Duh! Rupanya Ada "Mafia IPO" di Bursa Saham RI

tahir saleh, CNBC Indonesia
21 February 2020 14:17
Duh! Rupanya Ada
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus batalnya pencatatan (listing) saham PT Nara Hotel Internasional Tbk (NARA) yang semestinya tercatat pada Jumat (7/2/2020) menjadi alarm bagi regulator pasar modal dan otoritas bursa untuk lebih berhati-hati dalam menata pasar modal agar bisa berjalan teratur, wajar, dan efisien.

Pada Jumat itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) akhirnya menunda pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO) Nara Hotel dengan alasan 
adanya komplain dari pemegang saham publik saat pemesanan atau pooling. Setelah para investor Nara 'menyerbu' Otoritas Jasa Keuangan pada hari itu, kasus ini pun menyita perhatian publik.

BEI pun kemudian melakukan
joint audit untuk memastikan proses penawaran umum saham NARA. Audit bersama itu juga untuk memastikan keterbukaan informasi kepada publik yang dilakukan Nara Hotel apakah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak.

"Untuk memastikan proses Penawaran Umum termasuk penyampaian Keterbukaan Informasi kepada publik telah sesuai dengan ketentuan," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia, Kamis (13/02/2020).

Yetna mengatakan pemeriksaan dilakukan terhadap underwriter (penjamin emisi, dalam hal ini PT Magenta Kapital Sekuritas Indonesia) dan emiten secara mendalam. M
elalui pemeriksaan ini diharapkan otoritas mendapatkan informasi yang komprehensif sehingga dapat mengambil keputusan secara fair dan obyektif.

Sebetulnya apa yang terjadi?

Sebelumnya, manajemen Nara Hotel menegaskan pihaknya selalu patuh pada aturan regulator yang berlaku, termasuk ketentuan prospektus.

"Kami sudah audiensi dengan pihak OJK dan BEI pagi ini. Intinya kami tunduk pada aturan dan ketentuan OJK dan Bursa. Lebih dari itu, Nara Hotel akan berkomitmen penuh menjaga kepercayaan investor", ungkap Adrianus Daniel Sulaiman, Direktur Utama Nara Hotel, dalam siaran pers, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (7/2/2020).


Siaran pers tersebut disampaikan oleh Komisaris Independen Nara Hotel, Hamdi Hassyarbaini yang juga mantan Direktur BEI.

Hamdi, dalam pesan singkatnya, menegaskan tak ada hubungannya dengan informasi beberapa pembeli yang menyatakan saham IPO NARA tak laku dan diserap PT Magenta Kapital Sekuritas Indonesia, sebagai penjamin emisi.

"Tidak ada hubungannya, kami hanya ingin kepemilikan publik lebih besar," kata Hamdi.


Pihak Nara Hotel meyakini bahwa tata cara pemesanan pada surat penawaran umum tanggal 3 dan 4 Februari 2020, sudah memenuhi syarat dan peraturan yang berlaku yaitu, setiap calon investor mengisi surat Formulir Pemesanan Pembelian Saham (FPPS) dan persyaratan administratif lainnya.

"Protes mereka justru menurut kami aneh. Contoh saja mereka sudah mengisi dan menandatangani FPPS untuk pembelian 1.000 lembar saham dan telah menyetor dana sebesar nilai pemesanan. Namun begitu kami penuhi pesanan 1,000 saham tersebut mereka menolak dan bilang kami mau cuma 100 saham. Ini kan aneh," tegas Daniel.

Semula, Nara Hotel menyiapkan maksimal 1% dari total emisi untuk pooling allotment (penjatahan terpusat, biasanya untuk investor ritel yang ingin membeli saham IPO). Seiring dengan berjalannya proses tersebut, porsinya pun berubah menjadi minimal 1% untuk pooling artinya porsi investor ritel diperbesar.

Dari sudut pandang calon investor, berbeda lagi. Salah seorang investor yang enggan disebutkan namanya, menceritakan kejanggalan proses IPO tersebut. Dia menceritakan, Magenta Kapital Sekuritas Indonesia selaku penjamin emisi melakukan bookbuilding saham NARA. Penawaran yang masuk cukup banyak, tapi bookbuilding tersebut secara sepihak dibatalkan oleh Magenta.

"Tapi sampai di Magenta dibatalkan. Nah kenapa? Padahal kan bookbuilding untuk pembentukan harga. Kalau nggak ada bookbuilding kan sepihak harganya," kata investor tersebut di kantor OJK kepada CNBC Indonesia.


Ini kemudian menimbulkan pertanyaan di kalangan investor. Padahal pada saat bookbuilding, dicantumkan porsi saham pooling allotment sebanyak 1%, sisanya fixed allotment. Padahal NARA siap menawarkan IPO dengan nilai Rp 202 miliar. Namun, menurut investor tersebut, hasil bookbuilding perolehannya tidak mencapai Rp 200 mliar.

"Jadi menurut saya ini Magenta nggak punya duit. Kalau punya kan yang Rp 50 miliar itu punya duit, jadi Rp 150 miliar ini (diserap) Magenta," kata investor itu lagi.

"Makanya supaya nggak ketahuan dia batalkan (bookbuilding). Buat nggak tahu dia lempar semua ke market pooling allotment. Berarti kan dia [Magenta] bisa kasih minimal 1% bisa lebih," kata investor tersebut.

Sebagai informasi, saat
bookbuilding, penjamin emisi saham akan menentukan harga jual (harga IPO) dengan melihat minat beli dari institusi dan investor melalui pembagian fix allotment (penjatahan pasti, biasanya untuk investor institusi) dan pooling allotment (penjatahan terpusat, biasanya untuk investor ritel).

Dalam kesempatan terpisah, Hamdi menduga alasan penolakan para pemesan itu tidak masuk akal. 

Pihak Magenta pun akhirnya mengumumkan penundaan IPO Nara Hotel dan mengembalikan seluruh dana nasabah.

"Melalui pengumuman ini kami beritahukan bahwa dana hasil penawaran umum perdana saham perseroan akan dikembalikan seluruhnya kepada investor pada Senin 17 Februari 2020," kata Direktur Utama Magenta Hoksan Sinaga, dalam pengumumannya di situs resmi perseroan, Jumat (14/02/2020).

Tapi pertanyaan masih mengemuka, apakah benar ada mafia pooling di bursa saham RI?

[Gambas:Video CNBC]

Hamdi Hassyarbaini, Komisaris Independen Nara Hotel, dan juga Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI periode 2015-2018 menjelaskan dalam sebuah artikel yang dikirimkan kepada CNBC Indonesia mengenai mafia pooling.

"Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa di setiap pasar pasti ada Bandar atau mafianya, tak terkecuali pasar modal," kata Hamdi.

Di pasar modal juga ada bandar atau mafia, yang beroperasi mulai saat perusahaan menawarkan sahamnya kepada publik di pasar perdana melalui proses penawaran umum perdana atau IPO, sampai saat saham tersebut diperdagangkan di bursa efek atau pasar sekunder.

"Untuk membedakan, saya menggunakan istilah mafia pooling untuk mereka yang beroperasi di pasar perdana dan bandar saham untuk mereka yang beroperasi di pasar sekunder. Namun, satu pihak juga bisa berperan ganda, menjadi mafia pooling di pasar perdana dan sekaligus menjadi bandar saham di pasar sekunder," jelasnya.

Lalu apa itu mafia polling?

Hamdi menjelaskan istilah pooling digunakan dalam penjatahan saham saat IPO. Penjatahan saham hasil IPO bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu penjatahan pasti atau fixed allotment dan penjatahan terpusat atau pooling allotment.

Berdasarkan Peraturan No IX.A.7, penjatahan pasti ialah mekanisme penjatahan efek yang dilakukan dengan cara memberikan alokasi efek kepada pemesan sesuai dengan jumlah pemesanan dalam formulir pemesanan efek.


Adapun penjatahan terpusat adalah mekanisme penjatahan efek yang dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh pemesanan efek (pooling) dan kemudian dijatahkan sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut.

Jika setelah dilakukan alokasi untuk penjatahan pasti, ternyata masih sisa efek yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah yang dipesan, maka penjatahan harus mengikuti ketentuan yaitu secara proporsional untuk efek yang tidak dicatatkan di bursa efek atau dengan cara diundi untuk efek yang dicatatkan di bursa efek.

"Namun, mungkin karena pertimbangan praktis, metode yang lazim dilakukan oleh para manajer penjatahan adalah dengan melakukan alokasi secara proporsional, termasuk untuk efek yang dicatatkan di bursa," jelasnya.

Dia mendefinisikan mafia pooling adalah satu atau sekelompok orang yang melakukan berbagai cara demi mendapatkan sebanyak-banyaknya saham hasil penjatahan pooling.

Bagaimana modus operandinya?

"Anda yang mengikuti perjalanan pasar modal Indonesia sejak awal tahun 90-an khususnya sejak Bursa Efek Indonesia (dulu Bursa Efek Jakarta) diswastanisasi pada tahun 1992, tentu pernah menyaksikan pemandangan di mana ratusan orang berbondong-bondong datang untuk ikut mengantre membeli saham IPO," katanya.

"Apakah orang-orang itu benar- benar investor? Sebagian mungkin iya, tetapi sebagian besar merupakan "joki" atau orang-orang bayaran mafia pooling yang dipinjam KTP-nya untuk didaftarkan sebagai pemesan saham IPO."

"Kenapa mafia pooling harus meminjam KTP orang lain? Tentu saja supaya bisa memperoleh saham sebanyak-banyaknya karena alokasi hasil penjatahan pooling pada waktu itu dilakukan berdasarkan KTP. Semakin banyak KTP yang berhasil dikumpulkan, semakin banyak saham yang diperoleh oleh mafia pooling, dan semakin besar keuntungan yang akan mereka dapatkan pada saat menjual saham tersebut di pasar sekunder," jelas Hamdi.

Dia mengatakan kendati saat ini alokasi saham hasil penjatahan pooling tidak lagi berdasarkan KTP, bukan berarti praktek mafia pooling tidak lagi ada.

Bahkan, tegasnya, dengan dimungkinkannya alokasi hasil penjatahan pooling secara proporsional, praktek mafia pooling makin dimudahkan.

Dalam menjalankan aksinya, kata Hamdi, mafia pooling biasanya bekerjasama dengan oknum penjamin emisi efek (PEE) dan oknum biro administrasi efek (BAE).

"Oknum PEE bertugas menginformasikan IPO yang dinilai bagus kepada mafia pooling, sementara oknum BAE bertugas menginformasikan realisasi pemesanan yang masuk untuk penjatahan terpusat."

"Dengan mengetahui informasi jumlah pemesanan pooling yang masuk, mafia pooling bisa mengukur seberapa besar dana yang harus disediakan untuk melakukan pemesanan atau istilah pasarnya melakukan "pengeboman" supaya pada saat alokasi bisa memperoleh saham sebanyak-banyaknya," jelasnya.

Mafia pooling, kata Hamdibiasanya menyasar saham-saham yang penjatahan terpusatnya sangat kecil dan bersifat pasti, misalnya maksimum 1% dari nilai IPO. IPO ini lazim dikenal sebagai IPO strategic atau sebagian pelaku pasar malah menyebutnya IPO "bohongan", karena hanya dikuasai segelintir investor saja.

Menurut Hamdi, ada dua alasan kenapa mafia pooling menyasar saham-saham seperti itu. Pertama, karena saham yang disediakan untuk investor ritel melalui penjatahan terpusat hanya sedikit, maka mafia pooling tidak memerlukan dana besar untuk bisa jadi mayoritas di penjatahan terpusat.

Kedua
, mereka beranggapan dan beberapa memang terbukti, karena saham IPO dikuasai mayoritas oleh investor strategic, maka harga saham tersebut akan naik tajam saat diperdagangkan di bursa karena harga dikendalikan (dinaikkan) oleh investor strategic.

Mafia pooling tinggal menikmati kenaikan harga yang telah diatur oleh investor strategic, yang adakalanya bisa mencapai 2 atau 3 kali lipat harga perdananya.

Setelah keuntungan dirasa cukup signifikan, katanya, mafia pooling segera menjual sahamnya dan mencari IPO berikutnya, tentu saja berdasarkan informasi dari oknum PEE.

Sebaliknya, mafia pooling tidak berminat dengan saham-saham IPO yang penjatahan terpusatnya besar apalagi terbuka, misalnya minimum 1% dari nilai IPO. Alasannya, katanya, mereka kesulitan menghitung dana yang harus dikeluarkan untuk bisa melakukan "pengeboman" dan juga tidak yakin investor strategic bisa mengendalikan (menaikkan) harga apabila porsi saham pooling lebih besar.

Di samping itu, mafia pooling sendiri juga tidak yakin bisa mengendalikan harga karena kepemilikan saham tersebar ke banyak pihak.



Bagaimana mafia pooling bisa melakukan penguasaan atas saham hasil penjatahan pooling?

Hamdi menjelaskan, mereka (mafia polling) pertama-tama mencari informasi kepada oknum BAE mengenai jumlah pemesanan yang masuk untuk penjatahan terpusat.

Berbekal informasi tersebut, mereka melakukan "pengeboman" dengan memasukkan pemesanan beberapa kali lipat dari pemesanan yang telah masuk. Karena alokasi dilakukan secara proprosional, maka mereka akan memperoleh saham paling banyak.

"Sebagai contoh, satu perusahaan melakukan penawaran umum sebanyak 5 miliar saham seharga Rp 100 per saham dengan alokasi 99% untuk penjatahan pasti dan maksimum 1% untuk penjatahan terpusat."

"Dengan demikian untuk penjatahan terpusat hanya tersedia 50 juta saham atau senilai Rp 5 miliar. Berdasarkan bocoran informasi dari oknum BAE, pesanan yang masuk untuk penjatahan terpusat baru Rp 1 miliar."

Mengetahui hal ini, Hamdi menjelaskan, mafia pooling melakukan "pengeboman" dengan memasukkan pesanan senilai Rp 5 miliar. Dengan demikian, mafia pooling akan mendapat jatah 41,67 juta saham atau 5/6 dari 50 juta saham, dan sisanya untuk investor lainnya.

Bahkan, katanya, untuk memperoleh saham dalam jumlah yang jauh lebih banyak, mafia pooling bisa memasukkan pemesanan sampai senilai Rp 50 miliar, sehingga akan memperoleh sebanyak 49,02 juta saham atau 50/51 dari 50 juta saham, sementara investor lainnya hanya mendapat 980 ribu saham.

"Tidak heran, akibat ulah mafia pooling, investor ritel sulit mendapatkan saham IPO. Padahal tujuan IPO sesungguhnya adalah mengikutsertakan sebanyak mungkin investor ritel dalam kepemilikan saham.


Lantas, bagaimana memberantas mafia pooling?

Hamdi menjelaskan, memberantas mafia pooling bukan pekerjaan mudah, karena yang namanya mafia pasti selalu bisa menemukan cara baru untuk mencapai tujuannya. "Hal yang dapat dilakukan hanya mempersempit ruang gerak mereka," tegas Hamdi.

Dia mengatakan, salah satu cara adalah melalui penerapan electronic book building seperti yang saat ini sedang dikembangkan olehOJK bersama Self Regulatory Organizations (BEI-KPEI-KSEI) dengan nama Sistem Penawaran Umum Elektronik (SPUE).

Di dalam draf peraturan terkait SPUE, terdapat beberapa perubahan yang sangat mendasar, antara lain keharusan memiliki single investor identification (SID), rekening dana nasabah (RDN), dan sub rekening efek (SRE) bagi pemodal yang bukan kelembagaan.

Selain itu juga diaturnya secara khusus alokasi untuk penjatahan terpusat ritel (pemesanan sampai dengan Rp 100 juta), ditetapkannya oleh OJK alokasi untuk penjatahan terpusat dan penjatahan terpusat ritel, serta keharusan melakukan penyesuaian alokasi untuk penjatahan pasti dalam hal terdapat kelebihan pemesanan untuk penjatahan terpusat.

"Dengan beberapa perubahan mendasar itu diharapkan makin mempersempit peluang terjadinya kongkalikong antara oknum BAE dan PEE dengan mafia pooling. Dengan kata lain, rencana penerapan SPUE ini sejalan dengan semangat IPO yaitu memperbesar partisipasi publik dalam kepemilikan saham," kata Hamdi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular