Masih Diminati Investor, Harga Emas Tunggu Waktu Melesat

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 December 2019 00:03
Kenaikan emas pada pekan lalu bisa dibilang impresif karena terjadi saat sentiment pelaku pasar sedang bagus-bagusnya,
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia tidak banyak bergerak memasuki perdagangan sesi Amerika Serikat (AS) Senin (30/12/2019), setelah pekan lalu membukukan kenaikan impresif hingga mencapai level tertinggi sejak awal November.

Pada pukul 20:45 WIB, emas diperdagangkan di level US$ 1.511,83/troy ons, menguat 0,09% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sepanjang perdagangan Senin, logam mulia ini bergerak di rentang US$ 1.509 sampai 1.515/troy ons. 

Kenaikan emas pada pekan lalu bisa dibilang impresif karena terjadi saat sentiment pelaku pasar sedang bagus-bagusnya, dan bursa saham AS (Wall Street) terus mencetak rekor tertinggi.

Kala sentiment pelaku pasar bagus, dan Wall Street melesat naik, emas biasanya menjadi kurang menarik. Tetapi faktanya sepanjang pekan lalu logam mulia ini menguat 2,2%.



Kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China yang sebentar lagi akan diteken membuat sentiment pelaku pasar terus membaik.

Dengan adanya kesepakatan dagang fase I dan akan berlanjut ke negosiasi fase II, perang dagang antara AS-China sudah mendekati akhir. Perang dagang kedua negara sudah berlangsung selama 18 bulan dan membuat perekonomian AS-China melambat, serta menyeret turun pertumbuhan ekonomi global.



Ketika perang dagang berakhir, pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun depan, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi akan menjadi target investasi, aset aman (safe haven) seperti emas yang juga tanpa imbal hasil menjadi tidak menarik lagi.

Emas kelihatannya akan tertekan dengan kondisi tersebut, tetapi justru memberikan kejutan. Perang dagang AS-China memang kemungkinan besar akan berakhir, dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan bangkit. Tetapi benar atau tidaknya perekonomian akan bangkit tentunya memerlukan bukti dari data-data ekonomi yang akan dirilis nantinya.

Tanpa adanya ada bukti, bangkitnya pertumbuhan ekonomi masih sebatas ekspektasi. Oleh karena itu, emas masih cukup kuat bertahan ditengah euforia kesepakatan dagang fase I.

Di sisi lain, ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi global membuat mata uang utama serta emerging market menguat melawan dolar AS, yang merupakan banderol harga emas. Ketika dolar AS melemah, maka harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, dampaknya permintaan emas berpotensi meningkat.

Kesepakatan dagang fase I memberikan efek positif juga bagi emas. Pola pergerakan emas ini sebelumnya sudah diprediksi oleh analis Goldman Sachs, Mikhail Sprogis, yang memprediksi harga emas masih akan mencapai level US$ 1.600/troy ons. 
 
Selain itu, kebijakan bank sentral global yang masih ke arah pelonggaran moneter, emas masih mendapat keuntungan dari hal ini.



Tanda-tanda emas masih bersinar dimata para pelaku pasar terlihat dari peningkatan kepemilikan aset di SPDR Gold Trust, ETF berbasis emas terbesar di dunia.

CNBC International mewartakan, pada Jumat (27/12/2019) kepemilikan di SPDR Gold Trust naik 0,1% ke menjadi 893,25 ton, dan menjadi yang tertinggi sejak 29 November. Sepekan sebelumnya, total kepemilikan aset juga mengalami kenaikan sebesar 0,3%.

Selain itu, data Commodity Futures Trading Commission's (CFTC) menunjukkan volume net buy emas pada pekan lalu sebanyak 286.3000 kontrak, sama dengan pekan sebelumnya.

Posisi net buy yang tidak mengalami penurunan di saat bursa saham AS terus mencetak rekor tertinggi memberikan gambaran investor masih percaya emas akan kembali bersinar.

Sejauh ini, selain Goldman Sachs, UBS Group AG dan Citigroup juga memprediksi harga emas akan mencapai US$ 1.600/troy ons di tahun 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular