Setidaknya ada tiga institusi finansial ternama yang memprediksi harga emas dunia akan mencapai US$ 1.600/troy ons di tahun ini. Melihat posisi hari ini, target tersebut sudah dalam jangkauan emas, bahkan berpotensi dicapai dalam waktu dekat.
Pada perdagangan hari kedua tahun 2020, Jumat (3/1/2019) harga emas dunia melesat 1,48% ke level US$ 1.551,40/troy ons mencapai level tertinggi sejak 5 September. Logam mulia ini tidak jauh dari level tertinggi tahun lalu yakni US$ 1.557/troy ons yang dicapai pada 4 September.
Melihat posisi hari ini, untuk mencapai level US$ 1.600/troy ons harga emas perlu naik sekitar 3% lagi. Jika dilihat dalam dua hari perdagangan tahun ini, harga emas sudah naik lebih dari 2,26%, tentunya target ke US$ 1.600/troy ons berada dalam jangkauan.
Tiga institusi yang memprediksi harga emas ke US$ 1.600/troy ons di tahun ini adalah Goldman Sachs, UBS, dan Citigroup.
Analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, memberikan alasannya ketika perekonomian global bangkit, maka mata uang utama lain juga akan menguat melawan dolar AS. Mata uang emerging market di Asia juga diprediksi menguat melawan
.
Harga emas dibanderol dengan dolar AS, ketika mata uang Paman Sam ini melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain sehingga permintaan bisa meningkat.
UBS Group AG juga memprediksi emas mencapai level yang belum pernah disentuh sejak Mei 2013 itu. UBS melihat Pemilihan Umum (Pemilu) AS pada tahun 2020 bisa memicu volatilitas emas.
Sementara Direktur Citigroup Akash Doshi mengatakan emas bisa mencapai US$ 1.600/troy ons melihat peluang bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga di tahun depan kecil, pertumbuhan ekonomi global masih akan menurun, inflasi masih lemah dan perang dagang sepertinya masih akan berlangsung.
The Fed yang memangkas suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun lalu menjadi salah satu alasan utama harga emas membukukan penguatan 18,26% sepanjang tahun 2019. Pelambatan ekonomi yang melanda Negeri Paman Sam akibat perang dagang dengan China membuat The Fed mengubah arah kebijakan moneternya.
Pada tahun 2018, The Fed secara agresif menaikkan suku bunga, bahkan di akhir tahun itu, sang pimpinan Jerome Powell memberikan sinyal suku bunga masih akan dinaikkan lagi pada tahun 2019.
Tetapi kenyataan berbicara lain, bukannya menaikkan, untuk menahan suku bunga saja The Fed tak mampu. Tekanan akibat pelambatan ekonomi membuat The Fed mengambil keputusan memangkas suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) dalam tiga bulan beruntun pada pada periode Juli sampai Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Emas merupakan aset yang dibanderol dengan dolar AS, ketika The Fed memangkas suku bunga dolar AS mengalami tekanan. Ketika dolar AS sedang melemah, harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaannya berpotensi meningkat.
Selain itu, emas merupakan aset tanpa imbal hasil. Penurunan suku bunga di AS memberikan keuntungan bagi investornya karena turunnya
opportunity cost atau biaya yang ditanggung karena memilih investasi emas, dibandingkan investasi lainnnya, misalnya obligasi AS.
Sehingga, emas menjadi sangat sensitif terhadap suku bunga The Fed. Ketika The Fed mengindikasikan tidak akan lagi menurunkan suku bunga, emas akhirnya tertekan di kuartal IV-2019.
Namun, ketika The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun 2020, emas mendapat tenaga untuk kembali menguat. Terbukti, sejak memberikan pernyataan tersebut dalam pengumuman kebijakan moneter pada Kamis (12/12/2019) WIB, harga emas terus menanjak naik. Total penguatan pada periode 12 Desember 2019 sampai 2 Januari 2020 sebesar 5,09%.
Secara matematika, dalam waktu kurang dari satu bulan harga emas telah menguat lebih dari 5%, sehingga target ke US$ 1.600/troy ons bisa saja dicapai bahkan dilewati dalam periode yang sama. Sekali lagi hal tersebut merupakan perhitungan ilmu eksak, tidak bisa diaplikasikan begitu saja dalam pergerakan instrumen pasar.
Bisa saja target ke US$ 1.600/troy ons dicapai lebih cepat, atau lebih lambat, tetapi sekali lagi sudah berada dalam jangkauan.
Selain The Fed, masih banyak bank sentral utama dunia yang menurunkan suku bunga, bank sentral Australia juga menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%.
Ada lagi European Central Bank (ECB) pada bulan September memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%.
Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan
quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir
Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Belum lagi bank sentral negara-negara
emerging market yang juga memangkas suku bunga secara agresif yang menyebabkan banjir likuiditas di pasar finansial. Akibatnya inflasi secara global berpotensi meningkat, emas sekali lagi mendapat keuntungan.
Secara tradisional, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga ketika inflasi meningkat, harga emas akan menjadi target investasi pelaku pasar.
Tepat sebelum tahun baru, Presiden AS, Donald Trump, memberikan kado yang ditunggu-tunggu pelaku pasar selama ini. Melalui akun Twitternya Trump menyatakan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari mendatang.
"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.
Kepastian penandatanganan kesepakatan dagang fase I setidaknya menurunkan risiko terjadinya eskalasi perang dagang, dan malah memunculkan peluang damai dagang kedua belah pihak. Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi di tahun depan juga kian membuncah.
Ketika perekonomian membaik, sentiment pelaku pasar akan meningkat dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi menjadi target investasi. Efeknya, emas yang merupakan aset tanpa imbal hasil menjadi tidak menarik, dan akan ditinggalkan oleh investor untuk mencari
cuan yang lebih besar.
Skenario untuk emas adalah seperti itu, tetapi fakta berkata lain. Tanda-tanda kesepakatan dagang fase I akan diteken dalam waktu dekat sudah muncul dua pekan jelang pergantian tahun, sementara harga emas justru terus bergerak naik.
Kesepakatan dagang fase I memang bisa menurunkan risiko eskalasi perang dagang, tetapi untuk mengakhiri perang dagang sepenuhnya belum tentu. Untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi AS dan China, serta ekonomi global masih perlu pembuktian melalui data-data ekonomi.
Itu artinya masih ada ketidakpastian di pasar, sehingga harga emas tetap bisa bersinar.
Pada bulan Juli 2019 lalu, Presiden dan ahli strategi global di Independent Strategy yang berbasis di London, David Roche, menjadi salah satu yang sangat bullish terhadap emas di tahun 2020.
Roche memprediksi harga emas akan mencapai US$ 2000/troy ons, itu artinya akan melewati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920/troy ons yang dicapai pada September 2011 lalu.
Sebelum Roche memberikan prediksi tersebut,
Tim Riset CNBC Indonesia juga memperkirakan emas akan kembali mencapai lagi level rekor tertinggi US$ 1.920/troy ons dengan menggunakan analisis teknikal. Di bulan Juni 2019 lalu ketika emas menembus resisten US$ 1.433/troy ons (level tertinggi Agustus 2013) Tim Riset CNBC Indonesia memberikan
outlook bullish (tren naik) bagi emas.
Dari level saat ini, emas perlu naik sekitar 23% untuk kembali mencapai rekor tertinggi US$ 1.920/troy ons. Jika mengulang lagi kinerja impresif tahun 2019, tentunya target tersebut bisa tercapai lagi.
John Roque, seorang analis teknikal bersama dengan Wolfe Research di New York City juga memprediksi harga emas akan mencetak rekor tertinggi baru di tahun ini.
Roque dan kawan-kawan pola grafik emas sedang mengulang sejarah. "Kami percaya emas akan (a) menembus resisten/tahanan atas di level US$ 1.577/troy ons, (b) bergerak menuju US$ 1.650/troy ons, dan (c) mencetak rekor tertinggi baru" tulisnya dalam laporan Wolfe Research, sebagaimana dilansir
barrons.com.
Fakta yang bisa mendukung emas terus bergerak naik adalah bank sentral yang terus menyerap emas dari pasar. Secara kolektif, pada periode 2011 sampai 2018 bank sentral rata-rata membeli emas lebih dari 500 metrik ton, berdasarkan data dari World Gold Council.
Data awal pada tahun 2019, bank sentral menunjukkan jumlah pembelian yang sama, dan tren tersebut diprediksi masih akan berlanjut di 2020 oleh George Milling-Stanley, kepala strategi komoditas emas di State Street, sebagaimana dilansir
barrons.com. Salah satu faktor yang dapat membuat harga emas melesat adalah geopolitik. Emas merupakan aset
safe haven yang selalu menjadi target investasi ketika terjadi eskalasi ketegangan geopolitik. Dan hal tersebut tidak bisa diabaikan di tahun ini.
Tahun 2020 baru memasuki hari ketiga eskalasi tensi geopolitik sudah terjadi di Timur Tengah yang membuat harga emas melesat naik Jumat kemarin. Hal ini bermula saat Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Irak mendapat serangan pada Selasa (31/12/2019) yang membuat Presiden Donald Trump geram.
"Iran membunuh kontraktor Amerika, melukai banyak orang. Kami akan merespon itu, dan akan selalu merespon. Sekarang Iran merancang serangan di Kedutaan AS di Irak. Mereka akan bertanggung jawab penuh. Sebagai tambahan, kami harap Irak menggunakan pasukan mereka untuk melindungi Kedutaan, dan diberitahukan!" cuit Trump.
Trump bahkan mengancam akan membalas Iran akan tindakan tersebut.
"Iran akan bertanggung jawab penuh atas tewasnya beberapa orang, atau kerusakan yang ditimbulkan di fasilitas kami. Mereka akan membayar dengan HARGA YANG SANGAT MAHAL! Ini bukan Peringatan, ini adalah Ancaman. Selamat Tahun Baru!" sungut Trump.
Cuitan Trump terbukti pada hari ini,
CNBC International mewartakan dalam serangan udara di Baghdad Jenderal Pasukan Elit Iran, Qassim Soleimani tewas dalam serangan udara bersama dengan wakil komandan milisi Iran atau yang dikenal dengan Popular Mobilization Forces (PMF). PMF menyatakan AS ada dibalik serangan tersebut.
Pentagon sudah mengkonfirmasi serangan yang menewaskan jendral serta Iran serta deputi komandan PMF tersebut.
Tewasnya dua tokoh penting Iran tersebut dikabarkan dapat membuat situasi di Timur Tengah semakin panas, Iran dan PMF kemungkinan akan membalas AS dan Israel.
Perang AS vs Iran kini sudah di depan mata, pelaku pasar tentunya mengalihkan investasinya ke aset-aset aman (
safe haven) seperti emas. Jika kondisi tersebut terus berlarut-larut, atau bahkan meluas lagi, emas akan semakin cepat melaju ke rekor tertinggi sepanjang masa.
TIM RISET CNBC INDONESIA