Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kurang mengenakan bagi pasar saham dunia datang dari International Monetary Fund (IMF).
Lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS) tersebut, memutuskan untuk memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Pada proyeksinya di bulan Oktober, IMF memproyeksikan perekonomian global tumbuh sebesar 3% pada tahun 2019 dan 3,4% pada tahun 2020.
Dalam proyeksi terbarunya, angka pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 dipangkas menjadi 2,9%, sementara untuk tahun 2020 proyeksinya berada di level 3,3%. Proyeksi terbaru oleh IMF tersebut dituangkan dalam publikasi bertajuk "World Economic Outlook Update, January 2020: Tentative Stabilization, Sluggish Recovery?" yang dirilis kemarin waktu Indonesia, Senin (20/1/2020).
Untuk tahun 2021, proyeksi pertumbuhan ekonomi global dipangkas menjadi 3,4%, dari yang sebelumnya 3,6%.
Merespons pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, bursa saham Asia kompak melemah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei terkoreksi 0,75%, indeks Shanghai turun 1,18%, indeks Hang Seng jatuh 1,83%, indeks Straits Times melemah 1,13%, dan indeks Kospi terpangkas 0,69%.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia melemah 0,04% ke level 6.242.52.
Dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global utamanya dipicu oleh proyeksi pertumbuhan yang lebih rendah di India. Pada proyeksi bulan Oktober, pertumbuhan ekonomi India untuk tahun 2020 dan 2021 dipatok masing-masing di level 7% dan 7,4%. Kini, proyeksinya dipangkas masing-masing menjadi 5,8% dan 6,5%.
Tak hanya negara berkembang seperti India, proyeksi pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju tak lepas dari pemangkasan oleh IMF. Proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi AS di tahun 2020 misalnya, dipangkas 0,1 persentase poin oleh IMF. Pemangkasan serupa juga bisa didapati terhadap perekonomian zona Euro.
Terkait dengan China selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2021 dipangkas sebesar 0,1 persentase poin, walaupun proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2020 dikerek naik 0,2 persentase poin.
Walaupun proyeksi untuk tahun 2020 dinaikkan, angka pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini masih berada di level 6%, yang berarti perekonomian Negeri Panda masih akan tumbuh melambat. Pada tahun 2019, perekonomian China diketahui tumbuh 6,1%.
Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
Beralih ke Jepang selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2020 dan 2021 diproyeksikan tak akan mencapai 1%. Untuk tahun 2020, perekonomian Jepang diproyeksikan hanya tumbuh 0,7%, disusul pertumbuhan sebesar 0,5% di tahun berikutnya. Pada tahun 2019, perekonomian Jepang diproyeksikan tumbuh sebesar 1%.
"Proyeksi terkait pemulihan pertumbuhan ekonomi global tetaplah diselimuti ketidakpastian. Perekonomian dunia terus bergantung kepada pemulihan dari negara-negara berkembang yang dipenuhi dengan tekanan, sementara pertumbuhan di negara-negara maju bergerak stabil di kisaran level saat ini," papar Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath dalam keterangan tertulis, seperti dilansir dari CNBC International.
Ada beberapa alasan utama yang melandasi pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh IMF, salah satunya adalah potensi memburuknya hubungan antara AS dan mitra dagangnya.
“Tensi di bidang perdagangan yang baru bisa muncul antara AS dan Uni Eropa, dan tensi antara AS dan China bisa kembali memanas,” jelas Gopinath.
Seperti yang diketahui, AS dan China sudah terlibat dalam perang dagang yang begitu panas selama lebih dari dua tahun. Sejauh ini, AS sudah mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China sekitar US$ 370 miliar, sementara China membalas dengan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Pada hari Rabu waktu setempat (15/1/2020) AS dan China menandatangani kesepakatan dagang tahap satu di Gedung Putih, AS. Dari pihak AS, penandatanganan dilakukan langsung oleh Presiden Donald Trump, sementara pihak China mengirim Wakil Perdana Menteri Liu He.
Sesuai dengan yang diumumkan oleh Trump pada bulan Desember, melalui kesepakatan dagang tahap satu AS akan memangkas bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar menjadi setengahnya atau 7,5%.
Namun, bea masuk sebesar 25% bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar tetap akan dipertahankan. Hal ini dilakukan oleh AS guna mempertahankan daya tawarnya terhadap China memasuki negosiasi dagang tahap dua.
Jadi, sejauh ini memang masih ada kemungkinan bahwa perang dagang AS-China bisa kembali memanas, mengingat keduanya belum mencapai kesepakatan dagang secara menyeluruh yang menghapuskan seluruh bea masuk tambahan.
Bukan hanya keharmonisan antara AS dan China yang perlu diwaspadai pelaku pasar, namun juga keharmonisan antara AS dan Uni Eropa yang notebene merupakan blok dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Walaupun sejatinya merupakan sekutu, hubungan antara AS dan Uni Eropa di bidang perdagangan memang tak pernah mulus semenjak Trump naik menjadi presiden AS pada awal 2016 silam. Trump menyebut bahwa Eropa “mungkin seburuk China” jika berbicara mengenai perdagangan.
Pada tahun 2018, Trump mengganjar bea masuk tambahan terhadap aluminium dan baja yang datang dari negara-negara Eropa, yang pada akhirnya dibalas Uni Eropa dengan mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk impor asal AS senilai US$ 2,8 miliar.
Tak sampai di situ, kedua belah pihak juga terlibat dalam sengkarut terkait dengan pemberian subsidi ilegal oleh Uni Eropa terhadap Airbus, pabrikan pesawat terbang kebanggaan mereka.
Kini, AS sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan bea masuk hingga 100% terhadap produk-produk impor asal Eropa. Kantor Perwakilan Dagang AS sebelumnya telah menerbitkan dokumen terkait daftar barang-barang asal Eropa yang dipertimbangkan untuk dikenai bea masuk hingga 100%. Beberapa barang yang menjadi target di antaranya adalah wiski asal Irlandia, Scotch, serta Cognac.
Selain itu, minyak zaitun asal Spanyol, keju asal Prancis, pisau asal Jerman, hingga fillet ikan asal Portugal juga dipertimbangkan untuk dikenakan bea masuk hingga 100%.
Bea masuk ini merupakan hasil dari perselisihan kedua negara dalam hal pemberian subsidi ilegal oleh pemerintah Eropa untuk perusahaan pembuat pesawat terbang Airbus. AS sendiri telah lama menuduh bahwa subsidi yang diberikan Uni Eropa untuk Airbus merugikan produsen pesawat terbang asal AS, Boeing.
AS juga mengatakan Uni Eropa telah melanggar peraturan World Trade Organization (WTO) dalam hal pemberian subsidi itu, di mana WTO sendiri telah memenangkan AS dalam gugatannya melawan Uni Eropa.
WTO memutuskan AS menang dalam tuntutannya terhadap Uni Eropa dan membiarkan pemerintahan Presiden Trump menjatuhkan bea masuk sebagai balasan atas pemberian subsidi ilegal oleh Uni Eropa kepada Airbus.
Pada Oktober lalu, AS telah mengenakan bea masuk sebesar 10% untuk pesawat sipil besar dan 25% untuk produk agrikultur dari Eropa. Penerapan bea masuk tersebut diumumkan setelah AS mendapatkan izin dari WTO.
"Sebagai akibat dari kegagalan Uni Eropa untuk menangani subsidi ini, pada 18 Oktober, Amerika Serikat mengenakan bea masuk 10% pada pesawat sipil besar dan 25% pada produk agrikultur dan lainnya dari Uni Eropa," tulis Kantor Perwakilan Dagang AS dalam dokumen yang dipublikasikan pada tanggal 2 Desember. Selain friksi di bidang perdagangan, potensi memanasnya tensi geopolitik antara AS dan Iran juga menjadi dasar IMF untuk memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Pada awal tahun ini, AS diketahui menembak mati petinggi pasukan militer Iran. Jenderal Qassim Soleimani yang merupakan pemimpin dari Quds Force selaku satuan pasukan khusus yang dimiliki Revolutionary Guards (salah satu bagian dari pasukan bersenjata Iran), tewas dalam serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad.
Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan wakil komandan dari Popular Mobilization Forces selaku kelompok milisi Irak yang dibekingi oleh Iran, juga meninggal dunia.
Sebagai balasan, Iran menembakkan misil ke dua markas militer AS di Irak. Diketahui, lebih dari selusin misil balistik diluncurkan oleh Iran ke dua markas militer AS tersebut.
"Jelas bahwa rudal ini diluncurkan dari Iran dan menargetkan setidaknya dua pangkalan militer Irak yang menampung personel militer dan koalisi AS di Al-Assad dan Irbil," kata juru bicara Pentagon pasca serangan.
Melansir CNBC International, setelah serangan Iran terjadi, Presiden AS Donald Trump mengadakan pertemuan dengan para penasihat utamanya di Gedung Putih. Pertemuan tersebut dihadiri Wakil Presiden Mike Pence, Menteri Pertahanan Mark Esper, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, dan Jenderal Angkatan Darat Mark Milley.
Memang, kini tensi antara AS dan Iran sudah relatif mereda. Dalam konferensi pers terkait serangan yang diluncurkan oleh Iran, Trump membantah klaim pemerintah Iran yang mengatakan bahwa ada sebanyak 80 tentara AS yang tewas dalam serangan tersebut. Dirinya pun menyakini bahwa serangan tersebut merupakan serangan terakhir dari Iran.
"Tidak ada warga AS yang terluka dalam serangan rudal Iran," ujar Trump di Gedung Putih, sebagaimana dilansir dari AFP.
"Iran tampaknya akan mundur, yang mana ini baik untuk semua pihak terkait," katanya.
Trump menegaskan tidak akan menyerang balik Iran. Menurutnya, meski memiliki kekuatan militer terbaik di dunia, AS tak selamanya harus menggunakan itu.
"Fakta bahwa kita memiliki militer dan peralatan terbaik tidak berarti membuat kita harus menggunakannya."
Trump lantas memilih untuk menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Iran. Sanksi yang tidak dijelaskan secara detail ini, disebut Trump, nantinya akan berlaku sampai Iran mengubah perilakunya, terutama soal pengembangan nuklir.
"Iran harus meninggalkan ambisi nuklirnya dan mengakhiri dukungannya untuk terorisme," sebut Trump.
Perkembangan tersebut jelas memberikan kelegaan bagi pelaku pasar. Pasalnya, sebelumnya terdapat kekhawatiran bahwa AS akan balik menggempur Iran.
Untuk diketahui, sebelumnya Trump telah memperingatkan Iran untuk tidak melakukan balasan atas pembunuhan Soleimani yang diotorisasi sendiri oleh dirinya. Kalau sampai peringatan tersebut tak diindahkan, Trump menyatakan akan menyerang sebanyak 52 wilayah sebagai balasan.
Hal tersebut diumumkan oleh Trump melalui serangkaian cuitan di akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump. Menurut Trump, beberapa dari 52 wilayah tersebut merupakan lokasi yang sangat penting bagi Iran. Dipilihnya 52 wilayah tersebut melambangkan jumlah tawanan asal AS yang disandera oleh Iran di masa lalu.
Namun, seperti yang disebutkan IMF, potensi kembali memanasnya hubungan antara AS dan Iran jelas masih ada. Menurut Tim Riset CNBC Indonesia, ada dua skenario yang bisa memantik kembali memanasnya hubungan antara AS dan Iran.
Pertama, jika Iran meluncurkan serangan militer ke pihak AS. Kedua, jika Iran mengganggu pengiriman barang di Selat Hormuz.
Seperti yang diketahui, harga minyak mentah dunia sempat melejit pada pertengahan Juni 2019 pasca dua buah kapal tanker yang tengah mengangkut naphta dan metanol diserang di perairan Fujairah, Selat Hormuz. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut, dua kapal tersebut terbakar dan rusak parah.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menuding Iran sebagai dalang dibalik penyerangan tersebut. Dirinya mengatakan bahwa kesimpulan tersebut diambil berdasarkan data intelijen, jenis senjata yang digunakan, dan tingkat kesulitan penyerangan.
Ketika kondisi di Timur Tengah memanas, terlebih di Selat Hormuz, perusahaan-perusahaan kargo akan semakin takut untuk melakukan operasi pengiriman melalui wilayah tersebut. Diketahui bahwa seperlima konsumsi minyak global didistribusikan melalui Selat Hormuz. Lebih lanjut, gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah di dunia ikut menjadi risiko yang menghantui laju perekonomian global, seperti yang terjadi di Hong Kong misalnya.
Seperti yang diketahui, Hong Kong menjadi bahasan panas dalam beberapa waktu terakhir, baik oleh masyarakat umum, maupun juga pelaku pasar keuangan dunia. Dalam beberapa waktu terakhir, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di sana, melibatkan jutaan orang dan begitu banyak tetesan darah.
Aksi demonstrasi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh sebuah rancangan undang-undang (RUU) terkait ekstradisi yang diperkenalkan oleh Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam.
Pada intinya, jika disahkan, RUU ini akan memberi kuasa kepada Hong Kong untuk menahan orang yang sedang berada di sana (baik itu warga negara maupun bukan) untuk kemudian dikirim dan diadili di China.
RUU ini tentu dipandang sebagai masalah besar oleh masyrakat Hong Kong, beserta juga kalangan internasional. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang selama ini menjadi salah satu pembeda utama antara China dan Hong Kong bisa musnah karenanya.
Simpelnya, bisa saja orang di Hong Kong (sekali lagi, baik itu warga negara maupun bukan) ditangkap dan kemudian dikirim ke China untuk diadili hanya karena postingan di sosial media yang dianggap merendahkan pemerintah China.
Pada tanggal 9 Juni 2019, tak kurang dari satu juta orang turun ke jalan untuk menolak pengesahaan RUU ini. Namun, Lam tak bergeming dan tetap mendorong dilaksanakannya pemungutan suara.
Pada tanggal 12 Juni 2019, tak kurang dari 10 ribu orang berkumpul di pusat pemerintahan Hong Kong untuk kembali menggelar aksi demonstrasi. Sejatinya, aksi ini berawal dengan damai. Namun pada akhirnya, bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian pun tak terelakkan. Pemukulan dengan pentungan, penembakan gas air mata, hingga pencekikan pun terjadi.
Berdasarkan hasil investigasi dari The New York Times, aparat kepolisian Hong Kong terbukti menggunakan kekerasan untuk memukul mundur demonstran. Bahkan, demonstran yang tak membawa senjata apapun dan tak melakukan tindakan yang membahayakan aparat, harus rela tubuhnya dihantam oleh aparat kepolisian.
“Saya sedang terbaring di lantai setelah mereka membanting saya dengan keras. Saya mulai berteriak kesakitan dan saya mendorong polisi menjauh. Lalu, beberapa polisi mulai menendangi saya,” demikian pengakuan dari Ng Ying-Mo yang menjadi korban kebrutalan kepolisian Hong Kong, dilansir dari The New York Times.
Walau Lam menegaskan bahwa RUU ekstradisi telah “mati”, aksi demonstrasi di Hong Kong ternyata tak juga surut hingga saat ini. Kini, tuntutan para demonstran sudah meluas dari yang awalnya meminta supaya RUU ekstradisi tidak diloloskan di parlemen.
Para demonstran kini meminta investigasi terkait dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi, bahkan mereka menuntun supaya Lam mundur dari posisinya.
Untuk diketahui, aksi demonstrasi yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan tersebut telah resmi menempatkan Hong Kong dalam periode resesi.
Beberapa waktu yang lalu, Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan akhir untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).
Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,5% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.
TIM RISET CNBC INDONESIA