Newsletter

Corona Picu Ketidakpastian & Global yang Was-was

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
06 March 2020 07:04
Corona Picu Ketidakpastian & Global yang Was-was

Jakarta, CNBC Indonesia - Tampaknya penguatan yang sempat menjadikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi Macan Asia pada Rabu (4/3/20) dan menghantarkan IHSG menguat hingga mengalahkan prediksi pasar, tak mampu dilanjutkan kemarin.

Indeks saham utama domestik itu ditutup terkoreksi 0,21% menjadi 5.638,13 kemarin dengan nilai transaksi yang agak besar, Rp 7,04 triliun. Dikatakan agak besar karena sejak awal tahun rerata transaksi harian di pasar saham hanya Rp 6,57 triliun, jeblok dibanding nilai transaksi harian 2019 9,13 triliun, 2018 Rp 8,5 triliun, dan 2017 Rp 7,6 triliun.




Lima dari sembilan indeks sektorlal melemah yang dialami sektor properti -1,13%, perdagangan -1,06%, pertambangan -0,56%, industri dasar -0,51%, dan keuangan -0,13% pada perdagangan Kamis (5/3/20).

Investor asing mencatakan aksi beli bersih (nett foreign buy) di pasar reguler Rp 297,70 miliar hingga penutupan perdagangan.

Data BEI mencatat di tengah koreksi pasar, terdapat beberapa saham yang justru mencatatkan penguatan signifikan seperti emiten farmasi BUMN yaitu PT Kimia Farma Tbk (KAEF) 22,82% dan PT Indofarma Tbk (INAF) 13,19%.

Penguatan duo saham farmasi BUMN yakni KAEF dan INAF itu terjadi di tengah upaya pemerintah, BUMN, dan swasta menangkal virus corona (COVID-19) yang masuk ke Indonesia, salah satunya dengan menemukan obat bagi penyakit saluran pernafasan tersebut.

Ekspektasi terhadap langkah-langkah pemerintah tersebut ternyata sempat menjadi tema bertransaksi investor pasar saham kemarin, meskipun tidak mampu menyelamatkan IHSG yang sempat menguat di awal perdagangan.

Ternyata pelemahan indeks saham itu juga seiring dengan pergerakan nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), saat mayoritas mata uang utama Asia menguat.

Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di Rp 14.110/US$, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah hingga melemah 0,46% di Rp 14.175/US$. Rupiah sempat menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, tetapi mampu memperbaiki posisi tersebut. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.160/US$, melemah 0,35% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Hingga pukul 16:55 WIB, empat mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS, baht Thailand menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,48%.

Performa rupiah kemarin terbalik dengan Rabu yang mampu menguat lebih dari 1%, sementara mata uang utama Asia lainnya mengalami penguatan yang tidak terlalu besar melawan dolar AS.

Penguatan rupiah tersebut terjadi akibat aliran modal ke dalam negeri setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve/The Fed mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga secara agresif, sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1-1,25%.

"Pemangkasan Fed Fund Rate [FFR] 50 bps meskipun menimbulkan aksi jual di pasar saham AS karena pasar menilai langkah The Fed tersebut belum cukup dengan narasi yang kurang tegas, namun di pasar Asia mendorong harga saham dan obligasi di pasar Asia," ungkap Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah, Rabu.

Koreksi yang terjadi di pasar saham dan pasar valas itu untungnya tidak terjadi di pasar obligasi.

Kemarin, harga obligasi rupiah pemerintah menguat karena ekspektasi penurunan suku bunga acuan lanjutan di Indonesia. Penurunan suku bunga lanjutan di dalam negeri semakin terbuka ketika The Fed secara tiba-tiba mengumumkan memangkas suku bunga acuannya atau Federal Funds Rate (FFR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1%-1,25% dari 1,5%-1,75%.

Pemangkasan yang mendadak itu merupakan yang pertama sejak Desember 2008 atau saat krisis finansial. Kala itu The Fed memangkas suku bunga sebesar 75 bps.



Dengan adanya pemangkasan suku bunga acuan AS, maka negara lain diprediksi akan menyesuaikan langkah The Fed agar tidak kehilangan momentum menurunkan suku bunga, termasuk Indonesia yang malah sudah duluan memangkas suku bunga.

Setiap penurunan suku bunga tentunya akan menguntungkan bagi harga surat utang negara (SUN) karena efek utang pemerintah tersebut dapat semakin diburu di pasar dengan ekspektasi penurunan suku bunga hanya akan membuat obligasi baru yang akan diterbitkan di kemudian hari akan memiliki kupon yang lebih mini dibanding sekarang.

Naiknya harga surat utang negara (SUN) itu seiring dengan apresiasi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.

Penguatan harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.

Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun, dan FR0083 bertenor 20 tahun.

Seri acuan yang paling menguat adalah FR0083 yang bertenor 20 tahun dengan penurunan yield 32,10 basis poin (bps) menjadi 7,13%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.


[Gambas:Video CNBC]



Di sisi instrumen investasi yang dianggap lebih aman (safe haven instrument), harga emas dunia di pasar spot mencetak rekor tertingginya tadi pagi setidaknya sejak awal 2013 lalu. Harga si logam mulia sudah mencapai US$ 1.670,3, atau meroket 2,13% dari posisi sehari sebelumnya.

Dengan kenaikan semalam, maka sejak awal tahun harga logam mulia itu sudah mencetak kenaikan 10,10%.

Penguatan harga emas itu tampaknya seiring dengan naik cepatnya angka penularan virus corona Covid-19, dan semakin menegaskan kodrat emas sebagai salah satu instrumen safe haven yang dapat menguat begitu risiko di dunia justru tambah bikin ngeri.

Meningginya risiko juga dipicu oleh semakin merangseknya penyebaran virus itu ke Amerika Serikat (AS). Sebanyak 52 kasus baru termasuk kawasan baru yang terkena penyebarannya yaitu Tennessee, Texas, dan kota San Francisco. Di ibukota mereka yaitu Washington, angka pengidap virus itu bahkan melonjak dua kalinya menjadi 70 orang.

Kenaikan angka penyebaran itu di AS tentu menambah jumlah angka penyebaran virus tersebut di seluruh dunia, yang mencapai 97.879 kasus pagi ini, berdasarkan data Johns Hopkins CSSE. Data penyebaran itu juga disertai angka kematian akibat virus tersebut sebanyak 3.348 jiwa.

Safe haven instrument lain yang juga terkena paparan naiknya risiko dari corona semalam adalah nilai tukar euro. Euro kembali menguat melawan dolar AS pada perdagangan Kamis setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksi kembali memangkas suku bunga secara agresif.

Pada pukul 20:45 WIB, euro menguat 0,4% ke US$ 1,118 di pasar spot, melansir data Refinitiv. Mata uang 19 negara ini kini berada di level tertinggi 2 bulan.

Penguatan euro juga ditambah oleh ekspektasi pelaku pasar. Hingga pagi ini, pelaku pasar global menilai bahwa The Fed akan menurunkan suku bunganya lagi pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17-18 Maret waktu AS, meskipun sudah diawali dengan pemangkasan 50 bps pada 2 hari lalu.

Kini, pelaku pasar kembali memprediksi The Fed akan memangkas suku bunga hingga 50 bps saat mengumumkan suku bunga 18 Maret (19 Maret waktu Indonesia) nanti.

Data CME Fedwatch menunjukkan pelaku pasar dunia yang memprediksi The Fed akan menurunkan suku bunga hingga 50 bps mencapai 88,5%, dan yang memprediksi akan turun lebih tipis yaitu 25% sebanyak 11,5%. Di sisi lain, tidak ada yang memprediksi bank sentral AS itu akan menetapkan kembali suku bunganya saat ini.

Imbas dari ekspektasi penurunan suku bunga acuan itu adalah melemahnya posisi dolar AS di hadapan mata uang utama, termasuk euro.




Wall Street juga belum lepas menjadi korban dari virus corona dan kekhawatiran yang menyertainya. Kali ini, saham-saham di sektor pariwisata yang terkena hantaman dari investor.


Koreksi Wall Street tentu akan menjadi perhatian utama pasar saham Asia hari, termasuk juga IHSG di dalam negeri.

Naiknya harga-harga instrumen investasi safe haven seperti emas, harga obligasi pemerintah AS, dan mata uang dunia seperti euro dan yen karena penyebaran virus corona Covid-19 ke AS tentu juga menambah beban bagi pergerakan pasar saham hari ini.

Apalagi, pagi ini yield obligasi pemerintah AS atau US Treasury sudah memasuki 0,89%, rekor terendah sepanjang masa. Turunnya yield itu berarti risiko yang dipandang pelaku pasar sedang besar-besarnya, bahkan selama ini menjadi yang paling besar.





Potensi lanjutan dari pemangkasan suku bunga acuan AS juga dapat dimaknai pelaku pasar dunia bahwa dampak corona cukup mampu menakuti pemerintah dan bank sentral negara-negara besar.

Apalagi, saat ini masing-masing negara, seperti halnya AS, berlomba-lomba berusaha menenangkan publik dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan preventif untuk merelaksasi regulasi atau bahkan langsung mengalirkan stimulus keuangan.

Salah satunya adalah Senat AS yang baru meloloskan Undang-undang senilai US$ 8,3 miliar untuk memerangi Covid-19, padahal baru berselang sehari setelah mendapatkan persetujuan dari DPR-nya mereka yaitu House of Representatives. Saat ini, posisi UU itu ada di tangan Presiden AS Donald Trump.

Potensi koreksi yang membesar itu untungnya dapat lebih terbatas karena ada pengumuman data cadangan devisa Indonesia periode Februari.

Dari dalam negeri, hari ini akan diumumkan data cadangan devisa valas. Tradingeconomics memprediksi cadev Februari akan turun tipis menjadi US$ 131,2 miliar dari sebelumnya pada Januari US$ 131,7 miliar.

Jika angkanya tidak jauh dari posisi Januari atau bahkan lebih baik dari itu, tentu dapat meredakan tekanan jual yang akan datang dari eksternal. Apalagi, dengan adanya penguatan pada euro dan yen, maka nilai tukar dolar rupiah dapat melemah hari ini dan berpotensi memberikan kekuatan bagi nilai tukar rupiah.

Pelemahan dolar AS hingga menyamai posisi di awal tahun ini, tercermin dari dollar index, tentu disebabkan oleh masuknya wabah Covid-19 hingga membuat angka penyebarannya di Negeri Paman Sam sudah mencapai 215 kasus, bertambah 63 orang atau lebih dari seperempatnya dibanding posisi kemarin.

Posisi Indeks Dollar, atau yang juga biasa disebut DXY dan USDX, sudah mencapai 96,82. Artinya adalah nilai tukar greenback, nama lain dolar AS, sudah turun dari posisi tertingginya tahun ini pada 99,86 pada 20 Februari.

Dollar Index adalah cerminan dari posisi dolar AS di hadapan enam mata uang lain dunia, yaitu euro, poundsterling, yen, dolar Kanada, franc Swiss, dan krona Swedia.

Hari ini, pasar juga pastinya masih akan mencermati lanjutan dari angka penyebaran virus corona di seluruh dunia yang pagi ini sudah mencapai angka 97.879 kasus dengan 3.348 angka kematian di seluruh dunia.

Apalagi ada dua negara yang baru terpapar virus corona, yaitu Kosta Rika dan Afrika Selatan, dan membuat total negara yang sudah diserang virus corona menjadi lebih dari 80 negara. Angka dan data itu mengacu pada data Johns Hopkins CSSE dan Worldometers.

Setelah penutupan pasar akhir pekan ini, pelaku pasar juga masih akan membuka mata terhadap data neraca perdagangan dan posisi cadev China yang akan diumumkan besok, di akhir pekan.

Jumat, 6 Maret 2020
PT Bank Mega Tbk (MEGA) RUPS 14.00 WIB

Cadangan devisa, Indonesia, 10.00 WIB.
Neraca perdagangan, angka tenaga kerja non-pertanian, Amerika Serikat. 20.30 WIB.



Sabtu, 7 Maret 2020
Neraca perdagangan, China. 10.00 WIB.
Cadangan devisa, China, 14.00 WIB.



Berikut ini sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Februari 2020 YoY)

2,98%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2020)

4,75%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (Januari 2020)

US$ 131,7 miliar

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular