu kurs memang melemah secara cepat," kata Perry dalam rapat di Gedung DPR, Rabu (6/5/2020).
Tak hanya intervensi Rp 100 triliun lebih di pasar spot, BI juga membeli SUN yang dijual asing hingga Rp 166,2 triliun. Ini dilakukan agar nilai SUN pemerintah tetap terjaga, dan tidak dijual oleh investor sehingga nilai tukar tidak melemah drastis.
"Stabilitas nilai tukar tugas BI, mohon dipahami kami gunakan seluruh resource biar dolar tidak Rp 17.000 dan sekarang sudah di bawah Rp 15,000. Tugas kami stabilkan dan beban Covid-19 tidak timbulkan tekanan krisis dan saat yang sama kita beli SBN Rp 166 triliun supaya yield [imbal hasil] tidak meroket ke 10%," papar Perry.
(tas/tas) Next Article Duh Dolar AS Lagi Garang, Rupiah pun Ditekuk & Tumbang
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular