
Perang! Harga Emas Bakal ke US$ 1.600/Oz & Bisa Rekor di 2020
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 January 2020 09:31

The Fed yang memangkas suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun lalu menjadi salah satu alasan utama harga emas membukukan penguatan 18,26% sepanjang tahun 2019. Pelambatan ekonomi yang melanda Negeri Paman Sam akibat perang dagang dengan China membuat The Fed mengubah arah kebijakan moneternya.
Pada tahun 2018, The Fed secara agresif menaikkan suku bunga, bahkan di akhir tahun itu, sang pimpinan Jerome Powell memberikan sinyal suku bunga masih akan dinaikkan lagi pada tahun 2019.
Tetapi kenyataan berbicara lain, bukannya menaikkan, untuk menahan suku bunga saja The Fed tak mampu. Tekanan akibat pelambatan ekonomi membuat The Fed mengambil keputusan memangkas suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) dalam tiga bulan beruntun pada pada periode Juli sampai Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Emas merupakan aset yang dibanderol dengan dolar AS, ketika The Fed memangkas suku bunga dolar AS mengalami tekanan. Ketika dolar AS sedang melemah, harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaannya berpotensi meningkat.
Selain itu, emas merupakan aset tanpa imbal hasil. Penurunan suku bunga di AS memberikan keuntungan bagi investornya karena turunnya opportunity cost atau biaya yang ditanggung karena memilih investasi emas, dibandingkan investasi lainnnya, misalnya obligasi AS.
Sehingga, emas menjadi sangat sensitif terhadap suku bunga The Fed. Ketika The Fed mengindikasikan tidak akan lagi menurunkan suku bunga, emas akhirnya tertekan di kuartal IV-2019.
Namun, ketika The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun 2020, emas mendapat tenaga untuk kembali menguat. Terbukti, sejak memberikan pernyataan tersebut dalam pengumuman kebijakan moneter pada Kamis (12/12/2019) WIB, harga emas terus menanjak naik. Total penguatan pada periode 12 Desember 2019 sampai 2 Januari 2020 sebesar 5,09%.
Secara matematika, dalam waktu kurang dari satu bulan harga emas telah menguat lebih dari 5%, sehingga target ke US$ 1.600/troy ons bisa saja dicapai bahkan dilewati dalam periode yang sama. Sekali lagi hal tersebut merupakan perhitungan ilmu eksak, tidak bisa diaplikasikan begitu saja dalam pergerakan instrumen pasar.
Bisa saja target ke US$ 1.600/troy ons dicapai lebih cepat, atau lebih lambat, tetapi sekali lagi sudah berada dalam jangkauan.
Selain The Fed, masih banyak bank sentral utama dunia yang menurunkan suku bunga, bank sentral Australia juga menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%.
Ada lagi European Central Bank (ECB) pada bulan September memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%.
Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Belum lagi bank sentral negara-negara emerging market yang juga memangkas suku bunga secara agresif yang menyebabkan banjir likuiditas di pasar finansial. Akibatnya inflasi secara global berpotensi meningkat, emas sekali lagi mendapat keuntungan.
Secara tradisional, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga ketika inflasi meningkat, harga emas akan menjadi target investasi pelaku pasar.
(pap/pap)
Pada tahun 2018, The Fed secara agresif menaikkan suku bunga, bahkan di akhir tahun itu, sang pimpinan Jerome Powell memberikan sinyal suku bunga masih akan dinaikkan lagi pada tahun 2019.
Tetapi kenyataan berbicara lain, bukannya menaikkan, untuk menahan suku bunga saja The Fed tak mampu. Tekanan akibat pelambatan ekonomi membuat The Fed mengambil keputusan memangkas suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) dalam tiga bulan beruntun pada pada periode Juli sampai Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Emas merupakan aset yang dibanderol dengan dolar AS, ketika The Fed memangkas suku bunga dolar AS mengalami tekanan. Ketika dolar AS sedang melemah, harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaannya berpotensi meningkat.
Selain itu, emas merupakan aset tanpa imbal hasil. Penurunan suku bunga di AS memberikan keuntungan bagi investornya karena turunnya opportunity cost atau biaya yang ditanggung karena memilih investasi emas, dibandingkan investasi lainnnya, misalnya obligasi AS.
Sehingga, emas menjadi sangat sensitif terhadap suku bunga The Fed. Ketika The Fed mengindikasikan tidak akan lagi menurunkan suku bunga, emas akhirnya tertekan di kuartal IV-2019.
Namun, ketika The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun 2020, emas mendapat tenaga untuk kembali menguat. Terbukti, sejak memberikan pernyataan tersebut dalam pengumuman kebijakan moneter pada Kamis (12/12/2019) WIB, harga emas terus menanjak naik. Total penguatan pada periode 12 Desember 2019 sampai 2 Januari 2020 sebesar 5,09%.
Secara matematika, dalam waktu kurang dari satu bulan harga emas telah menguat lebih dari 5%, sehingga target ke US$ 1.600/troy ons bisa saja dicapai bahkan dilewati dalam periode yang sama. Sekali lagi hal tersebut merupakan perhitungan ilmu eksak, tidak bisa diaplikasikan begitu saja dalam pergerakan instrumen pasar.
Bisa saja target ke US$ 1.600/troy ons dicapai lebih cepat, atau lebih lambat, tetapi sekali lagi sudah berada dalam jangkauan.
Selain The Fed, masih banyak bank sentral utama dunia yang menurunkan suku bunga, bank sentral Australia juga menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%.
Ada lagi European Central Bank (ECB) pada bulan September memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%.
Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Belum lagi bank sentral negara-negara emerging market yang juga memangkas suku bunga secara agresif yang menyebabkan banjir likuiditas di pasar finansial. Akibatnya inflasi secara global berpotensi meningkat, emas sekali lagi mendapat keuntungan.
Secara tradisional, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga ketika inflasi meningkat, harga emas akan menjadi target investasi pelaku pasar.
(pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular