
Bunga Acuan Turun Pun Kalau Permintaan Lesu Mau Apa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2019 07:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Desember 2019. Dalam RDG terakhir pada 2019 ini, pelaku pasar memperkirakan suku suku bunga acuan bertahan di 5%.
Jika ini terjadi, maka Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat tidak mengubah BI 7 Day Reverse Repo Rate selama dua bulan beruntun. Namun sebelum November, BI sudah menurunkan suku bunga acuan empat kali beruntun masing-masing 25 basis poin (bps).
Penurunan suku bunga acuan akan bertransmisi ke biaya dana perbankan. Awalnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank Over Night (PUAB O/N) akan turun. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana, di mana pada Oktober 2019 suku bunga PUAB O/N berada di 5,04%, tidak jauh dari BI 7 Day Reverse Repo Rate.
Ketika biaya dana perbankan turun, selanjutnya suku bunga simpanan mengikuti. Pada Oktober, rata-rata tertimbang suku bunga deposito berada di 6,45%.
Setelah suku bunga deposito turun, tahapan berikutnya adalah suku bunga kredit diharapkan juga demikian. Pada Oktober, rata-rata suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) adalah masing-masing 10,04% dan 10,26%.
Akan tetapi, penurunan suku bunga ternyata tidak diimbangi dengan permintaan. Pertumbuhan penyaluran kredit terus melambat.
Pada Oktober 2019, pertumbuhan kredit tercatat 6,53% year-on-year (YoY). Melambat lumayan drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang membukukan pertumbuhan 7,89% YoY. Pertumbuhan kredit terus melambat sejak awal tahun, dan sudah berada di kisaran satu digit dalam lima bulan terakhir .
Oleh karena itu, kalau BI ingin memacu pertumbuhan kredit, maka penurunan suku bunga acuan lebih lanjut bisa menjadi opsi. Siapa tahu kalau suku bunga kredit terus turun akan merangsang permintaan kan?
Dengan percepatan pertumbuhan kredit, maka laju pertumbuhan ekonomi tentu ikut terakselerasi. Apalagi saat ini salah satu tujuan kebijakan suku bunga memang untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.
Namun masalahnya sekarang bukan di sisi suku bunga atau penawaran. Memang permintaannya yang sedang turun. Jadi walau suku bunga sudah turun sekalipun tidak berbanding lurus dengan permintaan kredit.
Ibarat pasar sudah dibuka, areal ditambah, ada diskon pula. Namun kalau tidak ada yang membeli ya sama saja bohong.
"Saat suku bunga turun, penyaluran kreditnya juga turun. Masalahnya demand yang tidak ada," ujar Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, kala berbincang dengan awak Detik Network di Gedung Transmedia, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain menurunkan suku bunga acuan, lanjut Dody, BI juga sudah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dua kali masing-masing 50 bps. Setiap penurunan GWM tersebut diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sampai Rp 26 triliun.
"GWM sudah turun dua kali, BI juga buka ruang repo setiap hari. Isunya bank menyimpan dana di SBN (Surat Berharga Negara) instead of lending ke sektor riil. Demand memang belum kuat," ungkap Dody.
Kelesuan ini bukan monopoli Indonesia. Berbagai negara juga mengalaminya, termasuk para tetangga di Asia Tenggara.
Misalnya di Singapura. Pada Oktober 2019, pertumbuhan kredit di Negeri Singa tercatat 3,53% YoY. Padahal pada awal tahun pertumbuhan kredit masih 8,26% YoY.
Begitu pula di Malaysia, bahkan laju perlambatannya lebih parah ketimbang Indonesia. Pada Oktober 2019, penyaluran kredit di Negeri Harimau Malaya tumbuh 4,86% YoY. Jauh melambat ketimbang posisi awal tahun yang tercatat 11,24% YoY.
Contoh lainnya adalah Thailand. Jika pada Januari 2019 pertumbuhan kredit di sana adalah 5,38% YoY, maka pada Oktober lajunya melambat menjadi 2,82%.
Baca: Kala ASEAN Berdoa Agar AS-China Kembali Mesra
Padahal seperti halnya BI, bank sentral di tiga negara tersebut juga telah menerapkan kebijakan moneter longgar. Sejak awal tahun, Bank Negara Malaysia menurunkan suku bunga 25 bps sementara Bank of Thailand memangkas 50 bps.
Monetary Authority of Singapore tidak menggunakan suku bunga acuan dalam kebijakan moneternya melainkan dengan menentukan kisaran nilai tukar dolar Singapura terhadap mata uang negara-negara mitra dagang utama. Namun untuk tahun ini, arah kebijakan moneter mereka tetap di posisi akomodatif.
Akan tetapi hasilnya tetap saja sama seperti di Indonesia. Pertumbuhan kredit melambat, pertumbuhan ekonomi juga demikian.
Kesamaan situasi di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand menunjukkan tantangan yang dihadapi perekonomian global saat ini memang seragam. Akar masalahnya satu, yaitu ekspor.
Selama kurang lebih setahun terakhir, pertumbuhan ekspor yang negatif alias kontraksi adalah pemandangan yang jamak terlihat. Namun di Indonesia lumayan parah, karena sudah terjadi dalam 13 bulan beruntun.
Kala ekspor terpukul, maka investasi akan lesu. Sebab namanya pengusaha tentu tidak bisa mengandalkan pasar dalam negeri saja, harus menjual barang ke luar negeri.
Namun sekarang melepas produk ke pasar ekspor sedang susah, jadi dunia usaha memilih untuk menahan diri. Tidak ada investasi baru, yang ada malah mengurangi produksi.
Ketika investasi lesu, rentetan berikutnya adalah konsumsi. Jika keuntungan korporasi turun dan tidak ada investasi baru, maka sulit bagi pekerja untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Pembukaan lapangan kerja baru pun berkurang. Akibatnya, konsumsi rumah tangga pasti terpengaruh.
Sekarang kita sudah tahu bahwa biang kerok dari masalah perlambatan kredit dan pertumbuhan ekonomi adalah ekspor. Namun mengapa ekspor bisa sampai sebegini parah?
Penyebabnya adalah perang dagang, terutama yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan China. Dua perekonomian terbesar di kolong atmosfer ini sudah saling hambat perdagangan dalam setahun terakhir dengan menerapkan berbagai bea masuk.
Lho, yang 'berkelahi' kan AS dan China tetapi mengapa dampaknya sampai terasa ke Indonesia? Di sini yang namanya rantai pasok memainkan peran penting.
AS adalah pasar ekspor terbesar buat China, sementara China menjadi negara tujuan ekspor ketiga terbesar bagi AS. Saat produk China sulit masuk ke AS dan demikian juga sebaliknya, maka pengusaha di dua negara tersebut terpaksa mengurangi produksi. Buat apa memproduksi banyak-banyak kalau tidak laku?
Kala dunia usaha mengurangi produksi, maka kebutuhan untuk mendatangkan bahan baku dan barang modal ikut berkurang. Nah, bahan baku dan barang modal ini sering kali didatangkan dari negara lain.
Contohnya Indonesia. China adalah mitra dagang utama bagi Indonesia dengan nilai ekspor US$ 19,81 miliar selama Januari-September 2019. Saat permintaan dari China turun karena pengurangan produksi, pasti ekspor Indonesia ikut turun. Inilah yang disebut rantai pasok, yang sekarang kondisinya sedang rusak gara-gara perang dagang.
Sekarang hubungan AS-China sudah membaik, dan segera menyepakati perjanjian damai dagang fase I. Semoga fase-fase berikutnya akan tercipta sehingga AS-China bisa 100% berdamai. Apabila Washington dan Beijing sudah akur lagi, maka diharapkan rantai pasok akan pulih kemudian perdagangan global membaik.
Namun selama rantai pasok masih terganggu dan ekspor terkontraksi, maka permintaan bakal sulit meningkat. Mau suku bunga acuan diturunkan berapa kali pun kalau situasinya masih seperti sekarang ya susah...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Tahan Bunga Acuan 4,5%, BI Tempuh 4 Kebijakan Tambahan
Jika ini terjadi, maka Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat tidak mengubah BI 7 Day Reverse Repo Rate selama dua bulan beruntun. Namun sebelum November, BI sudah menurunkan suku bunga acuan empat kali beruntun masing-masing 25 basis poin (bps).
Penurunan suku bunga acuan akan bertransmisi ke biaya dana perbankan. Awalnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank Over Night (PUAB O/N) akan turun. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana, di mana pada Oktober 2019 suku bunga PUAB O/N berada di 5,04%, tidak jauh dari BI 7 Day Reverse Repo Rate.
Ketika biaya dana perbankan turun, selanjutnya suku bunga simpanan mengikuti. Pada Oktober, rata-rata tertimbang suku bunga deposito berada di 6,45%.
Setelah suku bunga deposito turun, tahapan berikutnya adalah suku bunga kredit diharapkan juga demikian. Pada Oktober, rata-rata suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) adalah masing-masing 10,04% dan 10,26%.
Akan tetapi, penurunan suku bunga ternyata tidak diimbangi dengan permintaan. Pertumbuhan penyaluran kredit terus melambat.
Pada Oktober 2019, pertumbuhan kredit tercatat 6,53% year-on-year (YoY). Melambat lumayan drastis dibandingkan bulan sebelumnya yang membukukan pertumbuhan 7,89% YoY. Pertumbuhan kredit terus melambat sejak awal tahun, dan sudah berada di kisaran satu digit dalam lima bulan terakhir .
Oleh karena itu, kalau BI ingin memacu pertumbuhan kredit, maka penurunan suku bunga acuan lebih lanjut bisa menjadi opsi. Siapa tahu kalau suku bunga kredit terus turun akan merangsang permintaan kan?
Dengan percepatan pertumbuhan kredit, maka laju pertumbuhan ekonomi tentu ikut terakselerasi. Apalagi saat ini salah satu tujuan kebijakan suku bunga memang untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.
Namun masalahnya sekarang bukan di sisi suku bunga atau penawaran. Memang permintaannya yang sedang turun. Jadi walau suku bunga sudah turun sekalipun tidak berbanding lurus dengan permintaan kredit.
Ibarat pasar sudah dibuka, areal ditambah, ada diskon pula. Namun kalau tidak ada yang membeli ya sama saja bohong.
"Saat suku bunga turun, penyaluran kreditnya juga turun. Masalahnya demand yang tidak ada," ujar Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, kala berbincang dengan awak Detik Network di Gedung Transmedia, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain menurunkan suku bunga acuan, lanjut Dody, BI juga sudah menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dua kali masing-masing 50 bps. Setiap penurunan GWM tersebut diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sampai Rp 26 triliun.
"GWM sudah turun dua kali, BI juga buka ruang repo setiap hari. Isunya bank menyimpan dana di SBN (Surat Berharga Negara) instead of lending ke sektor riil. Demand memang belum kuat," ungkap Dody.
Kelesuan ini bukan monopoli Indonesia. Berbagai negara juga mengalaminya, termasuk para tetangga di Asia Tenggara.
Misalnya di Singapura. Pada Oktober 2019, pertumbuhan kredit di Negeri Singa tercatat 3,53% YoY. Padahal pada awal tahun pertumbuhan kredit masih 8,26% YoY.
Begitu pula di Malaysia, bahkan laju perlambatannya lebih parah ketimbang Indonesia. Pada Oktober 2019, penyaluran kredit di Negeri Harimau Malaya tumbuh 4,86% YoY. Jauh melambat ketimbang posisi awal tahun yang tercatat 11,24% YoY.
Contoh lainnya adalah Thailand. Jika pada Januari 2019 pertumbuhan kredit di sana adalah 5,38% YoY, maka pada Oktober lajunya melambat menjadi 2,82%.
Baca: Kala ASEAN Berdoa Agar AS-China Kembali Mesra
Padahal seperti halnya BI, bank sentral di tiga negara tersebut juga telah menerapkan kebijakan moneter longgar. Sejak awal tahun, Bank Negara Malaysia menurunkan suku bunga 25 bps sementara Bank of Thailand memangkas 50 bps.
Monetary Authority of Singapore tidak menggunakan suku bunga acuan dalam kebijakan moneternya melainkan dengan menentukan kisaran nilai tukar dolar Singapura terhadap mata uang negara-negara mitra dagang utama. Namun untuk tahun ini, arah kebijakan moneter mereka tetap di posisi akomodatif.
Akan tetapi hasilnya tetap saja sama seperti di Indonesia. Pertumbuhan kredit melambat, pertumbuhan ekonomi juga demikian.
Kesamaan situasi di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand menunjukkan tantangan yang dihadapi perekonomian global saat ini memang seragam. Akar masalahnya satu, yaitu ekspor.
Selama kurang lebih setahun terakhir, pertumbuhan ekspor yang negatif alias kontraksi adalah pemandangan yang jamak terlihat. Namun di Indonesia lumayan parah, karena sudah terjadi dalam 13 bulan beruntun.
Kala ekspor terpukul, maka investasi akan lesu. Sebab namanya pengusaha tentu tidak bisa mengandalkan pasar dalam negeri saja, harus menjual barang ke luar negeri.
Namun sekarang melepas produk ke pasar ekspor sedang susah, jadi dunia usaha memilih untuk menahan diri. Tidak ada investasi baru, yang ada malah mengurangi produksi.
Ketika investasi lesu, rentetan berikutnya adalah konsumsi. Jika keuntungan korporasi turun dan tidak ada investasi baru, maka sulit bagi pekerja untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Pembukaan lapangan kerja baru pun berkurang. Akibatnya, konsumsi rumah tangga pasti terpengaruh.
Sekarang kita sudah tahu bahwa biang kerok dari masalah perlambatan kredit dan pertumbuhan ekonomi adalah ekspor. Namun mengapa ekspor bisa sampai sebegini parah?
Penyebabnya adalah perang dagang, terutama yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan China. Dua perekonomian terbesar di kolong atmosfer ini sudah saling hambat perdagangan dalam setahun terakhir dengan menerapkan berbagai bea masuk.
Lho, yang 'berkelahi' kan AS dan China tetapi mengapa dampaknya sampai terasa ke Indonesia? Di sini yang namanya rantai pasok memainkan peran penting.
AS adalah pasar ekspor terbesar buat China, sementara China menjadi negara tujuan ekspor ketiga terbesar bagi AS. Saat produk China sulit masuk ke AS dan demikian juga sebaliknya, maka pengusaha di dua negara tersebut terpaksa mengurangi produksi. Buat apa memproduksi banyak-banyak kalau tidak laku?
Kala dunia usaha mengurangi produksi, maka kebutuhan untuk mendatangkan bahan baku dan barang modal ikut berkurang. Nah, bahan baku dan barang modal ini sering kali didatangkan dari negara lain.
Contohnya Indonesia. China adalah mitra dagang utama bagi Indonesia dengan nilai ekspor US$ 19,81 miliar selama Januari-September 2019. Saat permintaan dari China turun karena pengurangan produksi, pasti ekspor Indonesia ikut turun. Inilah yang disebut rantai pasok, yang sekarang kondisinya sedang rusak gara-gara perang dagang.
Sekarang hubungan AS-China sudah membaik, dan segera menyepakati perjanjian damai dagang fase I. Semoga fase-fase berikutnya akan tercipta sehingga AS-China bisa 100% berdamai. Apabila Washington dan Beijing sudah akur lagi, maka diharapkan rantai pasok akan pulih kemudian perdagangan global membaik.
Namun selama rantai pasok masih terganggu dan ekspor terkontraksi, maka permintaan bakal sulit meningkat. Mau suku bunga acuan diturunkan berapa kali pun kalau situasinya masih seperti sekarang ya susah...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Tahan Bunga Acuan 4,5%, BI Tempuh 4 Kebijakan Tambahan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular