BPS Bawa Kabar Buruk, Tapi Kabar Baiknya Lebih Banyak Lho!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 April 2020 13:06
Aktifitas Peti Kemas di Daerah Priok. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini mengumumkan data perdagangan internasional Indonesia periode Maret 2020. Hasilnya membawa kabar baik dan kabar yang kurang enak didengar.

Nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09%. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.

Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.

Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.




Kabar buruknya dulu ya... Impor barang modal pada Maret 2020 turun 1,55% dibandingkan bulan sebelumnya. Dibandingkan dengan Maret 2019, penurunannya jauh lebih dalam yaitu 18,07%.

Barang modal ini akan digunakan untuk ekspansi industri dalam negeri pada masa mendatang. Penurunan impor barang modal memberi gambaran bahwa ekspansi industri domestik tidak terjadi.

"Kemungkinan besar akan berpengaruh kepada sektor industri, perdagangan, dan investasi. Ini yang perlu kita waspadai," tegas Suhariyanto, Kepala BPS.


Namun jangan khawatir, karena ternyata rilis data perdagangan hari ini lebih banyak membawa kabar gembira. Pertama, walau impor barang modal turun, tetapi impor bahan baku/penolong tumbuh positif.

Pada Maret 2020, impor bahan baku/penolong adalah US$ 10,28 miliar. Naik 16,34% dibandingkan sebelumnya dan secara year-on-year (YoY) masih naik 1,72%.

"Pada Maret 2020 dibandingkan Februari 2020, peningkatan impor dari China didorong oleh bahan kimia organik, plastik dan barang dari plastik, serta mesin dan peralatan listrik," kata Suhariyanto.

Jadi walau ekspansi industri loyo, tetapi aktivitas produksi yang eksisting kembali menggeliat. Pasokan bahan baku/penolong yang sempat seret sudah berangsur normal dan dapur industri kembali mengebul.


Ini tidak lepas dari pulihnya sejumlah negara dari pukulan pandemi virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid-2019), terutama China. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif corona di China per 14 Maret adalah 83.696 orang. Bertambah 0,12% dibandingkan sehari sebelumnya.

Kurva jumlah pasien corona di Negeri Tirai Bambu terus melandai. Kenaikan 0,12% adalah yang terendah sejak 11 April dan jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata kenaikan harian sejak 21 Januari-14 April yaitu 8,03%.



Penurunan jumlah kasus corona membuat pemerintah China membuka karantina wilayah (lockdown) di sejumlah wilayah. Salah satunya adalah Kota Wuhan, asal-muasal penyebaran virus corona.

Setelah lebih dari 70 hari 'dikunci', akhirnya Wuhan bebas. Akses keluar/masuk kota dibuka, transportasi publik beroperasi, dan aktivitas masyarakat berangsur normal. Termasuk aktivitas di industri manufaktur.


Pemulihan industri manufaktur China membuat pasokan bahan baku/penolong ke berbagai negara berangsur membaik. Indonesia pun menikmatinya.

Kedua, kebangkitan China juga mendorong peningkatan ekspor Indonesia. Pada Maret 2020, ekspor Indonesia ke China naik US$ 103,6 juta dibandingkan bulan sebelumnya.

"Selama Maret ini, ekspor ke Tiongkok meningkat 5,52% dibandingkan Februari. Barang utama di antaranya tembaga dan barang dari tembaga, lemak dan minyak hewan/nabati, serta besi dan baja. Bahkan dibandingkan Maret 2019 ada kenaikan 0,36%," sebut Ketjuk, sapaan akrab Suhariyanto.


Ketiga, kinerja ekspor selama kuartal I-2020 ternyata lumayan oke. Nilai ekspor pada Januari-Maret 2020 adalah US$ 41,79 miliar, naik 2,31% dibandingkan periode yang sama pada 2019.

Artinya, ekspor sepertinya akan memberi sumbangan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), bukannya memberatkan. Jadi meski perekonomian dunia terancam resesi, tetapi ekonomi Indonesia kemungkinan masih bisa tumbuh walau melambat signifikan.


Keempat, neraca perdagangan pada kuartal I-2020 tercatat surplus US$ 2,62 miliar. Ini menggambarkan pasokan valas dari kegiatan perdagangan cukup mumpuni sehingga bisa membantu memperkuat nilai tukar rupiah.

Kemarin, Bank Indonesia (BI) menyebut defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal I-2020 sangat rendah, yaitu di bawah 1,5% dari PDB. Salah satunya karena surplus di neraca perdagangan.

"Meskipun ekspor akan menurun sejalan dengan penurunan permintaan dan harga komoditas dunia, neraca perdagangan diprakirakan membaik dipengaruhi oleh penurunan impor yang lebih tinggi akibat menurunnya permintaan domestik dan berkurangnya kebutuhan input produksi untuk kegiatan ekspor," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI.


So, di tengah rentetan kabar buruk akibat pandemi virus corona ternyata masih banyak kabar baik juga. Kita hanya perlu yakin bahwa badai ini pasti berlalu, walau entah sampai kapan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular