
Ramal Rupiah ke Bawah Rp 10.000/Dolar AS, Luhut Asal Bicara?

Menteri Luhut boleh saja pede jika implementasi program mandatori B20 dan B30 bisa menekan CAD sekaligus memperbaiki kinerja rupiah, namun nyatanya hingga kini neraca dagang Indonesia masih saja defisit. Melansir data BPS, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,79 miliar pada periode Januari-Oktober 2019.
Memang, defisit pada periode Januari-Oktober 2019 yang senilai US$ 1,79 miliar jauh lebih baik ketimbang defisit pada periode Januari-Oktober 2018 yang mencapai US$ 5,51 miliar. Namun tetap saja, neraca dagang Indonesia masih defisit.
Kedepannya, ada ketidakpastian besar yang menyelimuti perekonomian dunia, yakni perang dagang AS-China. Kini, perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut sudah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun.
Sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Ada kemungkinan bahwa perang dagang AS-China akan berlarut-larut hingga tahun 2020. Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa AS mungkin lebih baik menunggu hingga pasca pemilihan presiden tahun 2020 untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Sebagai informasi, pemilihan presiden AS pada tahun depan baru akan digelar pada bulan November.
Lebih lanjut, Trump sudah mengungkapkan bahwa dirinya tak memiliki tenggat waktu untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh pihak Beijing.
Jika perang dagang kedua negara benar berlarut-larut hingga tahun depan, harga komoditas yang banyak berkontribusi terhadap total ekspor Indonesia akan tertekan. Praktis, neraca dagang akan ikut tertekan. Untuk diketahui, dua komoditas ekspor utama Indonesia adalah batu bara dan CPO.
Belum lagi jika berbicara proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang masih juga tak jelas bagaimana akhirnya. Kini, Uni Eropa telah memundurkan tenggat waktu bagi Inggris untuk berpisah dengan mereka menjadi 31 Januari 2020.
Masih ada kemungkinan yang besar bahwa Inggris akan bercerai dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun. Skenario ini dikenal dengan istilah no-deal Brexit. Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Memang, Inggris belum lama ini telah resmi lolos dari jurang resesi. Pada kuartal II-2019, perekonomian Inggris tercatat jatuh sebesar 0,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter). Namun, pada kuartal III-2019 perekonomian Inggris bisa tumbuh 0,3% secara kuartalan. Lantas, Inggris pun lolos dari jurang resesi lantaran perekonomiannya tak terkontraksi selama dua kuartal beruntun.
Namun, kalau no-deal Brexit benar terjadi, tentu potensi terjadinya resesi di Negeri Ratu Elizabeth akan kembali mencuat. Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan harga komoditas, beserta dengan ekspor Indonesia.