Yang Kaya Tambah Kaya, Bunga Deposito RI Tertinggi di ASEAN!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 January 2020 16:01
Yang Kaya Tambah Kaya, Bunga Deposito RI Tertinggi di ASEAN!
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah kemarin Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan, hari ini Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunkan suku bunga penjaminan. Apakah langkah ini efektif untuk menekan suku bunga di level perbankan?

LPS mengumumkan suku bunga penjaminan turun 25 basis poin (bps). Dengan demikian, suku bunga simpanan yang dijamin oleh LPS adalah 6% untuk rupiah, 1,5% untuk valas, dan 8,5% untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR).


Artinya simpanan nasabah yang dijamin LPS adalah yang memiliki bunga di angka-angka tersebut. Di atas itu, LPS tidak akan menjamin ketika bank terpaksa dilikuidasi.

Upaya ini ditempuh untuk mengurangi hasrat nasabah mencari bunga simpanan tinggi. Buat apa tinggi-tinggi kalau nanti nasibnya bisa terkatung-katung karena tidak dijamin LPS?

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, rata-rata tertimbang suku bunga deposito pada Desember 2019 adalah 6,31%. Jadi simpanan dengan bunga rata-rata ini tidak akan lagi dijamin oleh LPS andai (amit-amit) bank sampai ditutup.

Sementara data LPS menyebutkan total simpanan dana nasabah perbankan hingga November 2019 adalah Rp 6.042,74 triliun. Dana ini tersebar di 302,59 juta rekening.


Namun, apakah deposan akan begitu saja tidak meminta bunga tinggi? Apakah bank akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di hadapan deposan seiring penurunan LPS Rate?

Sepertinya sulit. Sebab saat ini nasabah perbankan didominasi oleh para deposan besar, kelas paus. Deposan masih mempunyai daya tawar yang tinggi.

Ini terlihat dari komposisi simpanan nasabah berdasarkan nominal. Saat ini LPS menjamin simpanan dengan nominal maksimal Rp 2 miliar. Akan tetapi, ternyata mayoritas nasabah perbankan di Indonesia punya simpanan di atas Rp 5 miliar.

Pada November 2019, jumlah rekening dengan simpanan lebih dari Rp 5 miliar memang hanya 101.965 atau 0,03%. Namun dana yang tersimpan di rekening di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 2.867,96 triliun atau 47,46% dari total Dana Pihak Ketiga.

LPS

Perbankan tentu berpikir ulang jika menurunkan suku bunga deposito berarti harus kehilangan potensi dana terbesarnya. Oleh karena itu, sepertinya agak sulit berharap penurunan LPS Rate bisa ikut menekan suku bunga simpanan, setidaknya dalam waktu dekat.


Oleh karena itu, impian agar suku bunga simpanan di Indonesia untuk turun seperti ke level negara-negara tetangga akan sulit terwujud. Saat ini, rata-rata suku bunga simpanan di Indonesia adalah yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN-6.



Kala suku bunga simpanan sulit turun, dampaknya adalah penurunan suku bunga kredit menjadi terhambat. Sebab biaya dana perbankan untuk mengongkosi tingginya bunga simpanan masih sangat besar.

Mungkin ini adalah salah satu penyebab seretnya penyaluran kredit. OJK mencatat pertumbuhan kredit sepanjang 2019 adalah 6,08%. Jauh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 11,7%.



Namun, suku bunga bukan satu-satunya faktor yang mendorong penyaluran kredit. Kalau suku bunga turun tetapi permintaan lesu ya sama saja bohong kan?

Inilah yang terjadi pada 2019. Perlambatan ekspor dan investasi akibat perang dagang AS-China sudah berdampak ke konsumsi. Akibatnya permintaan kredit baru berkurang, baik oleh dunia usaha maupun rumah tangga.

Baca: Bunga Acuan Turun Pun Kalau Permintaan Lesu Mau Apa?

Akan tetapi, sepertinya ada harapan jelang akhir 2019. Semoga tren positif ini berlanjut hingga 2020.

Dari sisi rumah tangga, Bank Indonesia (IKK) melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Desember 2019 sebesar 126. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 124,2 dan menjadi pencapaian terbaik sejak Juni.

 

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Di atas 100 berarti konsumen lebih percaya diri menghadapi kondisi ekonomi saat ini dan beberapa bulan ke depan.

Sedangkan di sisi dunia usaha, IHS Markit mengumumkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Desember 2019 berada di 49,5. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal, di bawah 50 berarti dunia usaha belum melakukan ekspansi. PMI manufaktur Indonesia sudah berada di zona kontraksi selama enam bulan beruntun.

Namun bukan berarti ini adalah kabar buruk. Sejak menyentuh titik terendah sejak setidaknya Januari 2017 pada Oktober, PMI manufaktur Indonesia terus beranjak naik. Angka Desember adalah yang tertinggi dalam lima bulan terakhir.



"Dengan output, permintaan baru, dan inventaris input kembali tumbuh menunjukkan bahwa masa pemulihan sudah dekat. Tentu saja headline PMI sementara masih di bawah level netral 50, tetapi naik ke posisi tertinggi selama lima bulan. Ditambah lagi, kepercayaan diri berbisnis merupakan yang paling tinggi pada semester II-2019," sebut Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit seperti dikutip dari keterangan resmi.

Jadi, ada harapan dunia usaha dan rumah tangga akan ekspansif pada 2020. Ini akan mendorong permintaan kredit, meski suku bunga sepertinya sulit untuk turun signifikan.



TIM RISET CNBC INDONESIA




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular