
Newsletter
Sampai Kapan Investor Lakukan "Sosial Distancing" dari Saham?
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
31 March 2020 06:19

Di bursa global, sentimen investor terlihat makin membaik dengan reli Wall Street semalam. Mereka memborong saham Johnson & Johnson yang menguji produk vaksin untuk melawan virus corona.
Mereka kian percaya diri berbelanja aset-aset berisiko seperti saham, setelah Presiden AS Donald Trump memperpanjang seruan social distancing menjadi 30 April, dan memperkirakan kasus kematian akibat COVID-19 ini akan mencapai titik puncaknya dua pekan ke depan. Artinya, krisis virus ini kemungkinan berakhir pada April.
Sejauh ini, efek buruk yang nyata krisis COVID-19 ini adalah melonjaknya angka pengangguran di AS ke level 3,28 juta pada 20 Maret. Ini menjadi level terburuk sejak tahun 1982. Terbaru, The Fed wilayah Dallas merilis indeks aktivitas manufaktur di kawasan itu yang berada di level -70 pada Maret, jauh lebih parah dari estimasi pasar di level -10.
“Dunia sedang memasuki fase ketiga, fase pertama adalah kejutan mengenai virus yang menyebar tak terkontrol di seluruh dunia, lalu respons kebijakan yang masif, dan sekarang musim gugur ekonomi telah datang dan menguji keyakinan rentan para investor,” tulis MRB Partners dalam laporan riset, sebagaimana dikutip CNBC International.
Namun di Indonesia, keyakinan serupa belum terlihat pada perdagangan kemarin. Kebijakan social restriction saja, tanpa karantina wilayah, tidak direspons positif oleh pasar.
Di tengah sepinya aktivitas bisnis akibat social restriction, peluang munculnya gelombang kedua penyebaran virus ke seluruh Indonesia pun terbuka. Hal ini memicu kebutuhan adanya lockdown parsial, di mana restriksi sosial yang akan dilakukan diikuti pembatasan arus keluar-masuk penumpang, demi mencegah carrier yang belum terdeteksi berpindah kota.
Padahal, angka penderita COVID-19 terus meningkat dengan skala yang cepat di kisaran 20% per hari. Per Senin (30/3/2020), jumlah pasien yang positif penyakit covid-19 mencapai 1.414 orang, dengan 75 orang sembuh dan 122 lainnya meninggal.
Rasio atau tingkat kematian masih tinggi di level 8,6% atau dua kali di atas rata-rata dunia yang sebesar 4%. Sementara itu, rasio kesembuhan hanya 5,3% atau jauh di bawah rerata dunia sebesar 20%. Dalam kurang dari sebulan, virus ini telah masuk ke 30 provinsi di Indonesia, dari total 34 provinsi yang ada.
Di tengah kondisi demikian, bursa nasional perlu melihat kebijakan tegas, taktis, dan terukur untuk menekan penyebaran virus ini. Ibarat kata, percuma membangun ribuan rumah sakit jika penyebaran virus tak mampu dibendung.
Selama jumlah korban corona terus meningkat layaknya deret ukur, sedangkan jumlah kesembuhan bergerak seperti deret hitung, maka investor bakal memilih "social distancing" dari aset berisiko seperti pasar saham. (ags)
Mereka kian percaya diri berbelanja aset-aset berisiko seperti saham, setelah Presiden AS Donald Trump memperpanjang seruan social distancing menjadi 30 April, dan memperkirakan kasus kematian akibat COVID-19 ini akan mencapai titik puncaknya dua pekan ke depan. Artinya, krisis virus ini kemungkinan berakhir pada April.
Sejauh ini, efek buruk yang nyata krisis COVID-19 ini adalah melonjaknya angka pengangguran di AS ke level 3,28 juta pada 20 Maret. Ini menjadi level terburuk sejak tahun 1982. Terbaru, The Fed wilayah Dallas merilis indeks aktivitas manufaktur di kawasan itu yang berada di level -70 pada Maret, jauh lebih parah dari estimasi pasar di level -10.
“Dunia sedang memasuki fase ketiga, fase pertama adalah kejutan mengenai virus yang menyebar tak terkontrol di seluruh dunia, lalu respons kebijakan yang masif, dan sekarang musim gugur ekonomi telah datang dan menguji keyakinan rentan para investor,” tulis MRB Partners dalam laporan riset, sebagaimana dikutip CNBC International.
Namun di Indonesia, keyakinan serupa belum terlihat pada perdagangan kemarin. Kebijakan social restriction saja, tanpa karantina wilayah, tidak direspons positif oleh pasar.
Di tengah sepinya aktivitas bisnis akibat social restriction, peluang munculnya gelombang kedua penyebaran virus ke seluruh Indonesia pun terbuka. Hal ini memicu kebutuhan adanya lockdown parsial, di mana restriksi sosial yang akan dilakukan diikuti pembatasan arus keluar-masuk penumpang, demi mencegah carrier yang belum terdeteksi berpindah kota.
Padahal, angka penderita COVID-19 terus meningkat dengan skala yang cepat di kisaran 20% per hari. Per Senin (30/3/2020), jumlah pasien yang positif penyakit covid-19 mencapai 1.414 orang, dengan 75 orang sembuh dan 122 lainnya meninggal.
Rasio atau tingkat kematian masih tinggi di level 8,6% atau dua kali di atas rata-rata dunia yang sebesar 4%. Sementara itu, rasio kesembuhan hanya 5,3% atau jauh di bawah rerata dunia sebesar 20%. Dalam kurang dari sebulan, virus ini telah masuk ke 30 provinsi di Indonesia, dari total 34 provinsi yang ada.
Di tengah kondisi demikian, bursa nasional perlu melihat kebijakan tegas, taktis, dan terukur untuk menekan penyebaran virus ini. Ibarat kata, percuma membangun ribuan rumah sakit jika penyebaran virus tak mampu dibendung.
Selama jumlah korban corona terus meningkat layaknya deret ukur, sedangkan jumlah kesembuhan bergerak seperti deret hitung, maka investor bakal memilih "social distancing" dari aset berisiko seperti pasar saham. (ags)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Most Popular