DBS Prediksi Rupiah di Atas Rp 14.000, Batal Menguat Dong?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2021 17:34
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Pelemahan dolar AS saat ini dipicu oleh ekspektasi cairnya stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun sebelum pertengahan Maret saat stimulus yang sedang berjalan saat ini habis.
Ketika stimulus fiskal cair lagi, maka jumlah mata uang yang beredar di perekonomian akan meningkat, secara teori dolar AS akan tertekan.

Tetapi, dengan cairnya stimulus tersebut, plus vaksinasi yang sedang dilakukan Pemerintah AS, tentunya laju pemulihan ekonomi berpeluang terakselerasi. Jika itu terjadi, seperti yang disebutkan Philip Wee, ekspektasi perubahan arah kebijakan moneter The Fed akan muncul, yang rentan membuat rupiah melemah.

The Fed saat ini menerapkan kebijakan moneter longgar, dengan suku bunga < 0,25% dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.

Berkaca dari krisis finansial global 2008, dimana The Fed juga menerapkan kebijakan yang sama, hal pertama yang dilakukan ketika perekonomian AS sudah pulih adalah dengan mengurangi nilai QE atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Dulu, tapering punya dampak yang mengerikan bagi pasar keuangan, termasuk rupiah. Sehingga wajar jika hal tersebut membuat was-was saat ini.

Tapering The Fed pernah terjadi pada periode 2013-2015. Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem.

Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Meski demikian, saat ini tapering tidak perlu terlalu dikhawatirkan, sebab The Fed berkomitmen untuk mencegah terjadinya taper tantrum lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular