Newsletter

Semangat 45! Rupiah Bisa Tutup Tahun di Level Terkuat 2019

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 December 2019 07:01
Semangat 45! Rupiah Bisa Tutup Tahun di Level Terkuat 2019
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri bervariasi pada perdagangan Senin (30/12/2019) kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah, sementara rupiah sekali lagi menunjukkan keperkasaannya.

Aksi ambil untung (profit taking) membuat IHSG 0,47% ke level 6.299,54. Senin kemarin sekaligus menjadi perdagangan terakhir bursa saham Indonesia di 2019. Total sepanjang tahun ini, IHSG membukukan penguatan 1,7%.


Reli di bulan Desember menjadi penyelamat bursa kebanggaan Tanah Air. Total IHSG melesat 4,79%, sementara sepanjang Januari-November mengalami koreksi 2,95%.



Sepanjang tahun ini, terjadi net buy asing di semua pasar Rp 44,63 triliun, terdiri dari pasar reguler net sell Rp 23,39 triliun dan pasar nego dan tunai net buy Rp 68,02 triliun.

Berkebalikan dengan IHSG, rupiah justru perkasa. Mata Uang Garuda menguat 0,18% ke level Rp 13.920/US$. Rupiah melanjutkan performa impresif setelah mencatat penguatan empat pekan beruntun.

Dengan penguatan itu, total sepanjang tahun 2019 atau secara year-to-date (ytd) rupiah telah menguat 3,17% melawan dolar AS.

Dari pasar obligasi, harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun melemah tipis. Yield atau imbal hasil tenor 10 tahun naik 0,2 basis poin (bps) menjadi 7,098%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. 



Kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China masih menjadi headline yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial dalam negeri.

Dengan adanya kesepakatan dagang fase I dan akan berlanjut ke negosiasi fase II, perang dagang antara AS-China sudah mendekati akhir, dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit, sentiment pelaku pasar pun membaik.

Perang dagang kedua negara sudah berlangsung selama 18 bulan dan membuat perekonomian AS-China melambat, serta menyeret turun pertumbuhan ekonomi global.

Kesepakatan dagang fase I memang sudah tercapai beberapa pekan lalu, tetapi sinyal akan diteken dalam waktu dekat yakni di awal Januari semakin menguat pada pekan lalu.



Sampai saat ini, awal Januari masih menjadi waktu yang disebutkan oleh AS, ini artinya dalam satu atau dua pekan ke depan AS-China akan meneken kesepakatan tersebut.

Kemungkinan tersebut kini menguat setelah South China Morning Post Senin kemarin mewartakan Wakil Perdana Menteri China, Liu He, akan bertandang ke Washington di pekan ini untuk menandatangani kesepakatan.

South China Morning Post yang mengutip sumber yang mengetahui perihal tersebut juga memberitakan delegasi dari Tiongkok akan berada di Washington hingga pertengahan pekan depan.

[Gambas:Video CNBC]

Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street dibuka bervariatif pada perdagangan Senin (30/12/2019), setelah pada pekan lalu mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Namun tidak lama, ketiga indeks utama langsung jeblok, dan menutup perdagangan di zona merah.

Indeks S&P 500 dan Dow Jones dibuka menguat tipis, sementara Nasdaq melemah tipis juga. Di akhir perdagangan ketiga indeks kompak melemah akibat aksi ambil untung (profit taking).

Beberapa saham yang mencatat penguatan terbesar di tahun ini seperti Microsoft, Visa, dan JP Morgan justru memimpin koreksi Wall Street.



"Ini merupakan tahun yang sangat spektakuler (bagi bursa saham) dan di kuartal IV khususnya sangat bagus sehingga beberapa kali investor akan mengambil untung" kata Randy Frederick, wakil presiden trading dan derivative di Charles Schwab, sebagaimana dilansir Reuters.

Sepanjang tahun ini hingga Senin kemarin, indeks S&P 500 membukukan penguatan 28,5%, Dow Jones dan Nasdaq masing-masing 22,01% dan 32,82%. Ketiga indeks utama tersebut mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada pekan lalu.



"Adalah hal yang biasa ketika sektor-sektor yang memimpin penguatan menjadi yang pertama terkoreksi ketika investor mulai melakukan aksi jual, karena sektor tersebut mencatat kenaikan terbesar, maka risiko diterpa profit taking juga tinggi" tambah Schwab. 

Hari Senin merupakan hari ke-empat Santa Claus Rally yakni reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua perdagangan pertama di bulan Januari.

Sejak tahun 1950, indeks S&P 500 rata-rata mengalami reli 1,3% dalam lima hari terakhir di penghujung tahun dan dua hari pertama di awal tahun, berdasarkan data dari Stock Trader's Almanac, sebagaimana dilansir CNBC International.

Koreksi Wall Street pada Senin kemarin terjadi saat tanda-tanda kesepakatan dagang fase I akan diteken pada pekan depan semakin menguat.

Setelah South China Morning Post mengabarkan delegasi China akan bertandang ke AS di pekan ini, penasehat Gedung Putih, Peter Navarro, kepada Fox News mengatakan penandatanganan akan dilakukan dalam waktu satu pekan ke depan atau lebih. Navarro mengatakan kedua belah pihak masih menunggu terjemahan dari kesepakatan dagang fase I, sebagaimana dilansir CNBC International.

Rupiah hingga Senin kemarin menguat 3,17% melawan dolar AS, berada di level Rp 13.920/US$. Sang Garuda kini tidak jauh dari level terkuat tahun ini, Rp 13.885/US$ yang sempat disentuh pada bulan Februari dan Juli lalu. 

Rupiah kini berjarak 0,25% dari level terkuat tersebut dan diperdagangkan terakhir tahun ini, peluang melewatinya terbuka cukup lebar.

Sentimen pelaku pasar yang sedang bagus-bagusnya menjadi modal awal bagi rupiah untuk menutup tahun 2019 di level terkuat. Seperti disebutkan di halaman satu, kemungkinan ditandatanganinya kesepakatan dagang AS-China dalam waktu dekat sangat mungkin terjadi. 

Wakil Perdana Menteri China, Liu He, dikabarkan akan bertandang ke AS di pekan ini untuk menandatangani kesepakatan, dan delegasi dari Tiongkok dikatakan berada di Washington hingga pertengahan pekan depan. 

Belum jelas kesepakatan apa yang dimaksud, tetapi bisa jadi sebagai langkah awal sebelum kesepakatan dagang fase I resmi diteken oleh Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden China, Xi Jinping.

Hal tersebut diperkuat Peter Navarro, yang menyebut kesepakatan dagang fase I akan diteken dalam waktu satu pekan ke depan atau lebih.



Tidak menutup kemungkinan akan ada kabar bagus lagi pada hari ini yang memberikan lebih banyak detail kesepakatan dagang fase I, sehingga peluang rupiah untuk kembali menguat semakin terbuka.

Modal kedua bagi rupiah adalah indeks dolar AS yang sedang loyo. Pada perdagangan Senin indeks dolar berakhir melemah 0,17% ke 96,74, dan berada di dekat level terendah enam bulan.  



Kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China bukannya menguatkan mata uang Paman Sam, tetapi justru melemahkannya.

Optimisme akan bangkitnya perekonomian global menurunkan permintaan dolar sebagai aset aman (safe haven) sekaligus penguatan mata uang utama lainnya, yang membuat indeks dolar tertekan. 

Indeks dolar ini dibentuk dari enam mata uang, yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS, kala indeks melemah rupiah akan mendapat keuntungan lebih besar.



Faktor ketiga yang bisa mendongkrak performa Sang Garuda hari ini adalah data aktivitas manufaktur China bulan Desember yang dirilis pagi ini. Pada bulan lalu, indeks manufaktur China menunjukkan ekspansi untuk pertama kalinya setelah terkontraksi dalam enam bulan berturut-turut. 

Jika sektor pengolahan Negeri Tiongkok tersebut kembali menunjukkan ekspansi, akan menjadi tanda perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut mulai bangkit lagi. Sentiment pelaku pasar akan semakin ceria menuju pergantian tahun, dan rupiah bisa mendapat untung.

Rupiah menaklukkan dolar AS sudah pasti, dan alangkah indahnya jika bisa menutup tahun ini dengan mencapai level terkuat 2019. 

Terompet dan kembang api meriah menantimu rupiah!


Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:

  • Rilis data aktivitas manufaktur dan non-manufaktur China (8:00 WIB)


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)5,02% YoY
Inflasi (November 2019)3% YoY
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)-2,66% PDB
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)-US$ 46 juta
Cadangan devisa (November 2019)US$ 126,6 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular