DBS Prediksi Rupiah di Atas Rp 14.000, Batal Menguat Dong?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2021 17:34
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sukses membukukan penguatan 4 hari beruntun pada perdagangan Kamis (11/2/2021), alias membukukan pekan sempurna. Sebab, Jumat kemarin pasar dalam negeri libur Hari Raya Imlek.

Melansir data Refinitiv, rupiah pada perdagangan hari ini menguat tipis 0,07% ke Rp 13.970/US$, sementara sepanjang pekan ini total penguatan tercatat sebesar 0,36%.

Meski demikian, di tahun ini rupiah diprediksi belum akan menguat, meski masih bergerak stabil oleh Bank DBS Indonesia. Dalam catatan yang dirilis, DBS memprediksi rupiah akan berada di rentang Rp 14.000-14.500/US$ di tahun ini hingga 2022.

Ekonom DBS, Philip Wee mengatakan prediksi tersebut sejalan dengan tren resesi global tahun lalu. Menurutnya ada dua hal penting dalam pergerakan rupiah pekan lalu.
Yang pertama USD/IDR turun tajam (rupiah menguat tajam melawan dolar AS) setelah bank sentral AS (The Fed) menggelontorkan stimulus moneter.

Yang kedua, USD/IDR berada dalam fase konsolidasi setelah The Fed berjanji mempertahankan kebijakan moneter longgar untuk mendukung pemulihan ekonomi AS.

Namun, menurut Philip, sejarah menunjukkan rupiah akan rentan mengalami pelemahan jika ekonomi AS pulih dan adanya ekspektasi perubahan arah kebijakan The Fed.

"Sejarah juga memperingatkan bahwa begitu pemulihan AS dinilai sudah cukup baik, IDR akan rentan terhadap ekspektasi arah kebijakan Fed, kurva imbal hasil obligasi AS yang naik dan akhirnya kenaikan suku bunga oleh Fed," kata Philip dalam catatan DBS.

Philip juga mengatakan perbedaan suku bunga acuan antara The Fed dengan Bank Indonesia (BI) serta imbal hasil (yield) obligasi akan menjaga kinerja rupiah di 2021 dan 2022. Tetapi ketika yield obligasi AS tenor 10 tahun naik ke atas 1,5%, maka rupiah berisiko mengalami volatilitas tinggi.

Ia juga menyebut jika BI bisa menaikkan suku bunga di 2022 mendahului The Fed.

"Untuk tahun 2022, konsensus memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga satu kali sebelum Fed menyiapkan kenaikan suku bunga," katanya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Belum Terbukti Tahan Lama di Bawah Rp 14.000/US$.

Sejak awal tahun ini, rupiah sudah 3 kali menembus level psikologis tersebut, tetapi selalu tidak tahan lama.

Melansir data Refinitiv, rupiah hari ini menguat 0,18% ke Rp 13.995/US$ di pasar spot. Sebelumnya, menembus Rp 14.000/US$, bahkan mencapai Rp 13.885/US$ pada 4 Januari lalu. Tetapi 5 hari perdagangan setelahnya kembali ke atas Rp 14.000/US$.

Rupiah berhasil menembus lagi level psikologis tersebut pada 21 Januari lalu, tetapi hanya berumur sehari saja. Baru di awal pekan ini rupiah kembali ke bawah Rp 14.000/US$, dan bertahan hingga hari ini.

Pergerakan tersebut menunjukkan jika rupiah kesulitan bertahan lama di bawah Rp 14.000/US$. Pergerakan di pekan ini juga mengindikasikan hal yang sama, seandainya dolar AS tidak tertekan ekspektasi stimulus fiskal, rupiah tentunya tidak akan mampu membukukan penguatan beruntun.

Apalagi, ada sinyal kemungkinan BI akan kembali memangkas suku bunga. Artinya jika benar dipangkas, spread suku bunga dengan The Fed akan menipis, hal tersebut tentunya tidak akan menguntungkan rupiah, sehingga kemungkinan besar rupiah masih akan berada di atas Rp 14.000/US$.

Gubernur BI Perry Warijyo memberi petunjuk mengenai arah kebijakan moneter ke depan. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, orang nomor satu di MH Thamrin itu menyiratkan kekecewaan terhadap kinerja perekonomian nasional.

Pada kuartal IV-2020, ekonomi Indonesia tumbuh -2,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). BI sempat memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air bisa tumbuh positif pada kuartal pamungkas tahun lalu.

"Sejujurnya ini di bawah ekspektasi. Memang arahnya ada perbaikan, tetapi tidak secepat yang kami perkirakan," tutur Perry, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, Perry mengungkapkan bahwa bank sentral membuka peluang untuk menurunkan suku bunga acuan demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun apakah ruang itu akan dimanfaatkan atau tidak, tergantung dinamika nilai tukar rupiah.

"Jika ditanya apakah kami punya ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut, kami punya ruang. Namun kami akan melihat berbagai kemungkinan, termasuk menjaga stabilitas khususnya stabilitas nilai tukar rupiah dan bagaimana kami bisa lebih efektif dalam membantu pemulihan ekonomi," jelas Perry.

Saat ini BI 7 Day Reverse Repo Rate ada di 3,75%. BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Februari 2021 pada pekan depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Waspada Taper Tantrum

Pelemahan dolar AS saat ini dipicu oleh ekspektasi cairnya stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun sebelum pertengahan Maret saat stimulus yang sedang berjalan saat ini habis.
Ketika stimulus fiskal cair lagi, maka jumlah mata uang yang beredar di perekonomian akan meningkat, secara teori dolar AS akan tertekan.

Tetapi, dengan cairnya stimulus tersebut, plus vaksinasi yang sedang dilakukan Pemerintah AS, tentunya laju pemulihan ekonomi berpeluang terakselerasi. Jika itu terjadi, seperti yang disebutkan Philip Wee, ekspektasi perubahan arah kebijakan moneter The Fed akan muncul, yang rentan membuat rupiah melemah.

The Fed saat ini menerapkan kebijakan moneter longgar, dengan suku bunga < 0,25% dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.

Berkaca dari krisis finansial global 2008, dimana The Fed juga menerapkan kebijakan yang sama, hal pertama yang dilakukan ketika perekonomian AS sudah pulih adalah dengan mengurangi nilai QE atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Dulu, tapering punya dampak yang mengerikan bagi pasar keuangan, termasuk rupiah. Sehingga wajar jika hal tersebut membuat was-was saat ini.

Tapering The Fed pernah terjadi pada periode 2013-2015. Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem.

Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Meski demikian, saat ini tapering tidak perlu terlalu dikhawatirkan, sebab The Fed berkomitmen untuk mencegah terjadinya taper tantrum lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular