Jakarta, CNBC Indonesia - Para importir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) India dikabarkan menghentikan semua pemesanan dari pemasok utama Malaysia setelah pemerintah Negeri Bollywood itu mendesak importir memboikot komoditas tersebut dari Malaysia sebagai dampak konflik diplomatik kedua negara.
Hal itu diungkapkan sumber dari pelaku industri dan pemerintah India sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin malam (13/1/2020).
Peringatan yang dikeluarkan sejak pekan lalu ini muncul bersamaan dengan langkah New Delhi membatasi impor minyak sawit dan olein sawit (palm olein) setelah Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad mengkritik tindakan India yang menginvasi Kashmir dan undang-undang kewarganegaraan India yang baru.
Buntut kritikan Mahathir ini, para importir India tidak membeli minyak mentah atau minyak kelapa sawit olahan dari Malaysia, seperti diungkapkan lima sumber industri sawit yang akrab dengan masalah tersebut, kepada Reuters.
"Secara resmi tidak ada larangan impor minyak sawit mentah dari Malaysia, tetapi tidak ada yang membeli karena instruksi pemerintah," kata seorang sumber dari pelaku kilang terkemuka di sana. Sumber tersebut menambahkan bahwa para pembeli kini mengimpor dari Indonesia meskipun membayar harga premium di Malaysia.
India adalah importir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, membeli lebih dari 9 juta ton per tahun terutama dari Indonesia dan Malaysia.
Dengan larangan impor minyak sawit olahan tersebut, maka produk minyak sawit mentah Malaysia harus bersaing dengan CPO Indonesia. Ada potensi terjadi perang harga mengingat harga CPO Indonesia masih lebih kompetitif, melansir Reuters.
Pemerintah India belum memberikan pernyataan publik resmi soal minyak sawit Malaysia. Kementerian Perdagangan India juga tidak menanggapi permintaan konfirmasi pada Senin kemarin (13/1/2020).
Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok, yang bertanggung jawab atas industri kelapa sawit, juga menolak berkomentar.
Sebanyak empat sumber trader mengungkapkan, para penyuling dan pedagang CPO India kini mengalihkan hampir semua pembelian minyak sawit ke Indonesia, meskipun harus membayar lebih mahal US$ 10 per ton dari harga CPO Malaysia.
Harga CPO Malaysia untuk pengiriman Februari 2020 berada di level US$ 800 per ton berbasis free-on-board (FOB), lebih murah dibanding CPO Indonesia US$ 810 per ton.
"Seperti orang lain, kami membayar harga premium [lebih mahal] untuk pasokan [CPO] Indonesia. Untuk keuntungan kecil, kami tidak bisa berjudi," kata seorang penyuling CPO yang berbasis di Kolkata kepada Reuters
[Gambas:Video CNBC]
Pekan lalu, Reuters juga melaporkan bahwa Menteri Perdagangan dan Perindustrian India baru-baru ini juga telah mengeluarkan pengumuman yang mengubah status impor minyak sawit olahan dari "free" menjadi "restricted".
Upaya itu dilakukan untuk melarang impor minyak sawit olahan dan hanya bisa mengimpor CPO. Langkah ini juga dilakukan untuk memberi hukuman kepada Malaysia atas kritik yang dilancarkan Mahathir Mohammad terhadap India.
Pada Oktober 2019, PM Malaysia tersebut melontarkan kritik keras kepada India soal konflik yang terjadi di Kashmir, wilayah yang dihuni mayoritas muslim yang juga diklaim oleh Pakistan. Mahathir mengatakan India telah "menginvasi dan menduduki" Kashmir, wilayah di utara sub-benua India.
Hanya saja, menurut laporan Reuters, langkah importir India memblokir sawit Malaysia ini ditengarai dapat memicu naiknya persediaan sawit di negeri jiran itu serta menekan harga sawit yang menjadi patokan global.
Kendati harga berpotensi turun lantaran inventori Malaysia naik dengan adanya boikot ini, Reuters mencatat, dalam 6 bulan terakhir harga CPO sudah melesat 60% seiring dengan rendahnya produksi dan tingginya permintaan untuk biofuel.
