
Seandainya Pasar Buka, Rupiah Punya Peluang Libas Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sah menguat empat hari beruntun pada perdagangan pekan ini, sudah berada di bawah Rp 14.000/US$. Tren penguatan rupiah ditopang oleh penurunan indeks dolar sebesar 0,7% di pekan ini.
Pada perdagangan terakhir Kamis (11/2/2021) sebelum libur Imlek, rupiah ditutup di Rp 13.970/US$. Di minggu ini rupiah berhasil menguat 0,36% di hadapan greenback.
Ketika dolar AS melemah maka ada kecenderungan mata uang lain seperti di Benua Asia bakal mengalami apresiasi. Hari ini perdagangan libur karena memperingati perayaan Tahun Baru Imlek.
Namun seandainya buka, rupiah masih berpeluang menguat. Hal ini tercermin dari pergerakan rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) yang sudah semakin mendekati Rp 13.900/US$ untuk kontrak satu pekan.
Penguatan nilai tukar rupiah didorong oleh adanya ekspektasi stimulus fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun di AS yang diharapkan bakal cair beberapa pekan ke depan. Pemerintah dan bank sentral AS akan tetap mempertahankan kebijakan makro yang akomodatif untuk menstimulasi perekonomian.
Jerome Powell sebagai bos otoritas moneter paling powerful di dunia yakni The Fed kembali menegaskan bahwa kebijakan ultra-longgar masih dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian.
Suku bunga acuan tak akan dinaikkan sampai setidaknya tahun 2023. Tapering dan pengetatan moneter untuk saat ini dinilai Powell sebagai tindakan yang prematur. Kebijakan ini jelas membuat dolar AS tertekan.
Likuiditas yang berlimpah memicu terjadinya inflow ke pasar keuangan negara berkembang tak terkecuali Indonesia. Pelemahan dolar AS, imbal hasil riil obligasi pemerintah AS yang sudah negatif hingga valuasi saham yang dinilai kemahalan membuat banyaknya pasokan uang tadi mencari rumah baru untuk beranak.
Aset-aset keuangan di Indonesia pun dilirik asing karena memberikan imbal hasil yang menarik. Di pasar surat utang negara (SUN) imbal hasil nominal SBN rupiah tenor 10 tahun masih di angka 6%. Jika dikurangi dengan inflasi sebesar 1,6% maka imbal hasil riilnya masih 4,4% dan lebih tinggi dari AS serta negara berkembang lain.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meski mengalami apresiasi tetapi belum pulih benar dari pandemi Covid-19. Masih ada ruang untuk IHSG menguat. Hal ini membuat inflow ke pasar keuangan domestik.
Bank Indonesia (BI) mencatat berdasarkan data transaksi 1- 5 Februari 2021, nonresiden di pasar keuangan domestik melakukan aksi beli neto Rp 12,12 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp 7,91 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp 4,21 triliun.
Berdasarkan data setelmen selama 2021 (ytd), nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto sebesar Rp 30,22 triliun. Adanya inflow ini membuat rupiah yang kecanduan akan hot money menjadi menguat.
Di saat yang sama, pandemi Covid-19 juga membuat defisit transaksi berjalan di Indonesia mengempis. Tingkat inflasi yang rendah juga mengindikasikan bahwa nilai mata uang terhadap barang dan jasa mengalami kenaikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh Dolar AS Lagi Garang, Rupiah pun Ditekuk & Tumbang