
Stimulus Fiskal Sudah Digelontorkan, Pasar Bisa Tenang?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 March 2020 09:50

Tidak hanya Indonesia yang menggelontorkan stimulus fiskal, negara-negara lainnya sudah terlebih dulu melakukan guna melindungi perekonomian mereka.
Pada pertengahan Februari lalu, Pemerintah Singapura sudah menggelontorkan stimulus dengan memperlebar defisit anggaran menjadi 1,5% dari produk domestic bruto (PDB), menjadi yang terbesar sejak tahun 2011.
Selanjutnya Korea Selatan di awal bulan ini mengumumkan paket stimulus senilai 11,7 triliun won. Kemudian pada Selasa (10/3/2020) lalu, pemerintah Jepang menggelontorkan stimulus senilai 1 triliun yen (US$ 9,6 miliar) untuk perusahaan kecil dan sedang serta wirausahawan yang tertekan dampak pandemi COVID-19. Stimulus tersebut merupakan yang kedua setelah pada bulan Februari mengucurkan stimulus senilai 500 miliar yen.
Meski demikian, gelontoran stimulus tersebut nyatanya belum mampu menenangkan pelaku pasar. Aksi jual terus terjadi di bursa saham. Indeks Strait Times Singapura, Kospi Korea Selatan, dan Nikkei Jepang masih terus berguguran.
Sejak awal Februari hingga Jumat kemarin, indeks Strait Times Singapura dan Kospi Korea Selatan ambles lebih dari 16%, sementara Nikkei Jepang ambrol nyaris 25%.
Hal tersebut menunjukkan stimulus yang diberikan masing-masing negara belum sanggup menenangkan pelaku pasar. Saat ini yang paling diinginkan pelaku pasar adalah kepastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir.
Semakin lama wabah yang berasal dari kota Wuhan China ini "bergentayangan", maka pertumbuhan ekonomi global semakin tertekan.
Banyak negara sudah membatasi kegiatan di beberapa wilayah. Italia bahkan mengisolasi seluruh negaranya, kegiatan olah raga seperti sepak bola dihentikan sementara, begitu juga dengan liga Inggris dan Spanyol.
Itu artinya aktivitas ekonomi negara-negara tersebut akan menurun, semakin banyak negara yang membatasi kegiatan warganya maka pelambatan ekonomi global akan semakin tajam.
Hal itulah yang ditakutkan pelaku pasar, ketika aktivitas perekonomian menurun akibat dibatasi oleh pemerintah, maka stimulus fiskal juga kurang efektif dalam jangka pendek. Kondisinya tentu berbeda dengan krisis 2008-2009, saat itu pertumbuhan ekonomi sudah melambat dan bukan karena pembatasan aktivitas. Sehingga suntikan tenaga lewat stimulus fiskal mampu memutar roda perekonomian bergerak lebih kencang.
Meski demikian, ketika pandemi COVID-19 mulai menurun penyebarannya hingga berhenti, maka stimulus fiskal akan memacu perekonomian lebih kencang dan segera bangkit lagi. Ketika itu terjadi, pasar akhirnya akan tenang dan kembali masuk ke aset-aset berisiko.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap)
Pada pertengahan Februari lalu, Pemerintah Singapura sudah menggelontorkan stimulus dengan memperlebar defisit anggaran menjadi 1,5% dari produk domestic bruto (PDB), menjadi yang terbesar sejak tahun 2011.
Selanjutnya Korea Selatan di awal bulan ini mengumumkan paket stimulus senilai 11,7 triliun won. Kemudian pada Selasa (10/3/2020) lalu, pemerintah Jepang menggelontorkan stimulus senilai 1 triliun yen (US$ 9,6 miliar) untuk perusahaan kecil dan sedang serta wirausahawan yang tertekan dampak pandemi COVID-19. Stimulus tersebut merupakan yang kedua setelah pada bulan Februari mengucurkan stimulus senilai 500 miliar yen.
Sejak awal Februari hingga Jumat kemarin, indeks Strait Times Singapura dan Kospi Korea Selatan ambles lebih dari 16%, sementara Nikkei Jepang ambrol nyaris 25%.
Hal tersebut menunjukkan stimulus yang diberikan masing-masing negara belum sanggup menenangkan pelaku pasar. Saat ini yang paling diinginkan pelaku pasar adalah kepastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir.
Semakin lama wabah yang berasal dari kota Wuhan China ini "bergentayangan", maka pertumbuhan ekonomi global semakin tertekan.
Banyak negara sudah membatasi kegiatan di beberapa wilayah. Italia bahkan mengisolasi seluruh negaranya, kegiatan olah raga seperti sepak bola dihentikan sementara, begitu juga dengan liga Inggris dan Spanyol.
Itu artinya aktivitas ekonomi negara-negara tersebut akan menurun, semakin banyak negara yang membatasi kegiatan warganya maka pelambatan ekonomi global akan semakin tajam.
Hal itulah yang ditakutkan pelaku pasar, ketika aktivitas perekonomian menurun akibat dibatasi oleh pemerintah, maka stimulus fiskal juga kurang efektif dalam jangka pendek. Kondisinya tentu berbeda dengan krisis 2008-2009, saat itu pertumbuhan ekonomi sudah melambat dan bukan karena pembatasan aktivitas. Sehingga suntikan tenaga lewat stimulus fiskal mampu memutar roda perekonomian bergerak lebih kencang.
Meski demikian, ketika pandemi COVID-19 mulai menurun penyebarannya hingga berhenti, maka stimulus fiskal akan memacu perekonomian lebih kencang dan segera bangkit lagi. Ketika itu terjadi, pasar akhirnya akan tenang dan kembali masuk ke aset-aset berisiko.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap)
Pages
Most Popular