Harga CPO juga masih berpotensi menguat di tengah ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran yang terjadi sepanjang pekan lalu cukup membuat harga komoditas bergejolak, baik komoditas perkebunan termasuk CPO, maupun pertambangan.
Rata-rata harga komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), batu bara dan emas mengalami kenaikan, sementara hanya minyak mentah (crude oil) yang tertekan karena mengimbangi kenaikan tinggi pada sepekan sebelumnya.
Seperti diketahui Iran melakukan serangan balasan atas terbunuhnya Jenderal Qasem Soleimani, Iran melakukan tembakan peluru kendali (rudal) ke Bandara Ain al-Asad yang menjadi salah satu basis tentara AS di Irak pada Rabu pagi (8/1/2020).
Hal ini turut memicu kenaikan harga minyak karena pelaku pasar khawatir jalur dan infrastruktur produksi minyak di kawasan timur tengah akan terganggu, dampaknya pasokan akan terganggu sementara permintaan stabil sehingga harga minyak melonjak.
Pergerakan Komoditas (emas, batu bara, CPO, dan minyak) dalam sepekan:
 Sumber: Refinitiv |
Khusus CPO, pada Jumat (10/1/2020), harganya berada di level RM 3.095 atau turun 0,48% dibanding posisi penutupan hari sebelumnya.
Senin kemarin (13/1/2020), harga CPO kontrak di Bursa Malaysia Derivatif (BMD) ditransaksikan di level RM 3.101/ton. Jika dibanding posisi penutupan pekan lalu harga CPO kontrak turun 33 ringgit atau terkoreksi 1,05%. Walau terkoreksi, harga CPO masih berada di rentang harga tertingginya.
Harga CPO kembali menguat pekan lalu juga ditopang sentimen Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) merilis data persediaan minyak sawit yang menggembirakan. Menurut data MPOB persediaan minyak sawit bulan Desember berada di posisi 2,01 juta ton atau level terendah sejak 27 bulan terakhir.
"Faktor yang mendongkrak harga adalah perbaikan dari sisi ekspor juga terkait pasokan yang lebih ketat di Malaysia dan Indonesia setidaknya sampai bulan Maret" kata Marcello Culterra, Manager Penjualan Institusional di Phillip Futures, melansir Reuters.
Di tengah naiknya harga CPO, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya meminta ekspor CPO dihentikan dan membuat industri hulu yang bisa menyerap produksi CPO nasional. Jokowi mengatakan Indonesia punya sumber daya sawit yang besar dan bisa membantu untuk mengurangi defisit neraca perdagangan."Jangan lagi kita ekspor CPO secara terus-terusan. Bikin menjadi barang jadi. Kalau tidak kita akan terus dimain-mainkan oleh negara lain. Uni Eropa mengeluarkan isu lingkungan untuk menyerang sawit kita," kata Jokowi, dalam HUT 47 dan Rakernas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Jakarta, Jumat (10/1/2020).Jokowi memaparkan Indonesia memiliki 13 juta hektare luas lahan perkebunan sawit. Jumlah produksi CPO Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, yang merupakan jumlah produksi terbesar di dunia. Presiden menambahkan jika Eropa tidak membeli CPO Indonesia, sudah tidak menjadi masalah untuk Indonesia. Pasalnya Indonesia sudah bisa memproduksi biodiesel B20 dan B30 pada 2020."Itu karena Eropa memproduksi minyak bunga matahari. Eropa tidak beli tidak apa-apa. Kita sekarang sudah produksi B20 dan B30. Kita pakai sendiri saja," kata Jokowi.Dengan menggunakan B30, kata Jokowi, deivisa Indonesia bisa dihemat Rp 110 triliun."Kalau sudah B50 kita sudah tidak bisa hitung. Mungkin bisa hemat Rp 200 triliun. Yang riset siapa? Oleh profesor-profesor di ITB. Bukan dari negara lain. Memang lama, sudah lama diriset namun untuk masuk ke industri, masuk ke hitung2an ekonomi memang baru 2-3 tahun yang lalu ketemunya. Lha kalau ini semua bisa masuk ke B100 saya tak bisa bayangkan bahwa kita sudah tidak impor minyak lagi. Semua yang kita pakai adalah biodiesel," tambah Jokowi.