Pasar Global Kacau Gegara Corona, Emas & Yen Jadi Primadona

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 March 2020 17:03
Pasar Global Kacau Gegara Corona, Emas & Yen Jadi Primadona
Foto: Cover Topik/IHSG Ambles Tersengat Corona luar/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Wabah virus corona (COVID-19) yang melanda berbagai negara membuat pasar finansial global kacau balau. Sejumlah bursa saham utama global pun mengalami aksi jual masif.

Di awal penyebarannya di China pada pertengahan Januari, wabah virus corona belum memberikan efek yang signifikan ke pasar finansial.

Sentimen pelaku pasar masih baik-baik saja, aset-aset berisiko masih bergerak naik. Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia bahkan beberapa kali mencetak rekor sepanjang masa.

Tetapi ketika wabah corona semakin mengganas dan merembet ke 90 negara, pelaku pasar mulai ketar-ketir. Indeks S&P 500 sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa 3.386,15 pada 19 Februari lalu mengalami aksi jual "gila-gilaan". Sejak saat itu hingga Kamis kemarin (5/3/2020), S&P 500 sudah merosot 10,81%.



Persentase penurunan tersebut membaik di pekan ini, pada pekan lalu S&P 500 bahkan sempat menyentuh level terlemah dalam 6 bulan terakhir 2.855,84.

Dari rekor tertinggi sepanjang masa, S&P 500 ambruk hingga ke level terlemah dalam 6 bulan hanya dalam 7 hari perdagangan. Jika ditotal selama periode tersebut, S&P 500 ambles lebih dari 16%.

Periode 7 hari perdagangan tersebut menjadi masa yang "mengerikan" bagi bursa saham global.

Dari Eropa, indeks FTSE 100 Inggris merosot lebih dari 13%, menyentuh level terlemah sejak Juli 2016, sementara DAX 30 Jerman anjlok lebih dari 15% mencapai level terlemah 6 bulan.

Dari Asia, indeks Shanghai Composite mengalami aksi jual pada periode 14 Januari - 4 Februari, merosot sebesar 13,57% ke 2.685,26 yang merupakan level terendah dalam satu tahun terakhir. Semenjak saat itu, indeks Shanghai bergerak naik sebelum kembali periode naik turun yang tajam dalam dua pekan terakhir.

Namun yang paling membuat pelaku pasar cemas dan melakukan aksi jual di bursa saham adalah "produk turunan" dari wabah virus corona yakni pelambatan ekonomi global.

Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, secara global virus corona kini telah menjangkiti nyaris 100.000 orang, dengan 80.552 orang terjangkit di China. Dari total yang terjangkit tersebut, sebanyak 3.383 orang dilaporkan meninggal dunia, dan 55.398 orang sudah pulih.

Penyebaran virus corona atau yang disebut COVID-19 di China mulai melambat, tetapi di negara-negara lain justru mengalami lonjakan signifikan. Korea Selatan hingga saat ini tercatat ada 6.284 kasus, Italia 3.858 kasus, dan Iran 3.513 kasus.

Di pekan ini, peningkatan COVID-19 juga terjadi di AS, hingga saat ini tercatat ada 233 kasus. Negara Bagian California bahkan sudah memberlakukan status darurat karena korban jiwa di Negeri Paman Sam yang terus bertambah, saat ini menjadi 11 orang.



China sebagai pusat wabah corona diperkirakan akan mengalami pelambatan ekonomi yang signifikan. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 hanya 3,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6% dan jadi yang terlemah setidaknya sejak 1992.

Sementara itu Lembaga riset global, Moody's Analytics, memprediksi virus corona corona dapat menekan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 menjadi tinggal 5,4% dari angka pertumbuhan tahun lalu 6%.

Selain berdampak pada ekonomi China, ekonomi AS juga akan diprediksi akan melambat 0,6 ppt (persentase poin) dan hanya dapat tumbuh 1,3% pada kuartal I-2020. Tahun ini, ekonomi AS diprediksi melambat 0,2 ppt dari menjadi 1,7%.


Dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di China dan AS itu, maka dampaknya diprediksi dapat membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat 0,4 ppt menjadi 2,4% tahun ini dari prediksi awal 2,8%.

Pelambatan ekonomi global kini mulai menghantui, bank sentral di berbagai negara sampai harus memangkas suku bunga guna meminimalisir dampak negatif dari virus corona. Terbaru di pekan ini, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga 50 basis poin menjadi 1-1,25%.

Pengumuman tersebut dilakukan di luar jadwal resmi Rapat Dewan Gubernur (RDG) The Fed pada 17-18 Maret waktu AS. Kebijakan The Fed tersebut sempat membuat bursa saham global bangkit, tetapi Kamis kemarin hingga hari ini kembali mengalami aksi jual.


[Gambas:Video CNBC]




Di saat aksi jual terjadi di bursa saham, para pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven) seperti emas, mata uang yen, hingga obligasi AS.

Sejak kemunculan wabah virus corona di China pada pertengahan Januari lalu, harga emas terus bergerak naik hingga mencapai level tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.

Virus corona sebenarnya sudah ditemukan pada akhir Desember lalu, tetapi penyebarannya secara masif baru dimulai sejak pertengahan Januari, dan memicu aksi jual di bursa saham China.

Seperti disebutkan di halaman sebelumnya, indeks Shanghai mulai melemah sejak 14 Januari. Jika melihat sejak hari itu hingga Kamis kemarin harga emas dunia sudah melesat naik 6% dan ke US$ 1.670,3/troy ons, yang merupakan level penutupan tertinggi sejak Februari 2013.



Meski merupakan aset tanpa imbal hasil, tetapi emas menjadi salah satu aset safe haven yang paling diburu pelaku pasar saat terjadi gejolak finansial.

Nasib berbeda dialami aset safe haven lainnya, yakni yen. Mata uang Jepang ini sempat tertekan melawan dolar AS hingga ke level terlemah 10 bulan pada 20 Februari lalu meski bursa saham global sedang "kebakaran".

Sebabnya, Jepang menjadi salah satu negara dengan kasus virus corona terbanyak, dan perekonomiannya dikhawatirkan mengalami resesi akibat pelambatan ekonomi China.

Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.

Wabah virus corona memperburuk outlook ekonomi Jepang, yang membuat nilai tukar yen terus tertekan, bahkan diprediksi bisa kehilangan statusnya sebagai aset safe haven.

Tetapi, sejak mencapai level terlemah 10 bulan tersebut yen bangkit, hingga perdagangan hari ini sudah menguat lebih dari 5% dan menyentuh level terkuat dalam 6 bulan terakhir. Wabah virus corona yang masuk ke AS serta The Fed yang agresif memangkas suku bunga membuat yen kembali berjaya melawan dolar AS.



Selain itu penyebab yen kembali menguat adalah status Jepang sebagai negara kreditur terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang yang dikutip CNBC International, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,1 triliun di tahun 2018. Status tersebut mampu dipertahankan dalam 28 tahun berturut-turut.

Jumlah kepemilikan aset asing oleh Jepang bahkan 1,3 kali lebih banyak dari Jerman yang menduduki peringkat kedua negara kreditur terbesar di dunia. Saat terjadi gejolak di pasar finansial, investor asal Jepang akan merepatriasi dananya di luar negeri, sehingga arus modal kembali masuk ke Negeri Matahari Terbit tersebut, dan yen menjadi perkasa.

Selain kedua aset tersebut, obligasi AS atau Treasury yang paling menjadi incaran pelaku pasar. Hal tersebut terlihat dari turunnya yield Treasury tenor 10 tahun ke level terendah sepanjang masa. Sejak 14 Januari hingga hari ini yield Treasury tenor 10 tahun sudah turun 77,68 basis poin (bps) menjadi 0,8112%.



Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Itu artinya saat yield turun, permintaan obligasi sedang tinggi.

Meski imbal hasil riil yang didapat dari Treasury AS sangat rendah, tetapi pelaku pasar lebih mementingkan keamanan saat pertumbuhan ekonomi global berisiko melambat dan terjadi gejolak di pasar finansial.

Wabah virus corona memang sudah menunjukkan tanda-tanda melambat di China, tetapi terjadi lonjakan di negara-negara lain. Jika sampai kuartal II-2020 wabah COVID-19 ini masih belum berakhir, pelambatan ekonomi global berisiko semakin dalam, dan ketiga aset tersebut masih akan jadi buruan pelaku pasar.


TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular