
Q1-2020: Mata Uang Safe Haven Juara, Rupiah Terbuncit di Asia
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 April 2020 17:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (COVID-19) membuat peta kekuatan mata uang berubah drastis di kuartal I-2020. Rupiah yang paling kentara, pada bulan Januari, rupiah merupakan juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia melawan dolar Amerika Serikat.
Sejak akhir 2019 hingga 24 Januari, rupiah mencatat penguatan 2,29% melawan dolar AS. Saat itu tidak ada satupun mata uang di dunia yang bisa menguat lebih dari 2% melawan the greenback, selain rupiah.
Di awal tahun, pasar finansial global sedang ceria setelah AS-China menandatangani kesepakatan dagang fase I. Perekonomian global tahun diprediksi akan lebih baik dari tahun lalu. Sentimen pelaku pasar membaik, dan masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Dalam kondisi tersebut, rupiah menjadi mata uang yang paling diuntungkan, bahkan disebut menjadi "kesayangan" pelaku pasar.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis di Bank of America Merryl Lynch (BAML) dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Tetapi semua berubah setelah virus corona yang berasal dari kota Wuhan China berubah menjadi pandemi.
Perekonomian global yang sebelumnya diprediksi akan membaik justru kini menuju jurang resesi.
Banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) demi meredam penyebarannya. Dampaknya, aktivitas ekonomi menurun tajam, dan resesi kembali datang.
Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Services memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20, akan terkontraksi tajam di tahun ini.
"Ekonomi negara G-20 akan mengalami guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada paruh pertama tahun ini dan akan berkontraksi pada tahun 2020 secara keseluruhan," tulis Moody's, dalam riset bertajuk Global Macro Outlook 2020-21, dikutip Kamis (26/3/2020).
Moody's memperkirakan, PBD riil sepanjang tahun 2020 dari negara-negara G-20 secara rata-rata akan minus 0,5%, jauh di bawah perkiraan pada proyeksi awal November lalu dengan estimasi pertumbuhan sebesar 2,6%.
Sementara Kepala Ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.
PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.
Akibat "hantu" resesi yang kembali bergentayangan, pasar keuangan global mengalami gejolak, Indonesia sebagai negara emerging market menjadi salah satu yang terpukul bahkan cukup telak. Aliran modal keluar (capital outflow) besar terjadi, yang membuat rupiah terkapar.
Apalagi setelah virus corona "menyerang" Indonesia sejak awal Maret, capital outflow semakin masif. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi.
Sementara sepanjang kuartal I-2020, sebesar Rp 134,95 triliun.
Itu artinya aksi jual investor asing di pasar obligasi memang terjadi di bulan Maret, yang membuat kurs rupiah merosot. Dampaknya, rupiah ambles 13,67% sepanjang Maret, dan sepanjang kuartal I-2020 sebesar 17,44%.
Mayoritas mata uang utama Asia memang melemah di hadapan dolar AS di kuartal I-2020. Tetapi, pelemahan rupiah menjadi yang paling besar, bahkan baht Thailand yang pelemahannya terbesar kedua "hanya" 10%. Sisanya melemah satu digit persentase.
Rupiah, dari yang terbaik di Asia bahkan dunia, berbalik menjadi yang paling buncit di Asia di akhir bulan Maret.
Mata uang yang terbaik tentu saja yen Jepang, yang menyandang status aset aman (safe haven). Kala kondisi finansial global sedang bergejolak, pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset-aset safe haven.
Tidak hanya itu Jepang merupakan negara kreditur terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip CNBC International, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,1 triliun di tahun 2018. Status tersebut mampu dipertahankan dalam 28 tahun berturut-turut.
Saat terjadi gejolak di pasar finansial, investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen masih cukup perkasa.
Selain yen Jepang, dolar Hong Kong juga mampu menguat 0,5% di periode Januari-Maret tahun ini.
Sejak akhir 2019 hingga 24 Januari, rupiah mencatat penguatan 2,29% melawan dolar AS. Saat itu tidak ada satupun mata uang di dunia yang bisa menguat lebih dari 2% melawan the greenback, selain rupiah.
Di awal tahun, pasar finansial global sedang ceria setelah AS-China menandatangani kesepakatan dagang fase I. Perekonomian global tahun diprediksi akan lebih baik dari tahun lalu. Sentimen pelaku pasar membaik, dan masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis di Bank of America Merryl Lynch (BAML) dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Tetapi semua berubah setelah virus corona yang berasal dari kota Wuhan China berubah menjadi pandemi.
Perekonomian global yang sebelumnya diprediksi akan membaik justru kini menuju jurang resesi.
Banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) demi meredam penyebarannya. Dampaknya, aktivitas ekonomi menurun tajam, dan resesi kembali datang.
Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Services memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20, akan terkontraksi tajam di tahun ini.
"Ekonomi negara G-20 akan mengalami guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada paruh pertama tahun ini dan akan berkontraksi pada tahun 2020 secara keseluruhan," tulis Moody's, dalam riset bertajuk Global Macro Outlook 2020-21, dikutip Kamis (26/3/2020).
Moody's memperkirakan, PBD riil sepanjang tahun 2020 dari negara-negara G-20 secara rata-rata akan minus 0,5%, jauh di bawah perkiraan pada proyeksi awal November lalu dengan estimasi pertumbuhan sebesar 2,6%.
Sementara Kepala Ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.
PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.
Akibat "hantu" resesi yang kembali bergentayangan, pasar keuangan global mengalami gejolak, Indonesia sebagai negara emerging market menjadi salah satu yang terpukul bahkan cukup telak. Aliran modal keluar (capital outflow) besar terjadi, yang membuat rupiah terkapar.
Apalagi setelah virus corona "menyerang" Indonesia sejak awal Maret, capital outflow semakin masif. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi.
Sementara sepanjang kuartal I-2020, sebesar Rp 134,95 triliun.
Itu artinya aksi jual investor asing di pasar obligasi memang terjadi di bulan Maret, yang membuat kurs rupiah merosot. Dampaknya, rupiah ambles 13,67% sepanjang Maret, dan sepanjang kuartal I-2020 sebesar 17,44%.
Mayoritas mata uang utama Asia memang melemah di hadapan dolar AS di kuartal I-2020. Tetapi, pelemahan rupiah menjadi yang paling besar, bahkan baht Thailand yang pelemahannya terbesar kedua "hanya" 10%. Sisanya melemah satu digit persentase.
Rupiah, dari yang terbaik di Asia bahkan dunia, berbalik menjadi yang paling buncit di Asia di akhir bulan Maret.
Mata uang yang terbaik tentu saja yen Jepang, yang menyandang status aset aman (safe haven). Kala kondisi finansial global sedang bergejolak, pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset-aset safe haven.
Tidak hanya itu Jepang merupakan negara kreditur terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip CNBC International, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,1 triliun di tahun 2018. Status tersebut mampu dipertahankan dalam 28 tahun berturut-turut.
Saat terjadi gejolak di pasar finansial, investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen masih cukup perkasa.
Selain yen Jepang, dolar Hong Kong juga mampu menguat 0,5% di periode Januari-Maret tahun ini.
Pages
Most Popular