Stimulus Fiskal Sudah Digelontorkan, Pasar Bisa Tenang?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 March 2020 09:50
Stimulus Fiskal Sudah Digelontorkan, Pasar Bisa Tenang?
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona atau COVID-19 sudah membuat panik pelaku pasar. Perekonomian global diprediksi melambat, dan aksi jual terjadi di bursa saham berbagai benua.

Guna meredam dampak virus corona ke perekonomian, pemerintah di negara-negara terdampak menggelontorkan stimulus fiskal, termasuk pemerintah Indonesia.

Pada hari Jumat (13/3/2020) pemerintah mengumumkan stimulus fiskal yang terdiri dari:
  1. Relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) 21 melalui skema Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada seluruh sektor industri pengolahan. Diberlakukan selama enam bulan untuk karyawan dengan gaji di bawah Rp 200 juta/bulan.
  2. Relaksasi PPh 22 impor untuk 19 sektor di industri pengolahan dan Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE). Berlaku selama enam bulan.
  3. Relaksasi PPh 25 dengan bentuk pengurangan pajak korporasi sebesar 30% untuk industri pengolahan. Berlaku selama enam bulan.
  4. Relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berupa bebas audit dan tanpa plafon untuk 19 industri tertentu selama enam bulan.



Untuk memberikan stimulus ini, pemerintah memperkirakan defisit anggaran 2020 bisa bertambah menjadi sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, rencana defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 adalah 1,76% PDB.

"Itu Rp 125 triliun sendiri (tambahan defisit). Belanja tidak direm tapi penerimaan turun. Kita akan lihat APBN memberikan dampak suportif kepada ekonomi hampir 0,8% PDB," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020).

Sebelumnya, berbagai insentif juga sudah digelontorkan seperti subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.

Setelah pengumuman tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sebelumnya ambles lebih dari 5% perlahan rebound hingga mengakhiri perdagangan Jumat dengan menguat 0,24%. Meski demikian, IHSG dalam sepekan membukukan penurunan lebih dari 10% akibat aksi jual masif yang dipicu penyebaran pandemi COVID-19 secara global. 





12 tahun lalu, pemerintah juga pernah mengucurkan stimulus fiskal. Krisis finansial di tahun 2008 juga sempat membuat gejolak di pasar keuangan global, dan menekan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2009, pemerintah juga menggelontorkan stimulus fiskal senilai 73,2 triliun, dengan realisasi sebesar Rp 60,6 triliun atau 82,7%.

Di tahun, IHSG berhasil bangkit dan membukukan penguatan 101%, setelah ambles 54% di tahun 2008.

Namun, benarkah stimulus fiskal tersebut secara efektif mampu menenangkan pasar, dan membuat IHSG berbalik menguat?

[Gambas:Video CNBC]





Tidak hanya Indonesia yang menggelontorkan stimulus fiskal, negara-negara lainnya sudah terlebih dulu melakukan guna melindungi perekonomian mereka.

Pada pertengahan Februari lalu, Pemerintah Singapura sudah menggelontorkan stimulus dengan memperlebar defisit anggaran menjadi 1,5% dari produk domestic bruto (PDB), menjadi yang terbesar sejak tahun 2011.

Selanjutnya Korea Selatan di awal bulan ini mengumumkan paket stimulus senilai 11,7 triliun won. Kemudian pada Selasa (10/3/2020) lalu, pemerintah Jepang menggelontorkan stimulus senilai 1 triliun yen (US$ 9,6 miliar) untuk perusahaan kecil dan sedang serta wirausahawan yang tertekan dampak pandemi COVID-19. Stimulus tersebut merupakan yang kedua setelah pada bulan Februari mengucurkan stimulus senilai 500 miliar yen.

Meski demikian, gelontoran stimulus tersebut nyatanya belum mampu menenangkan pelaku pasar. Aksi jual terus terjadi di bursa saham. Indeks Strait Times Singapura, Kospi Korea Selatan, dan Nikkei Jepang masih terus berguguran.

Sejak awal Februari hingga Jumat kemarin, indeks Strait Times Singapura dan Kospi Korea Selatan ambles lebih dari 16%, sementara Nikkei Jepang ambrol nyaris 25%.



Hal tersebut menunjukkan stimulus yang diberikan masing-masing negara belum sanggup menenangkan pelaku pasar. Saat ini yang paling diinginkan pelaku pasar adalah kepastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir.

Semakin lama wabah yang berasal dari kota Wuhan China ini "bergentayangan", maka pertumbuhan ekonomi global semakin tertekan.

Banyak negara sudah membatasi kegiatan di beberapa wilayah. Italia bahkan mengisolasi seluruh negaranya, kegiatan olah raga seperti sepak bola dihentikan sementara, begitu juga dengan liga Inggris dan Spanyol.

Itu artinya aktivitas ekonomi negara-negara tersebut akan menurun, semakin banyak negara yang membatasi kegiatan warganya maka pelambatan ekonomi global akan semakin tajam.

Hal itulah yang ditakutkan pelaku pasar, ketika aktivitas perekonomian menurun akibat dibatasi oleh pemerintah, maka stimulus fiskal juga kurang efektif dalam jangka pendek. Kondisinya tentu berbeda dengan krisis 2008-2009, saat itu pertumbuhan ekonomi sudah melambat dan bukan karena pembatasan aktivitas. Sehingga suntikan tenaga lewat stimulus fiskal mampu memutar roda perekonomian bergerak lebih kencang.

Meski demikian, ketika pandemi COVID-19 mulai menurun penyebarannya hingga berhenti, maka stimulus fiskal akan memacu perekonomian lebih kencang dan segera bangkit lagi. Ketika itu terjadi, pasar akhirnya akan tenang dan kembali masuk ke aset-aset berisiko.


TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap) Next Article Walau Jadi Runner Up, IHSG Masih Lemes Gara-gara Virus Corona

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular