Duh, 'Suasana Kebatinan' Global Masih Penuh Keprihatinan...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 December 2019 06:24
Negara-negara G20 baru saja selesai mengadakan pertemuan tingkat deputi menteri dan bank sentral.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara G20 baru saja selesai mengadakan pertemuan tingkat deputi menteri dan bank sentral. Suasana kebatinan dalam pertemuan tersebut masih agak gloomy.

Demikian diungkapkan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo kala berbincang dengan awak Detik Network di Gedung Transmedia, Jakarta, Senin (9/12/2019). Pada 2020, perekonomian global diramal tumbuh 3,3-3,4% tetapi bias ke bawah.

"Bisa ke 3,1-3,3%. Angka 3,3% untuk 2020 mungkin turun," ujar Dody.

Risiko yang dihadapi tahun depan, lanjut Dody, kurang lebih sama dengan 2019. Tensi dagang, terutama antara Amerika Serikat (AS) dengan China, kemungkinan masih akan berlanjut. Bahkan 2020 dampaknya bisa lebih meluas, karena mulai dirasakan oleh negara-negara yang tidak berhubungan langsung dengan perang dagang AS vs China.


Oleh karena itu, tambah Dody, sepertinya faktor eksternal yaitu net ekspor masih akan sulit diandalkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Tahun ini saja, volume perdagangan dunia bisa sampai minus 0,5-0,6%.

"Kalau ekspor melambat, maka sudah pasti konsumsi dan investasi akan melambat. Kemudian harga komoditas akan turun. Kemungkinan sampai 2020 ekspor-impor tidak begitu improving," katanya.

Situasi semacam ini, menurut Dody, membuat arah kebijakan moneter global masih akan cenderung akomodatif. Kebijakan pembelian aset oleh bank sentral (quantitative easing) yang sempat ditinggalkan kini mulai muncul lagi, terutama di sejumlah negara maju. Ditambah dengan suku bunga yang cenderung rendah, maka sudah jelas posisi (stance) kebijakan moneter masih bias longgar.

"Ke depan mungkin arahnya masih lower for longer untuk kebijakan suku bunga," ujarnya.

Suku bunga rendah di negara-negara maju, demikian Dody, kemudian membuat investor mengalihkan portofolio ke aset yang lebih memberikan keuntungan. Negara berkembang menjadi pilihan. Ini yang membuat arus modal masih deras mengalir ke Indonesia sehingga membuat nilai tukar rupiah mampu menguat 2,54% year-to-date terhadap dolar AS.


Di satu sisi arus modal asing memang begitu nikmat. Namun di sisi lain ada risiko yang harus diwaspadai.

"Positif untuk kita, tetapi potensi risiko. Ingat 2008 dan 2018, volatile kalau terjadi sudden reversal. Seberapa panjang ketidakpastiannya, kita harus hati-hati. Kalau manajemen makro kurang baik, bisa memicu reversal. Pasar keuangan yang tidak dalam juga mendorong arus modal untuk keluar," jelas Dody.

[Gambas:Video CNBC]




(aji/sef) Next Article Rapor Ekonomi G20: Lumayan, Indonesia Rangking 3!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular