Internasional

Kashmir & UU 'Anti Muslim', Alasan India Boikot CPO Malaysia?

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
15 January 2020 09:09
Kashmir & UU 'Anti Muslim', Alasan India Boikot CPO Malaysia?
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal tahun ini, para importir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) India mengumumkan akan menghentikan semua pemesanan dari pemasok utamanya, Malaysia.

Ini merupakan desakan dari pemerintah India yang marah pada komentar yang dikeluarkan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad soal Kashmir dan undang-undang kewarganegaraan India yang baru.
"Secara resmi tidak ada larangan impor ... tetapi tidak ada yang membeli karena larangan pemerintah," kata seorang sumber yang merupakan pengusaha terkemuka di India kepada Reuters.

Ketegangan antara Malaysia dan India muncul setelah sebelumnya perdana menteri tertua di dunia itu mengkritik tindakan India yang menginvasi Kashmir dan juga mengkritik undang-undang kewarganegaraan India yang baru yang dianggap anti-Muslim.

Hal itu dibahas Mahathir dalam sambutannya di PBB September 2019. Dalam pidatonya di sesi ke 74 Majelis Umum PBB pada 27 September itu, Mahathir mengatakan bahwa New Delhi telah "menyerbu dan menduduki" Jammu dan Kashmir, wilayah mayoritas Muslim yang disengketakan juga diklaim oleh Pakistan.

Menanggapi konflik ini, Mahathir mengatakan akan tetap tegas menyuarakan pendapat soal diskriminasi yang dilakukan India di Kashmir dan penduduk Muslim dengan UU Kewarganegaraannya, meski negara Bollywood itu melakukan aksi negatif pada komoditasnya.

"Kita tentu memperhatikan ini, karena kita menjual minyak sawit ke India. Tetapi di sisi lain, kita harus jujur dan ketika sesuatu hal berjalan buruk, kita harus katakan itu," tegasnya sebagaimana dilansir The Star, Selasa (14/1/2020).

"Jika kita membiarkan hal salah terjadi dan memikirkan tentang uang saja, akan banyak hal salah terjadi."

Lebih lanjut, Mahathir mengatakan akan mencari solusi lain. Terutama jika India memang tidak ingin membeli CPO Malaysia.


India adalah importir minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Negara ini membeli 9 juta ton per tahun terutama dari Malaysia dan Indonesia.

Di 2019, India membeli 4,4 juta ton sawit. Pembeli sekarang mengimpor dari Indonesia meskipun membayar harga premium dibanding Malaysia.

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di Kashmir sehingga memicu kritik Mahathir? Apa juga yang menyebabkan UU baru India banyak dikecam berbagai pihak?

[Gambas:Video CNBC]



Kashmir, yang menjadi topik pembahasan Mahathir adalah wilayah penuh konflik karena diklaim oleh India dan Pakistan. Namun begitu kedua negara hanya mengendalikan sebagian wilayah.

Pada Agustus lalu India membuat peraturan baru, menjadikan Jammu dan Kashmir sebagai satu wilayah. Sementara Ladakh, yang berbatasan dengan China, sebagai wilayah terpisah.

Dua wilayah persatuan baru itu sekarang diperintah langsung dari ibu kota Delhi, demikian menurut laporan BBC. Tujuan dari penyatuan wilayah ini adalah untuk memperketat kendali pemerintah India atas bagian Kashmir yang dikelolanya.

Perdana Menteri India Narendra Modi pada Kamis, telah menunjuk Girish Chandra Murmu sebagai gubernur letnan wilayah Jammu dan Kashmir. Sementara RK Mathur sebagai gubernur letnan Ladakh.

"Sekarang partisipasi nyata dari federalisme koperasi akan terlihat. Jalan raya baru, jalur kereta api baru, sekolah baru, rumah sakit baru akan membawa perkembangan masyarakat Jammu dan Kashmir ke tingkat baru," kata Modi.

Akibat penyatuan wilayah ini, hampir 98% dari populasi negara bagian akan berada di wilayah persatuan Jammu dan Kashmir.

Sebelumnya wilayah lembah Kashmir yang berpenduduk mayoritas Muslim, memiliki status khusus. Menurut pasal 370, ketentuan konstitusional yang menjamin status khusus wilayah itu, dengan adanya status khusus ini wilayah Kashmir mungkin untuk memiliki otonomi tertentu, termasuk hak istimewa khusus dalam kepemilikan properti, pendidikan, dan pekerjaan.

Namun, pada 5 Agustus pemerintah India mencabut status khusus Kashmir itu. Pencabutan ini pun memicu protes di lembah yang dihuni sekitar delapan juta orang tersebut.

Menurut BBC, sebelum pemerintah yang dipimpin Partai Bharatiya Janata mengumumkan keputusannya untuk membatalkan status khusus, mereka mengisolasi wilayah itu dengan cara memutuskan jaringan telepon seluler, sambungan telepon rumah dan internet; dan para pemimpin politik daerah dijadikan tahanan rumah.

Akibat hal ini, protes meletus di wilayah itu. Bentrokan kerap kali terjadi selama protes berlangsung antara pasukan keamanan dengan warga sipil. Laporan menyebut ribuan aktivis dan lainnya diyakini telah ditangkap setelahnya.

Pemerintah India baru membuka jaringan seluler pada awal bulan ini setelah dibiarkan mati selama 72 hari. Tapi hingga kini layanan internet di wilayah itu masih mati dan sebagian besar bisnis masih tutup.

Keputusan itu diambil bisnis sebagai bentuk protes pada pemerintah dan juga karena kekhawatiran mereka akan kelompok militan yang menentang pemerintah. Kelompok itu disebut telah melakukan pembantaian pada sekitar 11 buruh migran dalam dua minggu terakhir.


Pemerintah India meresmikan UU Amandemen Warga Negara, yang dianggap anti-Muslim, pada akhir tahun lalu. UU ini akan memberikan kewarganegaraan pada imigran ilegal non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan.

Namun, meski memberikan kewarganegaraan pada imigran non-Muslim India, UU ini akan mengharuskan umat Muslim India untuk membuktikan kalau mereka adalah warga negara tersebut.

Sehingga ada kemungkinan, warga Muslim India, justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan. Meski demikian, aturan ini tidak berlaku untuk agama lain, karena ada kejelasan alur dalam UU tersebut.

Akibat ini, kerusuhan pecah di India Timur pada Desember lalu, di mana sejumlah demonstran yang menentang UU tersebut bentrok dengan polisi, sebagaimana dilaporkan Reuters pada Desember.

UU yang menjadi sumber kericuhan merupakan bagian dari agenda nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi. Kelompok Islam, oposisi, kelompok hak asasi manusia menganggap UU itu bertujuan untuk memarginalkan 200 juta Muslim di India.

Apa Dampak boikot bagi Malaysia?

Menurut Prashanth Parameswaran, Editor Senior di The Diplomat, salah satu dampak yang jelas dari masalah ini yaitu gangguan ekonomi.

Ini dikarenakan minyak sawit menyumbang sekitar 3% dari produk domestik bruto (PDB) Malaysia. Negara ini adalah penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia.

Parameswaran juga menyebut, akibat boikot ini, India kemungkinan akan mengalihkan sumber pasokannya dari Malaysia ke negara lain, seperti Indonesia.

"Sementara itu, India akan tetap memiliki kemampuan untuk terus mengimpor - dan mungkin bahkan mengimpor lebih banyak - minyak kelapa sawit mentah, dari pengekspor utama Indonesia," tulisnya lagi.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular