Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan membuat sebuah prediksi yang sangat optimistis.
Luhut memprediksi kurs rupiah bisa berada di bawah Rp 10.000/dolar AS. Menurutnya, hal itu bisa terjadi seiring dengan membaiknya defisit transaksi berjalan (
/CAD) Indonesia dalam tiga tahun ke depan.
"Rupiah bisa di bawah Rp 10.000 per dolar AS, cadangan dolar AS naik. Ekonomi tumbuh ke depan," kata Luhut di kantornya, Selasa (3/12), seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Dirinya memperkirakan CAD dalam dua hingga tiga tahun ke depan bisa ditekan ke kisaran US$ 1 miliar. Sebagai catatan, data terakhir yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan CAD pada kuartal III-2019 adalah senilai US$ 7,67 miliar atau setara dengan 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Luhut, perbaikan CAD akan didukung oleh implementasi program mandatori campuran biodiesel 20% ke minyak solar (B20) dan mandatori program biodiesel 30% ke minyak solar (B30).
Selain itu, menurut Luhut perbaikan CAD juga akan ditopang oleh potensi kenaikan ekspor dalam dua tahun ke depan. Beberapa komoditas yang pengapalannya akan naik adalah baja, katode, baterai lithium.
"Saya lihat tidak ada masalah lagi," imbuhnya, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Belum lagi jika berbicara sentimen positif dari potensi investasi dan masuknya wisatawan mancanegara yang juga akan memperbaiki kinerja rupiah. Untuk diketahui, investasi dan pariwisata akan menambah stok dolar AS di Indonesia yang pada akhirnya akan membantu rupiah dalam memukul mundur dolar AS.
Per penutupan perdagangan kemarin (6/12/2019), rupiah berada di level Rp 14.035/dolar AS di pasar
. Terdapat jurang yang sangat dalam yang memisahkan rupiah dari posisi saat ini dengan proyeksi dari Luhut yakni di bawah Rp 10.000/dolar AS.
Lantas, realistiskah target yang dikemukakan oleh Luhut?
Asal tahu saja, kali terakhir rupiah ditransaksikan di bawah level Rp 10.000/dolar AS adalah pada Juli 2013 silam. Ini artinya, sudah enam tahun lebih rupiah tak pernah berada di level yang diproyeksikan Luhut.
Kini, mari coba membandingkan angka pertumbuhan ekonomi dengan posisi rupiah. Untuk diketahui, salah satu faktor penting yang mempengaruhi pergerakan rupiah adalah kinerja perekonomian tanah air, yang salah satunya direpresentasikan oleh angka pertumbuhan ekonomi.
Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi, rupiah akan cenderung mendapatkan apresiasi yang besar dari pelaku pasar sehingga akan berada di posisi yang relatif kuat. Sebaliknya, ketika pertumbuhan ekonomi rendah, rupiah akan cenderung ‘dihukum’ pelaku pasar sehingga posisinya akan relatif lemah.
Pada tahun 2010 hingga 2012, rupiah seringkali didapati berada di kisaran Rp 8.000/dolar AS. Pada tahun 2013, rupiah harus puas berada di kisaran Rp 9.000/dolar AS sejak awal tahun, sebelum akhirnya menembus level psikologis Rp 10.000/dolar AS pada bulan Juli.
Mengutip data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dalam periode 2010-2012 tak sekaliun pertumbuhan ekonomi terpeleset ke bawah angka 6%. Secara berturut-turut pada periode 2010-2012, perekonomian Indonesia tumbuh masing-masing sebesar 6,38%, 6,17%, dan 6,03%.
Barulah pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi tergelincir ke bawah level 6%, tepatnya di level 5,56%. Selepas itu, tak ada lagi ceritanya pertumbuhan ekonomi bisa mencapai level 6%. Terhitung dalam periode 2014 hingga saat ini, tak ada ceritanya juga rupiah bisa berada di bawah level Rp 10.000/dolar AS.
Dari pemaparan di atas, bisa dilihat bahwa level pertumbuhan ekonomi yang bisa menopang rupiah untuk bergerak di bawah level Rp 10.000/dolar AS adalah kisaran 6%.
Celakanya, kini pertumbuhan ekonomi jauh berada di bawah level 6%. Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di batas bawah level 5%.
Teranyar, pada awal November BPS merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal III-2019. Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan. Secara kumulatif dalam tiga kuartal pertama tahun 2019, perekonomian hanya tumbuh 5,04% secara tahunan.
Lantas, secara keseluruhan laju perekonomian di sepanjang tahun 2019 terbilang mengecewakan, hampir mustahil untuk mampu tumbuh sesuai dengan target pemerintah yakni 5,3%, apalagi 6% seperti pada periode 2010-2012 silam.
Usai sudah periode satu Presiden Joko Widodo (Jokowi), ternyata perekonomian Indonesia gagal meroket seperti yang dijanjikannya. Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.
Tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, kalau keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%.
Wajar jika rupiah tak lagi bisa merangsek ke bawah level Rp 10.000/dolar AS. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata tak bisa menjustifikasi mata uang Garuda untuk berada di posisi yang begitu kuat.
Dalam beberapa tahun mendatang, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan masih akan berada di batas bawah 5%. Dalam publikasinya, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,07% pada tahun 2020, diikuti oleh pertumbuhan sebesar 5,23% dan 5,31% pada tahun 2021 dan 2022.
Pada tahun 2023 dan 2024, IMF memproyeksikan perekonomian Indonesia tetap tumbuh di batas bawah 5%, tepatnya di level 5,29% dan 5,27%.
Lebih lanjut, jika berbicara mengenai rupiah, ada indikator lain yang juga penting selain angka pertumbuhan ekonomi. Indikator yang dimaksud adalah transaksi berjalan/current account.
Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran. Neraca pembayaran sendiri merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari tanah air.
Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.
Angka NPI menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi rupiah di hadapan dolar AS. Kala NPI positif, maka rupiah akan cenderung kuat. Sebaliknya, kala NPI negatif, maka rupiah akan cenderung lemah.
Namun, jika berbicara mengenai rupiah, sejatinya transaksi berjalan bisa dikatakan lebih penting dari neraca pembayaran itu sendiri. Secara definisi, transaksi berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari tiga hal: ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.
Pos pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, beserta dengan arus devisa dari hasil investasi (baik itu investasi langsung, investasi portofolio, maupun investasi lainnya).
Kemudian, pos pendapatan sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya. Pos pendapatan sekunder mencakup pula transfer dari tenaga kerja (remitansi).
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Di tahun 2010 dan 2011, transaksi berjalan Indonesia selalu positif. Berdasarkan data yang dipublikasikan Bank Indonesia (BI), transaksi berjalan pada tahun 2010 dan 2011 membukukan surplus masing-masing sebesar 0,67% dan 0,19% dari PDB.
Pada tahun 2012, transaksi berjalan memburuk menjadi defisit senilai US$ 24,4 miliar atau setara dengan 2,65% dari PDB. Transaksi berjalan yang defisit sering disebut dengan istilah current account deficit/CAD.
Pada tahun 2013 kala rupiah akhirnya menembus level psikologis Rp 10.000/dolar AS, CAD yang membengkak menjadi 3,19% dari PDB menjadi biang keladi utamanya.
Di tahun-tahun berikutnya, transaksi berjalan tak pernah lagi membukukan surplus. Bahkan, defisit pada tahun 2018 mencapai 2,93% dari PDB, menandai defisit terparah dalam empat tahun.
Dari pemaparan di atas, bisa dilihat bahwa posisi transaksi berjalan yang bisa menopang rupiah untuk bergerak di bawah level Rp 10.000/dolar AS adalah transaksi berjalan yang surplus.
Dengan melihat posisi defisit terakhir di kuartal III-2019 yang masih berada di level 2,66% dari PDB, agaknya sulit untuk memutarbalikkan transaksi berjalan menjadi surplus.
Menteri Luhut boleh saja pede jika implementasi program mandatori B20 dan B30 bisa menekan CAD sekaligus memperbaiki kinerja rupiah, namun nyatanya hingga kini neraca dagang Indonesia masih saja defisit. Melansir data BPS, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,79 miliar pada periode Januari-Oktober 2019.
Memang, defisit pada periode Januari-Oktober 2019 yang senilai US$ 1,79 miliar jauh lebih baik ketimbang defisit pada periode Januari-Oktober 2018 yang mencapai US$ 5,51 miliar. Namun tetap saja, neraca dagang Indonesia masih defisit.
Kedepannya, ada ketidakpastian besar yang menyelimuti perekonomian dunia, yakni perang dagang AS-China. Kini, perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut sudah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun.
Sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Ada kemungkinan bahwa perang dagang AS-China akan berlarut-larut hingga tahun 2020. Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa AS mungkin lebih baik menunggu hingga pasca pemilihan presiden tahun 2020 untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Sebagai informasi, pemilihan presiden AS pada tahun depan baru akan digelar pada bulan November.
Lebih lanjut, Trump sudah mengungkapkan bahwa dirinya tak memiliki tenggat waktu untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh pihak Beijing.
Jika perang dagang kedua negara benar berlarut-larut hingga tahun depan, harga komoditas yang banyak berkontribusi terhadap total ekspor Indonesia akan tertekan. Praktis, neraca dagang akan ikut tertekan. Untuk diketahui, dua komoditas ekspor utama Indonesia adalah batu bara dan CPO.
Belum lagi jika berbicara proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang masih juga tak jelas bagaimana akhirnya. Kini, Uni Eropa telah memundurkan tenggat waktu bagi Inggris untuk berpisah dengan mereka menjadi 31 Januari 2020.
Masih ada kemungkinan yang besar bahwa Inggris akan bercerai dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun. Skenario ini dikenal dengan istilah no-deal Brexit. Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Memang, Inggris belum lama ini telah resmi lolos dari jurang resesi. Pada kuartal II-2019, perekonomian Inggris tercatat jatuh sebesar 0,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter). Namun, pada kuartal III-2019 perekonomian Inggris bisa tumbuh 0,3% secara kuartalan. Lantas, Inggris pun lolos dari jurang resesi lantaran perekonomiannya tak terkontraksi selama dua kuartal beruntun.
Namun, kalau no-deal Brexit benar terjadi, tentu potensi terjadinya resesi di Negeri Ratu Elizabeth akan kembali mencuat. Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan harga komoditas, beserta dengan ekspor Indonesia.
Lebih lanjut, kalau dicermati lebih jauh, lesunya perekonomian domestik dan ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian global berpotensi membuat investor asing kembali enggan untuk menanamkan dananya di pasar saham tanah air.
Pada tahun lalu, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 50,75 triliun di pasar saham tanah air. Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data aliran modal investor asing di pasar saham secara tahunan melalui IDX Fact Book yang dipublikasikan oleh BEI. Data yang berhasil dikumpulkan adalah pada periode 2004-2018.
Dari data tersebut terlihat bahwa jual bersih pada tahun lalu merupakan yang terbesar dalam setidaknya 15 tahun. Selain itu, pasar saham Indonesia juga mengalami sesuatu yang sangat jarang atau mungkin belum pernah dialami sebelumnya: investor asing membukukan jual bersih selama dua tahun berturut-turut.
Melansir data yang dipublikasikan oleh RTI, sepanjang tahun ini investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 37,16 triliun di pasar saham tanah air.
Namun, aksi beli investor asing tersebut banyak didominasi oleh transaksi di pasar negosiasi, seiring dengan aksi akuisisi dengan nilai jumbo yang dilakukan oleh perusahaan asing terhadap perusahaan-perusahaan terbuka di Indonesia.
Pada awal tahun ini, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) selaku bank kedua terbesar di Jepang merampungkan akuisisi atas saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), yakni dengan mengambil alih 3,33 miliar unit saham BTPN atau setara dengan 56,92% dari total saham BTPN yang tercatat. Nilai dari transaksi yang dieksekusi di pasar negosiasi ini mencapai Rp 14,28 triliun dan kemudian tercatat sebagai beli bersih investor asing di pasar saham Indonesia.
Lebih jumbo lagi, pada April 2019 ada akuisisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) dan PT Bank Nasional Parahyangan Tbk (BBNP) oleh Mitsubishi UFJ Financial Group selaku bank terbesar di Jepang yang nilainya mencapai lebih dari Rp 52 triliun. Transaksi tersebut kembali dieksekusi di pasar negosiasi dan dicatat sebagai beli bersih investor asing di pasar saham Indonesia.
Nah, guna mengeliminasi transaksi investor asing di pasar negosiasi tersebut, kita bisa menggunakan data transaksi investor asing di pasar reguler. Hasilnya, sepanjang tahun ini investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 26,33 triliun.
Kalau di tahun depan tak ada transaksi dengan nilai jumbo di pasar negosiasi seperti pada tahun ini dan jika hasrat pelaku pasar untuk melakukan aksi jual di pasar reguler masih saja besar, praktis rupiah akan mendapatkan tekanan.
Memang, pada tahun lalu derasnya aliran modal investor asing ke pasar obligasi sukses meredam tekanan terhadap rupiah. Sepanjang tahun 2018, dana senilai Rp 57,1 triliun dibawa masuk oleh investor asing untuk dibelanjakan obligasi terbitan pemerintah Indonesia.
Pada tahun ini, aliran modal investor asing kembali mengalir deras ke pasar obligasi. Melansir publikasi dari Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, hingga tanggal 5 Desember 2019 investor asing telah membukukan beli bersih senilai Rp 174,23 triliun di pasar obligasi tanah air.
Namun, kini imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia sudah berada di level yang relatif rendah. Per akhir perdagagan kemarin, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun (FR0078) berada di level 7,109%. Dalam beberapa waktu terakhir yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia sudah berangsur-angsur bergerak turun.
Per November 2019, tingkat inflasi secara tahunan tercatat di level 3%. Ada selisih sebesar 411 basis poin (bps) antara yield dengan inflasi. Spread tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai pada tahun-tahun sebelumnya. Jika dirata-rata dalam periode 2015-2018, spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi adalah sebesar 450 bps.
Jika pada tahun-tahun mendatang pasar obligasi tak lagi kebanjiran dana segar dari investor asing, praktis rupiah akan mendapatkan tekanan.
Dengan memperhatikan berbagai perkembangan yang ada yakni laju pertumbuhan ekonomi yang masih akan berada di batas bawah 5%, transaksi berjalan yang masih akan defisit, ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian global (perang dagang & Brexit), hingga potensi mandeknya aliran modal investor asing ke pasar saham dan obligasi Indonesia, rasanya sulit untuk mengharapkan rupiah kembali berada di bawah level Rp 10.000/dolar AS dalam beberapa tahun mendatang seperti yang diproyeksikan oleh Luhut.
TIM RISET CNBC INDONESIA