
Tangkal Corona Pakai Suku Bunga? Maaf, Rasanya Salah Alamat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2020 06:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona benar-benar menyebalkan. Penyebaran virus ini semakin luas, dan menyebabkan ribuan orang tutup usia. Selain menjadi tragedi kesehatan dan kemanusiaan, virus corona juga menyebabkan keresahan di bidang ekonomi.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (4/3/2020) pukul 23:53 WIB, jumlah kasus corona sudah mencapai 94.251. Sejumlah negara yang mencatatkan kasus terbesar adalah China (80.270), Korea Selatan (5.621), dan Italia (2.502).
Sementara jumlah korban jiwa sudah 3.214 orang. Terbanyak terjadi di China (2.981), kemudian Iran (92), Italia (79), Korea Selatan (28), Jepang (6), Prancis (4), Hong Kong (2), Australia (1), Filipina (1), San Marino (1), Spanyol (1), Taiwan (1), Thailand (1), dan Amerika Serikat/AS (1).
Penyebaran virus corona yang begitu masif menyebabkan aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Pabrik-pabrik menghentikan produksi, atau kalau masih berproduksi tidak dalam kapasitas optimal karena pekerja yang masih dirumahkan untuk mencegah penularan virus lebih lanjut.
Akibatnya, aktivitas manufaktur global mengkerut. Ini tercermin dari angka Purchasing Managers' Index (PMI) yang menggambarkan arah kegiatan manufaktur apakah ekspansif atau kontraktif.
Pada Februari, PMI manufaktur global berada di 47,2. Jauh di bawah pencapaian bulan sebelumnya sekaligus menyentuh titik terendah sejak Mei 2009, saat krisis keuangan global bergentayangan.
PMI menggunakan angka 50 sebagai garis start. Kalau di bawah 50, berarti dunia usaha sedang enggan berekspansi.
Melihat sub-indeks dalam PMI, seluruhnya mengalami perlambatan pada Februari dibandingkan bulan sebelumnya. Ada yang naik yaitu biaya input, tetapi kenaikan di pos ini berarti kabar buruk karena menandakan kenaikan biaya produksi.
JPMorgan melaporkan penyebaran virus corona sudah berdampak langsung terhadap pasokan bahan baku/penolong dari negara ekspotir besar seperti China dan Korea Selatan. Kelangkaan pasokan bahan baku/penolong pada gilirannya membuat permintaan turun, seperti yang terjadi di AS, Jepang, Inggris, Taiwan, Australia, dan Brasil.
"Aktivitas manufaktur global jatuh. Ini karena penyebaran virus COVID-19 yang mengganggu aktivitas produksi. Tren perdagangan internasional masih mengalami tekanan, dengan ekspor yang mencapai level terendah dalam satu dekade terakhir," kata Olya Borischevska, Global Economic Research di JPMorgan, dalam keterangan tertulis.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi mustahil untuk dihindari. Bahkan jika situasi seperti ini bertahan cukup lama, maka risiko resesi bakal semakin tinggi.
Dihadapkan kepada risiko perlambatan ekonomi (bahkan resesi), para pengambil kebijakan dibuat kalang-kabut. Salah satunya adalah bank sentral. Otoritas moneter di berbagai negara sudah menetapkan hati untuk menerapkan kebijakan moneter longgar, salah satunya dengan menurunkan suku bunga acuan.
Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1-1,25%. Penurunan ini diputuskan melalui rapat insidentil yang tidak terjadwal, karena semestinya pertemuan Komite Pengambil Kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) baru terjadi pada 17-18 Maret.
Penurunannya juga tidak tanggung-tanggung, langsung 50 bps. Biasanya penurunan suku bunga dalam sekali rapat hanya 25 bps. Ini menjadi penurunan lebih dari 25 bps pertama sejak 2008, kala AS berkubang dalam krisis ekonomi.
Sebelumnya, sejumlah bank sentral juga telah menempuh langkah serupa. Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke 4,75%. Bank sentral Thailand (BoT) juga menempuh langkah serupa, menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1%, terendah sepanjang sejarah Negeri Gajah Putih.
Bank sentral Australia (RBA) juga menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 0,5%. Bank sental Malaysia (BNM) pun menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 2,5%.
Teranyar, bank sentral Kanada (BoC) menurunkan suku bunga acuan 50 bps ke 1,25%. Ini menjadi penurunan 50 bps pertama sejak Maret 2009.
"Fundamental ekonomi AS tetap kuat. Namun, virus corona menciptakan risiko bagi aktivitas ekonomi. Dengan risiko ini dan tujuan untuk mencapai penciptaan lapangan kerja yang maksimal serta menjaga stabilitas harga, Federal Open Market Committee memutuskan untuk menurunkan Federal Funds Rate sebesar 0,5 poin persentase menjadi 1-1,25%.
Komite akan memantau dengan saksama seluruh perkembangan yang ada dan implikasinya terhadap prospek ekonomi. Komite juga akan menggunakan berbagai instrumen untuk mendukung perekonomian," sebut keterangan tertulis The Fed.
Pemotongan suku bunga acuan nantinya akan menurunkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sesuai tenor yang dituju oleh masing-masing bank sentral. Kala suku bunga PUAB turun, perbankan punya alasan untuk menurunkan suku bunga deposito. Selanjutnya, penurunan suku bunga deposito akan ikut memangkas suku bunga kredit.
Saat suku bunga kredit turun, maka dunia usaha dan rumah tangga diharapkan tergerak hatinya untuk melakukan ekspansi karena biaya yang lebih murah. Apabila dunia usaha dan rumah tangga ekspansif, maka pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak.
Masalahnya, dampak ekonomi virus corona bukan memukul sisi permintaan (demand) tetapi pasokan (supply). Seperti sudah disinggung sebelumnya, penyebaran virus corona menyebabkan hilangnya peredaran barang (atau minimal langka) karena pabrik-pabrik berhenti berproduksi.
Jadi kalau bank sentral mencoba mendorong permintaan kredit agar perekonomian tidak terlalu merasakan dampak virus corona, nyuwun sewu, sepertinya salah alamat. Buat apa permintaan tinggi kalau barangnya tidak ada?
"Kami menyadari bahwa penurunan suku bunga acuan tidak akan menurunkan tingkat penularan (virus corona). Penurunan suku bunga acuan juga tidak akan memperbaiki rantai pasok," demikian diakui oleh Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell dalam jumpa pers usai hasil rapat terakhir, sebagaimana diwartakan Reuters.
Ambil contoh di Indonesia. Perekonomian terbesar di Asia Tenggara tersebut punya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan bawang putih dari China.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2019 nilai impor bawang putih Indonesia tercatat US$ 529,96 juta. Naik 6,57% dibandingkan 2018.
Sayangnya, impor bawang putih Indonesia pada 2019 seluruhnya datang dari China. Pada 2018, masih ada impor dari negara-negara lain meski China unggul jauh.
Sekarang masalahnya 'pusat gempa' dari virus corona ada di China. Perlambatan aktivitas ekonomi di sana tentu mempengaruhi pengiriman berbagai produk, termasuk bawang putih.
Akibatnya, bawang putih jadi langka di Tanah Air. Kelangkaan membuat harganya melambung dan memberi kontribusi besar terhadap inflasi.
Pada Februari, inflasi Indonesia adalah 0,28% secara month-on-month (MoM). Dari angka tersebut, andil bawang putih mencapai 0,09%, terbesar di antara seluruh barang di keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK) nasional.
Apakah penurunan suku bunga acuan bisa membuat pasokan bawang putih kembali normal? Apakah penurunan BI 7 day reverse repo rate bisa membuat stok bawang putih melimpah-ruah sehingga tidak terjadi kelangkaan?
Amat sangat hebat sekali kalau bisa mah. Keajaiban dunia bertambah satu.
Jadi, penurunan suku bunga acuan bukanlah 'obat' yang ampuh untuk menangkal dampak ekonomi dari virus corona. Mungkin penurunan suku bunga acuan bisa memberikan euforia sesaat, tetapi tidak bisa menjawab masalah yang sebenarnya yaitu kelangkaan pasokan.
Memang tidak ada solusi instan untuk meredam dampak ekonomi dari virus corona. Solusi yang paling baik adalah jangan lagi bergantung kepada China sebagai pemasok utama berbagai produk, mulai dari hasil pertanian sampai bahan baku/penolong untuk industri. Harus ada upaya untuk mencari sumber yang baru atau mendorong pelaku usaha domestik agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tidak lagi menggantungkan diri kepada impor.
Namun mencari sumber baru atau membangun kapasitas dunia usaha dalam negeri butuh waktu. Tidak sebentar, hampir mustahil selesai dalam hitungan bulan. Padahal kelangkaan sudah di depan mata.
Oleh karena itu, sepertinya shock akibat kelangkaan pasokan pasti bakal terjadi dalam jangka pendek. Tidak akan bisa dihindari.
Hal yang bisa dilakukan oleh pengambil kebijakan adalah menjaga agar shock itu tidak terlalu parah. Caranya adalah dengan menjaga daya beli rumah tangga. Di sini otoritas fiskal punya peran penting melalui pemberian insentif seperti keringanan pajak sampai pemberian bantuan langsung kepada masyarakat.
Namun kala daya beli terjaga sementara pasokan masih langka, muncul satu masalah lagi yaitu tekanan inflasi. Permintaan yang lebih tinggi dari pasokan pasti akan mengundang inflasi.
Ah, repot jadinya. Semua ini gara-gara corona...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Mau Bunuh Virus Corona Pakai Suku Bunga? Memangnya Bisa?
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (4/3/2020) pukul 23:53 WIB, jumlah kasus corona sudah mencapai 94.251. Sejumlah negara yang mencatatkan kasus terbesar adalah China (80.270), Korea Selatan (5.621), dan Italia (2.502).
Sementara jumlah korban jiwa sudah 3.214 orang. Terbanyak terjadi di China (2.981), kemudian Iran (92), Italia (79), Korea Selatan (28), Jepang (6), Prancis (4), Hong Kong (2), Australia (1), Filipina (1), San Marino (1), Spanyol (1), Taiwan (1), Thailand (1), dan Amerika Serikat/AS (1).
Penyebaran virus corona yang begitu masif menyebabkan aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Pabrik-pabrik menghentikan produksi, atau kalau masih berproduksi tidak dalam kapasitas optimal karena pekerja yang masih dirumahkan untuk mencegah penularan virus lebih lanjut.
Akibatnya, aktivitas manufaktur global mengkerut. Ini tercermin dari angka Purchasing Managers' Index (PMI) yang menggambarkan arah kegiatan manufaktur apakah ekspansif atau kontraktif.
Pada Februari, PMI manufaktur global berada di 47,2. Jauh di bawah pencapaian bulan sebelumnya sekaligus menyentuh titik terendah sejak Mei 2009, saat krisis keuangan global bergentayangan.
PMI menggunakan angka 50 sebagai garis start. Kalau di bawah 50, berarti dunia usaha sedang enggan berekspansi.
Melihat sub-indeks dalam PMI, seluruhnya mengalami perlambatan pada Februari dibandingkan bulan sebelumnya. Ada yang naik yaitu biaya input, tetapi kenaikan di pos ini berarti kabar buruk karena menandakan kenaikan biaya produksi.
![]() |
JPMorgan melaporkan penyebaran virus corona sudah berdampak langsung terhadap pasokan bahan baku/penolong dari negara ekspotir besar seperti China dan Korea Selatan. Kelangkaan pasokan bahan baku/penolong pada gilirannya membuat permintaan turun, seperti yang terjadi di AS, Jepang, Inggris, Taiwan, Australia, dan Brasil.
"Aktivitas manufaktur global jatuh. Ini karena penyebaran virus COVID-19 yang mengganggu aktivitas produksi. Tren perdagangan internasional masih mengalami tekanan, dengan ekspor yang mencapai level terendah dalam satu dekade terakhir," kata Olya Borischevska, Global Economic Research di JPMorgan, dalam keterangan tertulis.
Oleh karena itu, perlambatan ekonomi mustahil untuk dihindari. Bahkan jika situasi seperti ini bertahan cukup lama, maka risiko resesi bakal semakin tinggi.
Dihadapkan kepada risiko perlambatan ekonomi (bahkan resesi), para pengambil kebijakan dibuat kalang-kabut. Salah satunya adalah bank sentral. Otoritas moneter di berbagai negara sudah menetapkan hati untuk menerapkan kebijakan moneter longgar, salah satunya dengan menurunkan suku bunga acuan.
Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1-1,25%. Penurunan ini diputuskan melalui rapat insidentil yang tidak terjadwal, karena semestinya pertemuan Komite Pengambil Kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) baru terjadi pada 17-18 Maret.
Penurunannya juga tidak tanggung-tanggung, langsung 50 bps. Biasanya penurunan suku bunga dalam sekali rapat hanya 25 bps. Ini menjadi penurunan lebih dari 25 bps pertama sejak 2008, kala AS berkubang dalam krisis ekonomi.
Sebelumnya, sejumlah bank sentral juga telah menempuh langkah serupa. Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke 4,75%. Bank sentral Thailand (BoT) juga menempuh langkah serupa, menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1%, terendah sepanjang sejarah Negeri Gajah Putih.
Bank sentral Australia (RBA) juga menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 0,5%. Bank sental Malaysia (BNM) pun menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 2,5%.
Teranyar, bank sentral Kanada (BoC) menurunkan suku bunga acuan 50 bps ke 1,25%. Ini menjadi penurunan 50 bps pertama sejak Maret 2009.
"Fundamental ekonomi AS tetap kuat. Namun, virus corona menciptakan risiko bagi aktivitas ekonomi. Dengan risiko ini dan tujuan untuk mencapai penciptaan lapangan kerja yang maksimal serta menjaga stabilitas harga, Federal Open Market Committee memutuskan untuk menurunkan Federal Funds Rate sebesar 0,5 poin persentase menjadi 1-1,25%.
Komite akan memantau dengan saksama seluruh perkembangan yang ada dan implikasinya terhadap prospek ekonomi. Komite juga akan menggunakan berbagai instrumen untuk mendukung perekonomian," sebut keterangan tertulis The Fed.
Pemotongan suku bunga acuan nantinya akan menurunkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sesuai tenor yang dituju oleh masing-masing bank sentral. Kala suku bunga PUAB turun, perbankan punya alasan untuk menurunkan suku bunga deposito. Selanjutnya, penurunan suku bunga deposito akan ikut memangkas suku bunga kredit.
Saat suku bunga kredit turun, maka dunia usaha dan rumah tangga diharapkan tergerak hatinya untuk melakukan ekspansi karena biaya yang lebih murah. Apabila dunia usaha dan rumah tangga ekspansif, maka pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak.
Masalahnya, dampak ekonomi virus corona bukan memukul sisi permintaan (demand) tetapi pasokan (supply). Seperti sudah disinggung sebelumnya, penyebaran virus corona menyebabkan hilangnya peredaran barang (atau minimal langka) karena pabrik-pabrik berhenti berproduksi.
Jadi kalau bank sentral mencoba mendorong permintaan kredit agar perekonomian tidak terlalu merasakan dampak virus corona, nyuwun sewu, sepertinya salah alamat. Buat apa permintaan tinggi kalau barangnya tidak ada?
"Kami menyadari bahwa penurunan suku bunga acuan tidak akan menurunkan tingkat penularan (virus corona). Penurunan suku bunga acuan juga tidak akan memperbaiki rantai pasok," demikian diakui oleh Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell dalam jumpa pers usai hasil rapat terakhir, sebagaimana diwartakan Reuters.
Ambil contoh di Indonesia. Perekonomian terbesar di Asia Tenggara tersebut punya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan bawang putih dari China.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2019 nilai impor bawang putih Indonesia tercatat US$ 529,96 juta. Naik 6,57% dibandingkan 2018.
Sayangnya, impor bawang putih Indonesia pada 2019 seluruhnya datang dari China. Pada 2018, masih ada impor dari negara-negara lain meski China unggul jauh.
Sekarang masalahnya 'pusat gempa' dari virus corona ada di China. Perlambatan aktivitas ekonomi di sana tentu mempengaruhi pengiriman berbagai produk, termasuk bawang putih.
Akibatnya, bawang putih jadi langka di Tanah Air. Kelangkaan membuat harganya melambung dan memberi kontribusi besar terhadap inflasi.
Pada Februari, inflasi Indonesia adalah 0,28% secara month-on-month (MoM). Dari angka tersebut, andil bawang putih mencapai 0,09%, terbesar di antara seluruh barang di keranjang Indeks Harga Konsumen (IHK) nasional.
Apakah penurunan suku bunga acuan bisa membuat pasokan bawang putih kembali normal? Apakah penurunan BI 7 day reverse repo rate bisa membuat stok bawang putih melimpah-ruah sehingga tidak terjadi kelangkaan?
Amat sangat hebat sekali kalau bisa mah. Keajaiban dunia bertambah satu.
Jadi, penurunan suku bunga acuan bukanlah 'obat' yang ampuh untuk menangkal dampak ekonomi dari virus corona. Mungkin penurunan suku bunga acuan bisa memberikan euforia sesaat, tetapi tidak bisa menjawab masalah yang sebenarnya yaitu kelangkaan pasokan.
Memang tidak ada solusi instan untuk meredam dampak ekonomi dari virus corona. Solusi yang paling baik adalah jangan lagi bergantung kepada China sebagai pemasok utama berbagai produk, mulai dari hasil pertanian sampai bahan baku/penolong untuk industri. Harus ada upaya untuk mencari sumber yang baru atau mendorong pelaku usaha domestik agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tidak lagi menggantungkan diri kepada impor.
Namun mencari sumber baru atau membangun kapasitas dunia usaha dalam negeri butuh waktu. Tidak sebentar, hampir mustahil selesai dalam hitungan bulan. Padahal kelangkaan sudah di depan mata.
Oleh karena itu, sepertinya shock akibat kelangkaan pasokan pasti bakal terjadi dalam jangka pendek. Tidak akan bisa dihindari.
Hal yang bisa dilakukan oleh pengambil kebijakan adalah menjaga agar shock itu tidak terlalu parah. Caranya adalah dengan menjaga daya beli rumah tangga. Di sini otoritas fiskal punya peran penting melalui pemberian insentif seperti keringanan pajak sampai pemberian bantuan langsung kepada masyarakat.
Namun kala daya beli terjaga sementara pasokan masih langka, muncul satu masalah lagi yaitu tekanan inflasi. Permintaan yang lebih tinggi dari pasokan pasti akan mengundang inflasi.
Ah, repot jadinya. Semua ini gara-gara corona...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Mau Bunuh Virus Corona Pakai Suku Bunga? Memangnya Bisa?
Most Popular