Newsletter

Sampai Kapan Investor Lakukan "Sosial Distancing" dari Saham?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
31 March 2020 06:19
Sampai Kapan Investor Lakukan
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Saham Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Senin (30/3/2020) berakhir di level 4.414,5, melemah 2,88%. Rupiah melemah, tapi obligasi berbalik menguat. Investor pilih cari aman setelah pemerintah memilih pembatasan sosial skala besar untuk mengatasi penyebaran wabah COVID-19.

Kemarin, perdagangan di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat dihentikan sementara 30 menit (trading halt) pada pukul 10:20 WIB setelah IHSG ambles 5,01%. Tekanan jual juga dilancarkan oleh investor asing, dengan nilai jual bersih (net sell) senilai Rp 63,5 miliar di pasar reguler dan non reguler. Total nilai transaksi mencapai Rp 5,57 triliun. 


Untuk meredam penyebaran COVID-19, sempat beredar kabar jika pemerintah RI berencana membatasi akses ke Jabodetabek alias lockdown atau karantina wilayah. Kendaraan pribadi dan angkutan orang dilarang masuk, sementara angkutan logistik masih diperbolehkan.

"(Kendaraan) pribadi juga termasuk. Pokoknya angkutan oranglah. Angkutan barang enggak (berlaku). Logistik tidak," ujar Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Ahmad Yani kepada CNBC Indonesia, Minggu (29/3/20).

Hal ini juga berlaku untuk kereta api yang memiliki rute perjalan dari dan menuju Jabodetabek. Untuk penutupan ruas jalan, secara teknis, besar kemungkinan akan dilakukan blokade di sejumlah titik. "Ya kemungkinan begitu (diblokade)," ujarnya

Lockdown saat ini dilakukan oleh banyak negara maju untuk menghambat tingkat penyebaran virus corona baru yang sangat tinggi dan sulit terdeteksi karena inang (carrier) mereka seringkali tidak menunjukkan gejala sakit.

Namun Presiden Joko Widodo mengumumkan pembatasan sosial skala besar selang 30 menit sebelum penutupan pasar. Pembatasan sosial skala besar berkonsekuensi pada penindakan hukum terhadap mereka yang tidak patuh melakukan physical distancing. Aparat kepolisian bakal dilibatkan. Tentara juga turun tangan jika berlaku status darurat sipil.

"Saya minta pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi juga sudah saya sampaikan perlu didampingi kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.

Pasar tak merespons pengumuman itu. IHSG tetap lemah rupiah di kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor melemah 0,65% ke Rp 16.336. Sebaliknya, harga obligasi rupiah menguat karena investor memilih menghindari aset berisiko di saham ke obligasi (risk aversion).

Imbal hasil (yield) obligasi seri FR0082 yang bertenor 10 tahun turun 36,9 basis poin (bps) menjadi 7.906%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.Penurunan yield mengindikasikan harga yang menguat karena aksi beli investor.

Meski kebijakan restriksi sosial skala besar memiliki efek buruk lebih kecil dibandingkan lockdown, pasar melihat masih ada risiko penyebaran COVID-19 ke daerah-daerah karena aksi pulang kampung kian marak di tengah kian sepinya Ibu Kota di tengah restriksi sosial.

Pulang kampung bakal tak terbendung karena pemerintah tak melakukan lockdown terhadap Jabodetabek, dan menjadi gelombang kedua penyebaran virus COVID-19 yakni pada periode jelang Bulan Puasa dan Lebaran. 

Bakal percuma juga jika ekonomi Jakarta raya aman, tetapi ekonomi daerah morat-marit karena gempuran virus corona yang memicu maraknya pembatasan usaha secara nasional. Ketika pengangguran dan kemiskinan meningkat, maka terbukalah peluang terjadinya krisis sosial, tak hanya krisis ekonomi.

[Gambas:Video CNBC]



Bursa saham Amerika Serikat (AS) menguat pada pembukaan Senin (31/3/2020), menyusul kebijakan lanjutan penanganan wabah covid-19 di negara dengan perekonomian terbesar dunia itu.

Indeks Dow Jones Industrial Average melompat 690,7 poin (3,2%) menjadi 22.327,48. Indeks S&P 500 terkerek 3,4% ke 2.626,65 sedangkan indeks Nasdaq menguat 3,6% ke level 7.774,15. Saham teknologi seperti Microsoft, Alphabet dan Amazon menjadi pendorong reli tersebut, dengan kenaikan masing-masing sebesar 7%, 3,3% dan 3,4%.

Dengan demikian, Dow Jones melompat 20% dari aksi jual besar-besaran akibat wabah corona pada Senin sedangkan indeks S&P 500 telah melesat lebih dari 17%. Nasdaq membal lebih dari 13%.

“Saat ini, bursa saham memfaktorkan skenario pemulihan ekonomi berbentuk V,” tutur Dave Albrycht, chief investment officer Newfleet Asset Management, sebagaimana dikutip CNBC International. “Itu akan sangat bergantung pada apakah vaksin ditemukan, berapa lama ini akan terjadi dan apakah masyarakat mulai kembali bekerja setelah ini melewati puncaknya.”

Namun Presiden AS Donald Trump dalam konferensi pers pada Minggu kemarin mengatakan bahwa seruan social distancing telah diperpanjang menjadi 30 April, dan memperkirakan kasus kematian akibat virus corona baru ini akan memuncak dua pekan ke depan. Investor menafsirkannya sebagai kesiapan pemerintah mengantisipasi efek jangka panjang covid-19.

Sentimen positif juga datang dari Johnson & Johnson yang mengumumkan bahwa pihaknya mengidentifikasi kandidat vaksin virus corona. Tes terhadap manusia bakal dimulai pada September. Merespons kabar ini, saham emiten farmasi dan perawatan tubuh global itu melesat 8%.

Pekan lalu, Dow Jones mencatatkan reli mingguan terbesarnya sejak 1938, dengan melesat lebih dari 12%. Indeks S&P 500 dan Nasdaq mencatatkan kinerja terbaik sejak 2009 setelah melesat 10,3% dan 9,1%.

Kenaikan itu terjadi setelah Senat AS meloloskan paket stimulus senilai US$ 2 triliun, sementara bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga acuan sangat agresif ke level nyaris nol dan mengumumkan program quantitative easing (QE) yang akan dijalankan tanpa batas waktu.

“Bantengnya kembali ke panggung secara epik,” tutur Ken Berman, perencana investasi Gorilla Trades. “Meski menguat… ketakpastian seputar panjangnya kebutuhan lockdown dunia, yang menekan ekonomi dunia terus memperberat aset-aset berisiko.” Di bursa global, sentimen investor terlihat makin membaik dengan reli Wall Street semalam. Mereka memborong saham Johnson & Johnson yang menguji produk vaksin untuk melawan virus corona.

Mereka kian percaya diri berbelanja aset-aset berisiko seperti saham, setelah Presiden AS Donald Trump memperpanjang seruan social distancing menjadi 30 April, dan memperkirakan kasus kematian akibat COVID-19 ini akan mencapai titik puncaknya dua pekan ke depan. Artinya, krisis virus ini kemungkinan berakhir pada April.

Sejauh ini, efek buruk yang nyata krisis COVID-19 ini adalah melonjaknya angka pengangguran di AS ke level 3,28 juta pada 20 Maret. Ini menjadi level terburuk sejak tahun 1982. Terbaru, The Fed wilayah Dallas merilis indeks aktivitas manufaktur di kawasan itu yang berada di level -70 pada Maret, jauh lebih parah dari estimasi pasar di level -10.

“Dunia sedang memasuki fase ketiga, fase pertama adalah kejutan mengenai virus yang menyebar tak terkontrol di seluruh dunia, lalu respons kebijakan yang masif, dan sekarang musim gugur ekonomi telah datang dan menguji keyakinan rentan para investor,” tulis MRB Partners dalam laporan riset, sebagaimana dikutip CNBC International.

Namun di Indonesia, keyakinan serupa belum terlihat pada perdagangan kemarin. Kebijakan social restriction saja, tanpa karantina wilayah, tidak direspons positif oleh pasar.

Di tengah sepinya aktivitas bisnis akibat social restriction, peluang munculnya gelombang kedua penyebaran virus ke seluruh Indonesia pun terbuka. Hal ini memicu kebutuhan adanya lockdown parsial, di mana restriksi sosial yang akan dilakukan diikuti pembatasan arus keluar-masuk penumpang, demi mencegah carrier yang belum terdeteksi berpindah kota.

Padahal, angka penderita COVID-19 terus meningkat dengan skala yang cepat di kisaran 20% per hari. Per Senin (30/3/2020), jumlah pasien yang positif penyakit covid-19 mencapai 1.414 orang, dengan 75 orang sembuh dan 122 lainnya meninggal.

Rasio atau tingkat kematian masih tinggi di level 8,6% atau dua kali di atas rata-rata dunia yang sebesar 4%. Sementara itu, rasio kesembuhan hanya 5,3% atau jauh di bawah rerata dunia sebesar 20%. Dalam kurang dari sebulan, virus ini telah masuk ke 30 provinsi di Indonesia, dari total 34 provinsi yang ada.

Di tengah kondisi demikian, bursa nasional perlu melihat kebijakan tegas, taktis, dan terukur untuk menekan penyebaran virus ini. Ibarat kata, percuma membangun ribuan rumah sakit jika penyebaran virus tak mampu dibendung.

Selama jumlah korban corona terus meningkat layaknya deret ukur, sedangkan jumlah kesembuhan bergerak seperti deret hitung, maka investor bakal memilih "social distancing" dari aset berisiko seperti pasar saham. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
  • Penjualan motor dan mobil Indonesia per Februari (tentatif)
  • RUPST PT Itana Ranoraya Tbk (tentatif) 
  • RUPST PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (09:00 WIB) 
  • RUPSLB PT Urban Jakarta Propertindo Tbk (09:00 WIB)
  • RUPSLB PT Bank Harda Internasional Tbk (10:00 WIB)
  • Rilis Uang Beredar Bank Indonesia (17:00 WIB)
  • Indeks Manufaktur Fed Dallas (21:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,68%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular