
Ramal Rupiah ke Bawah Rp 10.000/Dolar AS, Luhut Asal Bicara?

Lebih lanjut, kalau dicermati lebih jauh, lesunya perekonomian domestik dan ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian global berpotensi membuat investor asing kembali enggan untuk menanamkan dananya di pasar saham tanah air.
Pada tahun lalu, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 50,75 triliun di pasar saham tanah air. Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data aliran modal investor asing di pasar saham secara tahunan melalui IDX Fact Book yang dipublikasikan oleh BEI. Data yang berhasil dikumpulkan adalah pada periode 2004-2018.
Dari data tersebut terlihat bahwa jual bersih pada tahun lalu merupakan yang terbesar dalam setidaknya 15 tahun. Selain itu, pasar saham Indonesia juga mengalami sesuatu yang sangat jarang atau mungkin belum pernah dialami sebelumnya: investor asing membukukan jual bersih selama dua tahun berturut-turut.
Melansir data yang dipublikasikan oleh RTI, sepanjang tahun ini investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 37,16 triliun di pasar saham tanah air.
Namun, aksi beli investor asing tersebut banyak didominasi oleh transaksi di pasar negosiasi, seiring dengan aksi akuisisi dengan nilai jumbo yang dilakukan oleh perusahaan asing terhadap perusahaan-perusahaan terbuka di Indonesia.
Pada awal tahun ini, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) selaku bank kedua terbesar di Jepang merampungkan akuisisi atas saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), yakni dengan mengambil alih 3,33 miliar unit saham BTPN atau setara dengan 56,92% dari total saham BTPN yang tercatat. Nilai dari transaksi yang dieksekusi di pasar negosiasi ini mencapai Rp 14,28 triliun dan kemudian tercatat sebagai beli bersih investor asing di pasar saham Indonesia.
Lebih jumbo lagi, pada April 2019 ada akuisisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) dan PT Bank Nasional Parahyangan Tbk (BBNP) oleh Mitsubishi UFJ Financial Group selaku bank terbesar di Jepang yang nilainya mencapai lebih dari Rp 52 triliun. Transaksi tersebut kembali dieksekusi di pasar negosiasi dan dicatat sebagai beli bersih investor asing di pasar saham Indonesia.
Nah, guna mengeliminasi transaksi investor asing di pasar negosiasi tersebut, kita bisa menggunakan data transaksi investor asing di pasar reguler. Hasilnya, sepanjang tahun ini investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 26,33 triliun.
Kalau di tahun depan tak ada transaksi dengan nilai jumbo di pasar negosiasi seperti pada tahun ini dan jika hasrat pelaku pasar untuk melakukan aksi jual di pasar reguler masih saja besar, praktis rupiah akan mendapatkan tekanan.
Memang, pada tahun lalu derasnya aliran modal investor asing ke pasar obligasi sukses meredam tekanan terhadap rupiah. Sepanjang tahun 2018, dana senilai Rp 57,1 triliun dibawa masuk oleh investor asing untuk dibelanjakan obligasi terbitan pemerintah Indonesia.
Pada tahun ini, aliran modal investor asing kembali mengalir deras ke pasar obligasi. Melansir publikasi dari Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, hingga tanggal 5 Desember 2019 investor asing telah membukukan beli bersih senilai Rp 174,23 triliun di pasar obligasi tanah air.
Namun, kini imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia sudah berada di level yang relatif rendah. Per akhir perdagagan kemarin, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun (FR0078) berada di level 7,109%. Dalam beberapa waktu terakhir yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia sudah berangsur-angsur bergerak turun.
Per November 2019, tingkat inflasi secara tahunan tercatat di level 3%. Ada selisih sebesar 411 basis poin (bps) antara yield dengan inflasi. Spread tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai pada tahun-tahun sebelumnya. Jika dirata-rata dalam periode 2015-2018, spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi adalah sebesar 450 bps.
Jika pada tahun-tahun mendatang pasar obligasi tak lagi kebanjiran dana segar dari investor asing, praktis rupiah akan mendapatkan tekanan.
Dengan memperhatikan berbagai perkembangan yang ada yakni laju pertumbuhan ekonomi yang masih akan berada di batas bawah 5%, transaksi berjalan yang masih akan defisit, ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian global (perang dagang & Brexit), hingga potensi mandeknya aliran modal investor asing ke pasar saham dan obligasi Indonesia, rasanya sulit untuk mengharapkan rupiah kembali berada di bawah level Rp 10.000/dolar AS dalam beberapa tahun mendatang seperti yang diproyeksikan oleh Luhut.
TIM RISET CNBC INDONESIA