
Duh! Rupanya Ada "Mafia IPO" di Bursa Saham RI

Bagaimana mafia pooling bisa melakukan penguasaan atas saham hasil penjatahan pooling?
Hamdi menjelaskan, mereka (mafia polling) pertama-tama mencari informasi kepada oknum BAE mengenai jumlah pemesanan yang masuk untuk penjatahan terpusat.
Berbekal informasi tersebut, mereka melakukan "pengeboman" dengan memasukkan pemesanan beberapa kali lipat dari pemesanan yang telah masuk. Karena alokasi dilakukan secara proprosional, maka mereka akan memperoleh saham paling banyak.
"Sebagai contoh, satu perusahaan melakukan penawaran umum sebanyak 5 miliar saham seharga Rp 100 per saham dengan alokasi 99% untuk penjatahan pasti dan maksimum 1% untuk penjatahan terpusat."
"Dengan demikian untuk penjatahan terpusat hanya tersedia 50 juta saham atau senilai Rp 5 miliar. Berdasarkan bocoran informasi dari oknum BAE, pesanan yang masuk untuk penjatahan terpusat baru Rp 1 miliar."
Mengetahui hal ini, Hamdi menjelaskan, mafia pooling melakukan "pengeboman" dengan memasukkan pesanan senilai Rp 5 miliar. Dengan demikian, mafia pooling akan mendapat jatah 41,67 juta saham atau 5/6 dari 50 juta saham, dan sisanya untuk investor lainnya.
Bahkan, katanya, untuk memperoleh saham dalam jumlah yang jauh lebih banyak, mafia pooling bisa memasukkan pemesanan sampai senilai Rp 50 miliar, sehingga akan memperoleh sebanyak 49,02 juta saham atau 50/51 dari 50 juta saham, sementara investor lainnya hanya mendapat 980 ribu saham.
"Tidak heran, akibat ulah mafia pooling, investor ritel sulit mendapatkan saham IPO. Padahal tujuan IPO sesungguhnya adalah mengikutsertakan sebanyak mungkin investor ritel dalam kepemilikan saham.
Lantas, bagaimana memberantas mafia pooling?
Hamdi menjelaskan, memberantas mafia pooling bukan pekerjaan mudah, karena yang namanya mafia pasti selalu bisa menemukan cara baru untuk mencapai tujuannya. "Hal yang dapat dilakukan hanya mempersempit ruang gerak mereka," tegas Hamdi.
Dia mengatakan, salah satu cara adalah melalui penerapan electronic book building seperti yang saat ini sedang dikembangkan olehOJK bersama Self Regulatory Organizations (BEI-KPEI-KSEI) dengan nama Sistem Penawaran Umum Elektronik (SPUE).
Di dalam draf peraturan terkait SPUE, terdapat beberapa perubahan yang sangat mendasar, antara lain keharusan memiliki single investor identification (SID), rekening dana nasabah (RDN), dan sub rekening efek (SRE) bagi pemodal yang bukan kelembagaan.
Selain itu juga diaturnya secara khusus alokasi untuk penjatahan terpusat ritel (pemesanan sampai dengan Rp 100 juta), ditetapkannya oleh OJK alokasi untuk penjatahan terpusat dan penjatahan terpusat ritel, serta keharusan melakukan penyesuaian alokasi untuk penjatahan pasti dalam hal terdapat kelebihan pemesanan untuk penjatahan terpusat.
"Dengan beberapa perubahan mendasar itu diharapkan makin mempersempit peluang terjadinya kongkalikong antara oknum BAE dan PEE dengan mafia pooling. Dengan kata lain, rencana penerapan SPUE ini sejalan dengan semangat IPO yaitu memperbesar partisipasi publik dalam kepemilikan saham," kata Hamdi.
