
Corona Picu Ketidakpastian & Global yang Was-was

Jakarta, CNBC Indonesia - Tampaknya penguatan yang sempat menjadikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi Macan Asia pada Rabu (4/3/20) dan menghantarkan IHSG menguat hingga mengalahkan prediksi pasar, tak mampu dilanjutkan kemarin.
Indeks saham utama domestik itu ditutup terkoreksi 0,21% menjadi 5.638,13 kemarin dengan nilai transaksi yang agak besar, Rp 7,04 triliun. Dikatakan agak besar karena sejak awal tahun rerata transaksi harian di pasar saham hanya Rp 6,57 triliun, jeblok dibanding nilai transaksi harian 2019 9,13 triliun, 2018 Rp 8,5 triliun, dan 2017 Rp 7,6 triliun.
Lima dari sembilan indeks sektorlal melemah yang dialami sektor properti -1,13%, perdagangan -1,06%, pertambangan -0,56%, industri dasar -0,51%, dan keuangan -0,13% pada perdagangan Kamis (5/3/20).
Investor asing mencatakan aksi beli bersih (nett foreign buy) di pasar reguler Rp 297,70 miliar hingga penutupan perdagangan.
Data BEI mencatat di tengah koreksi pasar, terdapat beberapa saham yang justru mencatatkan penguatan signifikan seperti emiten farmasi BUMN yaitu PT Kimia Farma Tbk (KAEF) 22,82% dan PT Indofarma Tbk (INAF) 13,19%.
Penguatan duo saham farmasi BUMN yakni KAEF dan INAF itu terjadi di tengah upaya pemerintah, BUMN, dan swasta menangkal virus corona (COVID-19) yang masuk ke Indonesia, salah satunya dengan menemukan obat bagi penyakit saluran pernafasan tersebut.
Ekspektasi terhadap langkah-langkah pemerintah tersebut ternyata sempat menjadi tema bertransaksi investor pasar saham kemarin, meskipun tidak mampu menyelamatkan IHSG yang sempat menguat di awal perdagangan.
Ternyata pelemahan indeks saham itu juga seiring dengan pergerakan nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), saat mayoritas mata uang utama Asia menguat.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di Rp 14.110/US$, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah hingga melemah 0,46% di Rp 14.175/US$. Rupiah sempat menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, tetapi mampu memperbaiki posisi tersebut. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.160/US$, melemah 0,35% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Hingga pukul 16:55 WIB, empat mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS, baht Thailand menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,48%.
Performa rupiah kemarin terbalik dengan Rabu yang mampu menguat lebih dari 1%, sementara mata uang utama Asia lainnya mengalami penguatan yang tidak terlalu besar melawan dolar AS.
Penguatan rupiah tersebut terjadi akibat aliran modal ke dalam negeri setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve/The Fed mengejutkan pasar dengan memangkas suku bunga secara agresif, sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1-1,25%.
"Pemangkasan Fed Fund Rate [FFR] 50 bps meskipun menimbulkan aksi jual di pasar saham AS karena pasar menilai langkah The Fed tersebut belum cukup dengan narasi yang kurang tegas, namun di pasar Asia mendorong harga saham dan obligasi di pasar Asia," ungkap Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah, Rabu.
Koreksi yang terjadi di pasar saham dan pasar valas itu untungnya tidak terjadi di pasar obligasi.
Kemarin, harga obligasi rupiah pemerintah menguat karena ekspektasi penurunan suku bunga acuan lanjutan di Indonesia. Penurunan suku bunga lanjutan di dalam negeri semakin terbuka ketika The Fed secara tiba-tiba mengumumkan memangkas suku bunga acuannya atau Federal Funds Rate (FFR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1%-1,25% dari 1,5%-1,75%.
Pemangkasan yang mendadak itu merupakan yang pertama sejak Desember 2008 atau saat krisis finansial. Kala itu The Fed memangkas suku bunga sebesar 75 bps.
Dengan adanya pemangkasan suku bunga acuan AS, maka negara lain diprediksi akan menyesuaikan langkah The Fed agar tidak kehilangan momentum menurunkan suku bunga, termasuk Indonesia yang malah sudah duluan memangkas suku bunga.
Setiap penurunan suku bunga tentunya akan menguntungkan bagi harga surat utang negara (SUN) karena efek utang pemerintah tersebut dapat semakin diburu di pasar dengan ekspektasi penurunan suku bunga hanya akan membuat obligasi baru yang akan diterbitkan di kemudian hari akan memiliki kupon yang lebih mini dibanding sekarang.
Naiknya harga surat utang negara (SUN) itu seiring dengan apresiasi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Penguatan harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.
Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun, dan FR0083 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0083 yang bertenor 20 tahun dengan penurunan yield 32,10 basis poin (bps) menjadi 7,13%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.