
Menuju Akhir Tahun, Euro Melesat ke Level Tertinggi 4 Bulan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 December 2019 20:27

Jakarta, CNBC Indonesia -Â Nilai tukar euro menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (30/12/2019), dan menyentuh level tertinggi dalam lebih dari empat bulan terakhir.
Hingga perdagangan Jumat (27/12/2019) mata uang 19 negara ini sudah mencatat penguatan lima hari beruntun, dengan total penguatan 0,87%.
Sementara hari ini pada pukul 20:08 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1185, menguat 0,09% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya mata uang 19 negara ini sempat menguat 0,31% di US$ 1,1220. Titik tersebut merupakan level tertinggi sejak 13 Agustus lalu.
Kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China bukannya menguatkan mata uang Paman Sam, tetapi justru melemahkannya. Dalam waktu dekat, kesepakatan fase I akan diteken, dan harapan akan segera berakhirnya perang dagang kedua negara semakin menguat. Ketika perang dagang berakhir, pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan bangkit.
Optimisme akan bangkitnya perekonomian global menurunkan permintaan dolar sebagai aset aman (safe haven) sekaligus memicu penguatan euro.
"Faktor utama pelemahan dolar AS adalah sentiment terhadap risiko yang terus membaik setelah komentar-komentar dari AS terkait kesepakatan dagang fase I baru-baru ini, begitu juga dengan bank sentral AS yang terus melakukan operasi repo" kata analis dari MUFG sebagaimana dilansir Reuters.
Pada Selasa (24/12/2019) Presiden AS, Donald Trump, menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping.
"Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters.
China juga mengkonfirmasi hal tersebut, pada hari Rabu (25/12/2019). Pemerintah Beijing mengatakan sedang melakukan pembicaraan mengenai upacara penandatangan kesepakatan dagang fase I dengan Washington.
Perang dagang kedua negara sudah berlangsung selama 18 bulan dan menyebabkan pelambatan ekonomi global termasuk di zona euro. European Central Bank (ECB) sampai harus mengaktifkan kembali program pembelian aset (surat berharga dan obligasi atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) senilai 20 miliar euro per bulan untuk memberikan rangsangan ke perekonomian. ECB juga memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5% pada bulan September lalu.
QE yang dilakukan ECB kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus berlangsung hingga perekonomian membaik.
Dengan kesepakatan dagang fase I, pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa membaik, dan jika benar terjadi, maka ECB bisa mulai mengurangi atau mengakhiri QE. Dengan skenario tersebut euro pun menjadi perkasa.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Hingga perdagangan Jumat (27/12/2019) mata uang 19 negara ini sudah mencatat penguatan lima hari beruntun, dengan total penguatan 0,87%.
Sementara hari ini pada pukul 20:08 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1185, menguat 0,09% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya mata uang 19 negara ini sempat menguat 0,31% di US$ 1,1220. Titik tersebut merupakan level tertinggi sejak 13 Agustus lalu.
Optimisme akan bangkitnya perekonomian global menurunkan permintaan dolar sebagai aset aman (safe haven) sekaligus memicu penguatan euro.
"Faktor utama pelemahan dolar AS adalah sentiment terhadap risiko yang terus membaik setelah komentar-komentar dari AS terkait kesepakatan dagang fase I baru-baru ini, begitu juga dengan bank sentral AS yang terus melakukan operasi repo" kata analis dari MUFG sebagaimana dilansir Reuters.
Pada Selasa (24/12/2019) Presiden AS, Donald Trump, menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping.
"Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters.
China juga mengkonfirmasi hal tersebut, pada hari Rabu (25/12/2019). Pemerintah Beijing mengatakan sedang melakukan pembicaraan mengenai upacara penandatangan kesepakatan dagang fase I dengan Washington.
Perang dagang kedua negara sudah berlangsung selama 18 bulan dan menyebabkan pelambatan ekonomi global termasuk di zona euro. European Central Bank (ECB) sampai harus mengaktifkan kembali program pembelian aset (surat berharga dan obligasi atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) senilai 20 miliar euro per bulan untuk memberikan rangsangan ke perekonomian. ECB juga memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5% pada bulan September lalu.
QE yang dilakukan ECB kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus berlangsung hingga perekonomian membaik.
Dengan kesepakatan dagang fase I, pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa membaik, dan jika benar terjadi, maka ECB bisa mulai mengurangi atau mengakhiri QE. Dengan skenario tersebut euro pun menjadi perkasa.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Most Popular