RI Ada Pandemic Bond & Eropa Coronabonds, Bagaimana Skemanya?

CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
07 April 2020 12:12
RI Ada Pandemic Bond & Eropa Coronabonds, Bagaimana Skemanya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Penerbitan surat utang untuk menangani dampak ekonomi dari pandemi virus corona (Covid-19) mulai diwacanakan. Indonesia berencana merilis surat utang bernama Pandemic Bond, atau sebelumnya disebut Recovery Bond, sementara negara-negara Eropa akan meminta persetujuan penerbitan Coronabonds.

Dalam konferensi pers virtual, Rabu (1/4/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Pemerintah Indonesia secara resmi akan menerbitkan Pandemic Bond sebagai salah satu upaya mendukung dunia usaha dalam meningkatkan likuiditas keuangan di tengah wabah Covid-19.

Pandemic Bond, atau Recovery Bond adalah surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang bisa diakuisisi Bank Indonesia (BI) serta sektor swasta lainnya seperti importir, eksportir, dan sebagainya.

Sri Mulyani menegaskan akan mencermati betul aturan yang akan menjadi pelaksanaan penggunaan Pandemic Bond. Pemerintah tidak ingin, kebijakan ini justru ugal-ugalan.

"BI dan Kemenkeu akan membuat rambu-rambu agar tidak ada persepsi pemerintah secara ugal-ugalan minta pembiayaan BI," kata Sri Mulyani. 
"Ini untuk mencegah market volatile yang timbul, sehingga tidak rasional dan perlu direspon dengan pilihan pembiayaan," tegasnya.

Sebagai informasi, skema Pandemic Bond memang kerap dianggap mirip seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. BLBI adalah skema bantuan yang diberikan bank sentral kepada bank yang mengalami likuiditas pada saat krisis 1997-1998.


Bantuan likuiditas yang dimaksud berupa pinjaman sejumlah uang. Kala itu, total dana talangan BLBI yang dikeluarkan bank sentral mencapai Rp 144,5 triliun. Namun, Sri Mulyani menegaskan akan mengatur aturan recovery bond dengan hati-hati.

"Anggota KSSK [Komite Stabilitas Sistem Keuangan] tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika lakukan tugas Perppu. Ini langkah untuk menghindari moral hazard," jelasnya.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 31 Maret lalu meneken penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu di tengah 'perang' melawan virus corona (COVID-19) yang berimbas pada perekonomian domestik dan global.

Perppu tersebut yakni Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu ini disebutkan ada kewenangan tambahan dari KSSK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Salah satu kewenangan BI yakni bisa membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana.

Pasal 15 Ayat (1), BI diberikan kewenangan untuk: "Membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi covid-19."

Lalu bagaimana skema Pandemic Bond?

Mengutip penjelasan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, Recovery Bond/Pandemic Bond akan berbentuk surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang bisa dibeli oleh BI dan pihak swasta lain, seperti importir, eksportir, dan investor.

"Dana hasil penjualan surat utang ini, dipegang oleh pemerintah lalu disalurkan ke seluruh dunia usaha dalam bentuk kredit khusus, untuk bangkitkan dunia usaha," jelas Susiwijono dalam konferensi pers, Kamis (26/3/2020).

Bagi pengusaha yang ingin mendapatkan kredit khusus ini, kata Susiwijono, ada syarat yang harus dipenuhi yakni tidak boleh ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Kalau pun ada karyawannya yang harus kena PHK, harus mempertahankan 90% karyawan dengan gaji tidak berkurang dari sebelumnya," tutur Susiwijono.

Rencana pemerintah ini pun mengingatkan publik pada mekanisme bantuan likuiditas yang pernah dikucurkan pada era 1998, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Menurut matriks perbandingan yang disusun oleh Tim Riset CNBC Indonesia, kedua instrumen ini memiliki perbedaan yang mendasar dalam tataran teknis.



Namun demikian, ada tiga kesamaan antara R-Bond ini dengan BLBI, yang justru sangat penting untuk diperhatikan yakni: tujuan, risiko, dan efek likuiditas. Kegagalan pengelolaan risiko BLBI terbukti meninggalkan bom waktu yang hingga 30 tahun belum sepenuhnya tuntas.

Meski R-Bond diterbitkan dalam bentuk surat utang, yang melalui mekanisme pasar, tetapi risiko moral hazard tidak lantas hilang. Moral hazard kasus BLBI terjadi di internal pengawasan BI yang saat itu secara kelembagaan lemah karena belum sekuat seperti sekarang setelah muncul Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Untuk R-Bond, risiko moral hazard berpeluang terjadi di wilayah fiskal, yakni Kementerian Keuangan, dalam hal penentuan kategori perusahaan yang berhak menerima kredit khusus dari pemerintah. Dari puluhan ribu perusahaan, perusahaan mana yang dinilai layak untuk menerima kredit ini?

Dalam aspek inilah faktor moral hazard berpeluang terjadi ketika pelaku usaha dan politisi berusaha masuk untuk "memengaruhi" proses birokrasi yang melibatkan dana triliunan ini.

Risiko lain di BLBI yang juga terkandung di R-Bond terletak pada assessment terkait pembayaran kredit dan kerugian negara. Jika sebuah perusahaan penerima kredit khusus ini tiba-tiba gulung tikar atau menyatakan pailit setelah menerima kucuran kredit itu, maka pemerintah akan berurusan dengan PKPU dan berpeluang mencatatkan kerugian negara.

[Gambas:Video CNBC]

Dalam kesempatan terpisah, kepada CNBC Indonesia, Head of Economy Research PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana, menilai adanya instrumen ini menjadi solusi yang cukup baik di tengah pandemi corona dan bisa menambah likuiditas di pasar surat utang.

Namun, agar Pandemic Bonds ini menarik dan dapat diserap pasar, Fikri mengusulkan beberapa insentif seperti pengurangan pajak pertambahan nilai (PPn), bahkan bisa saja dihilangkan bagi pembeli surat utang ini.

Adanya instrumen ini, kata dia, juga bisa menambal defisit dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN 2020). Psalnya pemerintah mengalokasikan dana tambahan Rp 405 triliun dan bisa menyebabkan defisit fiskal melebar menjadi 5% Produk Domestik Bruto (PDB).


"Insentif juga dapat diberikan beberapa perlakuan khusus, misalnya dihitung sebagai modal bagi investor perbankan," kata Fikri, saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (3/4/2020).

Terkait dengan diperbolehkannya BI untuk membeli surat utang ini di pasar primer, menurutnya hal ini akan berdampak positif terutama meningkatnya likuiditas di pasar primer.

Namun pelaksanaannya tetap harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, menurut Undang-undang BI hanya boleh memberi surat utang di pasar sekunder. 

"Intervensi moneter akan berjalan dengan lebih baik. Di saat yang sama juga mampu menambah likuiditas sekaligus menambah kepercayaan bagi investor akan stabilitas sistem keuangan," jelas dia.
 

Di Eropa, dua Komisaris Eropa mendesak Jerman untuk mendukung surat utang khusus yang akan dikeluarkan Uni Eropa (UE) untuk memerangi krisis yang ditimbulkan wabah virus corona (COVID-19).

Desakan itu disampaikan karena negara-negara Eropa utara yang kaya, seperti Austria dan Belanda dan juga Jerman, masih enggan memberi dukungan untuk meluncurkan surat berharga yang disebut 'coronabonds' itu.

"Seperti Bank Sentral Eropa di bidang moneter dan keuangan, negara-negara anggota sekarang harus membuktikan semangat bersama yang menentukan dan inovatif," tulis Komisaris Eropa bidang Pasar Internal dan Layanan, Thierry Breton dan Komisaris Eropa bidang Ekonomi Paolo Gentiloni, dalam harian Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ), Senin (6/4/2020).

Lalu bagaimana skemanya?
Breton dan Gentiloni mengatakan surat berharga itu bisa meniru bentuk dana Eropa (Eropa fund) yang fungsi eksplisitnya memungkinkan penerbitan obligasi jangka panjang.

"Sangat terbatas pada investasi kolektif untuk revitalisasi industri dalam konteks krisis saat ini, instrumen itu akan menjadi bukti solidaritas yang tak tergoyahkan di antara negara-negara UE," kata mereka.

Menurut AFP, alasan yang menyebabkan negara Eropa utara enggan mendukung langkah itu adalah karena para politisi konservatif khawatir rencana itu berarti adanya mutualisasi (menanggung bersama) dari semua utang (sovereign debts) dan pembayar pajak negara-negara Eropa utara dikhawatirkan akan dimanfaatkan negara-negara di Eropa selatan.

Untuk mencari solusi bagi masalah ini, para menteri keuangan dari negara-negara anggota zona euro akan bertemu pada Selasa ini waktu Eropa.

Sebelumnya pada Jumat, Wakil Kanselir Jerman Olaf Scholz telah mengusulkan tiga skema untuk coronabonds, di mana yang pertama yaitu mekanisme pinjaman murah yang dipakai saat krisis keuangan atau yang disebut Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM). Kedua yaitu, skema uang tunai dari Bank Investasi Eropa dan ketiga skema reasuransi pengangguran Uni Eropa yang besar.

Sementara itu, Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen juga telah menjanjikan program seperti "Rencana Marshall" pascakrisis untuk UE selama periode 7 tahun berjalan berikutnya dari 2021-2027. Rencana ini akan didanai melalui anggaran bersama yang ada, katanya.

Rencana Marshall adalah program ekonomi era 1947-1951 yang digagas Sekretaris Negara AS George Marshall, guna membangun ekonomi negara-negara Eropa usai Perang Dunia II.

Menanggapi rencana Scholz, Breton dan Gentiloni berpendapat bahwa akan diperlukan "pilar keempat" bantuan keuangan untuk mengatasi krisis, mengingat besarnya jumlah yang dilibatkan.

Permintaan itu disampaikan mereka di saat kondisi ekonomi negara-negara Eropa, seperti Jerman, sedang mengalami tekanan akibat wabah Covid-19. Sebagaimana dilaporkan Reuters, proyeksi ekspor di sektor mobil Jerman telah jatuh ke level terendah sejak Maret 2009, kata lembaga Ifo Jerman, Senin.

"Prospek untuk sektor mobil Jerman telah memburuk secara signifikan karena krisis virus corona," kata Ifo.

Lembaga ini mengatakan ekspektasi bisnis di sektor ini untuk beberapa bulan mendatang telah turun ke -33,7 dari -19,7 pada Februari.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular