Jakarta, CNBC Indonesia- Korban tewas dari wabah virus corona China terus bertambah dari hari ke hari. Hingga Minggu pagi (9/2/2020), pukul 09.53 waktu Indonesia, korban tewas sudah mencapai 813 orang di dunia, bertambah dari pagi tadi 806 orang. Dari jumlah itu, China sebanyak 811 orang, ditambah 1 Hong Kong dan 1 Filipina.
Makin bertambahnya korban jiwa terjadi di tengah beberapa wilayah lain juga memberlakukan karantina wajib demi menghentikan epidemi corona yang bikin panik global.
Berdasarkan data Gisanddata per Minggu pagi (9/2/2020), kematian virus corona (nCoV) menjadi 813 orang. Data ini dirangkum dari WHO, CDC, ECDC, NHC, dan DXY. Data ini sama dengan yang disampaikan CNBC International.
"China telah melaporkan 811 kematian di China daratan sejauh ini. Itu membuat angka kematian global menjadi 813 - termasuk satu di Filipina dan lainnya di Hong Kong," tulis pernyataan dikutip CNBC.
"Komisi Kesehatan Nasional menyatakan di situs web-nya bahwa 2.656 kasus baru telah dikonfirmasi. Ini membawa jumlah total menjadi terinfeksi menjadi 37.198 di China daratan.
Jumlah kematian akibat virus corona baru ini sekarang lebih tinggi daripada angka kematian global untuk SARS yang menewaskan 774 orang di seluruh dunia pada 2002-2003.
Di pasar saham, wabah virus corona juga memberi efek negatif terhadap pasar modal dalam beberapa bulan terakhir. Pada Senin pekan lalu (3/2/2020), bursa Amerika Serikat (AS) mencatatkan penurunan terbesar sejak Oktober. Ini terjadi bertepatan dengan kabar terus meningkatnya jumlah korban tewas akibat virus asal Wuhan, China itu.
Akibat ketidakpastian ini juga, para pelaku pasar banyak yang mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman (safe havens).
Bahkan menurut Seema Shah, Kepala Strategi di Principal Global Investors, cepatnya penyebaran virus ini di seluruh dunia jauh lebih menakutkan bagi pasar ketimbang penyebaran virus SARS yang menghantui dunia pada 2003 lalu.
Server Acute Respiratory Syndrome (SARS) menjangkiti banyak negara di dunia sepanjang 2002-2003. Pada periode itu, korban tewas akibat SARS di China hanya mencapai angka 349 kematian, sebagaimana dilaporkan AFP.
Sementara dalam skala global, SARS yang juga juga berasal dari China, telah menewaskan lebih dari 700 orang dan menjangkiti 8.000-an di seluruh dunia sepanjang 2002-2003.
Selain fakta bahwa Novel 201 Coronavirus (2019-nCoV) telah memakan lebih banyak korban di China dan menjangkiti lebih banyak orang ketimbang SARS, berikut tiga alasan lainnya mengapa coronavirus jenis baru ini lebih menakutkan bagi pasar, sebagaimana disampaikan Shah dalam artikel yang dikutip dari Business Insider.
[Gambas:Video CNBC]
Sosial Media Membuat Lebih Bergema
Kemunculan media sosial dan ketersediaannya di beberapa perangkat saat ini memungkinkan informasi untuk menyebar lebih cepat di seluruh dunia dibandingkan sebelumnya.
Seema Shah, Kepala Strategi di Principal Global Investors, mengatakan cepatnya penyebaran informasi ini menciptakan 'ruang gema global' yang bisa menimbulkan sentimen buruk bagi pasar keuangan sehingga menimbulkan kekacauan.
"Ruang gema untuk memperkuat kecemasan pasar tidak pernah lebih kuat dari ini," tambahnya.
Cepatnya penyebaran informasi, seperti mengenai jumlah infeksi dan korban tewas akibat corona, membuat investor bisa lebih cepat juga mengetahui informasi. Bahkan kerap kali informasi diterima sebelum bursa AS dibuka.
Shah juga menyebutkan, berita buruk virus corona juga bisa langsung menyebabkan penurunan harga saham, utamanya perusahaan farmasi tertentu.
Rantai Pasok Ekonomi Dunia
Rantai pasokan global saat ini lebih terikat daripada sebelumnya. Selain itu, perdagangan internasional juga lebih kompleks. Ini bisa menyebabkan ekonomi dunia mengalami kejatuhan besar seandainya virus menyebar cukup luas, kata Shah.
Saat ini, memang perusahaan yang berbasis di China yang menghadapi pukulan paling keras dari wabah ini. Namun, keterikatannya dengan perusahaan-perusahaan global jelas akan memberikan tekanan pada klien dan pemasok yang terhubung dengan mereka, jelasnya.
"Karena rantai pasokan global berlipat ganda dan menjadi lebih saling bergantung, potensi efek domino yang cepat, dipicu oleh bagian lain dari rantai itu, jauh lebih tinggi," tulis Shah
Contohnya adalah Apple. Perusahaan Amerika Serikat (AS) itu berpotensi mengalami banyak tekanan karena banyak perusahaan pemasok bagian-bagian ponsel iPhone berada di China. Perusahaan bahkan telah memperingatkan potensi hantaman dari virus corona di laporan triwulanan terbarunya.
Rekor Harga Saham
Berita mengenai wabah coronavirus menyeret indeks saham AS keluar dari rekor tertinggi mereka. Meski begitu, berbagai aset masih diperdagangkan di harga yang layak meski ada banyak kekacauan akibat coronavirus, tulis Shah.
"(Namun) jika gangguan bertahan lebih tahan lama, dampaknya dapat tercermin dalam harga saham," tambahnya.
Selain itu, wabah coronavirus telah menghantam ekonomi terbesar kedua di dunia, yang dampaknya bisa mempengaruhi pertumbuhan domestik, yang akan menghambat pertumbuhan global pada akhirnya.
Sebelumnya pada Rabu, JP Morgan telah menurunkan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) setahun penuh untuk China. Penyebabnya adalah akibat guncangan di sisi permintaan karena terdampak virus corona asal Wuhan.
"Jika besarnya dan durasi goncangan virus corona lebih besar dan lebih persisten, maka dasar untuk prakiraan ekonomi 2020 yang positif akan tersingkirkan," tulis Shah.