Ini Sederet Ramalan Suramnya Sektor Batu Bara & Faktanya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 December 2019 14:06
Ini Sederet Ramalan Suramnya Sektor Batu Bara & Faktanya
Foto: Batu Bara (REUTERS/Jason Lee)
Jakarta, CNBC Indonesia - Minggu 2 Desember 2019, Fitch Ratings dalam laporannya menyebut outlook batu bara masih akan lesu di tahun 2020. Harga batu bara diramal turun tahun depan.

Fitch merevisi turun harga batu bara untuk tahun 2020. Untuk batu bara Qinghuangdao dengan kalori sebesar 5.500 kcal/kg diperkirakan berada di US$ 80/ton.

Sementara itu untuk batu bara Newcastle Australia dengan kalori 6.000 kcal/kg diprediksi menyentuh harga US$ 73/ton. Harga batu bara diprediksi turun dari sebelumnya masing-masing US$ 86/ton dan US$ 73/ton.

Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle ditutup di US$ 69,7 /ton, sedangkan harga batu bara acuan (HBA) RI untuk bulan November berada di US$ 66,27/ton.



Sejak awal tahun harga batu bara Newcastle telah terkoreksi 31,3% dan HBA anjlok 28,3%. Rata-rata harga batu bara ICE Newcastle untuk periode 11 bulan tahun ini berada di US$ 79,4/ton, jauh lebih rendah dibanding rata-rata harga batu bara tahun 2018 yang mencapai US$ 105,7/ton. Ke depan Fitch memperkirakan harga batu bara akan terus melemah.



Tak bisa dipungkiri bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pergerakan harga batu bara seperti kondisi perekonomian global, permintaan batu bara, ketersediaan dan keterjangkauan harga sumber energi lainnya.

Tahun 2019 kondisi ekonomi global memang tak berseri. Kisruh dagang antara dua raksasa ekonomi global AS dan China membuat volume perdagangan terkontraksi dan roda ekonomi berputar melambat. Ketika ekonomi sedang lesu, konsumsi energi juga kena dampaknya.

Perekonomian di negara-negara dengan konsumsi batu bara terbesar di dunia juga terkena 'anemia' alias lemah, letih, lesu dan lunglai. Hal itu tercermin dari indek PMI manufaktur AS, China dan Jepang yang mengalami beberapa kali kontraksi sepanjang tahun ini.

Angka PMI di atas 50 mengindikasikan bahwa aktivitas manufaktur yang ekspansif. Sebaliknya angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi pada aktivitas manufaktur suatu negara.

Aktivitas manufaktur Paman Sam terus mengalami penurunan sejak awal tahun dan mulai terkontraksi pada Agustus lalu.

Tak jauh berbeda, aktivitas manufaktur China terkontraksi sejak Januari-April 2019, kemudian pulih dalam periode dua bulan setelahnya dan melanjutkan kontraksi setelahnya. Aktivitas manufaktur Negeri Sakura juga mengalami kontraksi sejak bulan Mei dan belum kembali pulih.

Baca'Suram! Fitch Beri Outlook Negatif Sektor Batu Bara RI 2020'

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyampaikan indeks harga komoditas ekspor pada awal November 2019 minus hingga 4%, lebih dalam ketimbang selama 2018 yang minusnya hanya 2,8%. Khusus harga batu bara, BI punya catatan khusus.

"Pelemahan ekonomi global terus menekan harga komoditas," tulis Bank Indonesia dalam laporan Tinjauan Kebijakan Moneter November 2019 seperti ditulis Senin (2/12/2019).

Penurunan harga komoditas disebabkan oleh penurunan harga batu bara, CPO, dan logam. Penurunan harga batu bara terutama disebabkan oleh penurunan permintaan.

"Ke depan, harga batu bara diperkirakan masih berada dalam tren menurun seiring dengan masih lemahnya ekonomi global, terutama Tiongkok dan India, serta semakin meningkatnya komitmen untuk mensubstitusi penggunaan batu bara dengan energi ramah lingkungan," ungkap BI.
Walaupun aktivitas manufaktur India masih menunjukkan adanya ekspansi. Namun sejak Mei aktivitas manufaktur cenderung melambat. Ketika sektor manufaktur melambat maka bukan pertanda baik untuk batu bara.

Keempat negara tersebut merupakan negara dengan konsumsi batu bara terbesar di dunia. Pada 2018 saja konsumsi batu bara China mencapai 1,9 miliar ton, India mencapai 452 juta ton, AS 317 juta ton dan Jepang 117 juta ton.

Sehingga ketika membahas batu bara mata akan tertuju pada China dan India. Perkembangan terbaru, China memberlakukan pembatasan impor batu bara untuk dua bulan terakhir kuartal IV tahun ini. Alasannya total impor tahun ini telah melebihi target.

Pada 2018, total impor batu bara China mencapai 281,2 juta ton. Namun impor batu bara China periode 10 bulan pertama sudah mencapai 276,24 juta ton atau naik 9,6% dibanding tahun lalu. Pembatasan kuota impor yang dilakukan oleh China juga dibarengi dengan produksi batu bara China yang naik.

Produksi batu bara China bulan Oktober mencapai 324,9 juta ton atau naik 6,5% dibanding tahun sebelumnya. Produksi batu bara China mencapai 46,7% dari total produksi global. Sehingga peningkatan produksi batu bara di tengah perlambatan ekonomi dan tekanan harga tentu bukan kabar baik.

Sementara itu, ekonomi India juga sedang tidak baik-baik saja. Baru-baru ini perusahaan tambang batu bara terbesar di India, Coal India mengumumkan produksi batu bara bulan November turun 3,9% menjadi 50,02 juta ton. Produksi pada bulan yang sama tahun lalu mencapai 52,06 juta ton.

Aktivitas penggalian batu bara juga terkontraksi 7,6% menjadi 47,37 juta ton dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 51,26 juta ton.

Perlu diketahui bersama Coal India merupakan BUMN India dan menjadi perusahaan tambang batu bara terbesar ke-enam di dunia. Coal India berkontribusi terhadap 82% dari total produksi negeri India.

Penurunan produksi batu bara Coal India terjadi seiring dengan penurunan konsumsi batu bara India. Konsumsi batu bara India sejak April tahun ini memang mengalami penurunan. Penurunan ini tercatat merupakan penurunan pertama dalam periode 10 tahun terakhir.

Berdasarkan studi The Institute for Energy Economics and Financial Analysis, sejak April-Oktober tahun ini, konsumsi batu bara termal untuk pembangkit listrik turun 2,3 juta ton dibanding periode yang sama tahun lalu, mengutip Quartz India. Penurunan konsumsi batu bara terjadi akibat peningkatan suplai energi tenaga air dan tenaga nuklir. India yang diguyur hujan lebat dan terlebat dalam 25 tahun terakhir menyebabkan pasokan air jadi melimpah.

Hasilnya pembangkit listrik tenaga air menghasilkan 96 terawatt-hours (TWh), 9,8% lebih tinggi dari ketetapan Central Electricity Authority (CEA) India. Output listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir juga naik 11,45% melebihi rencana CEA.

Di samping peningkatan output dari sumber energi alternatif. Kondisi perekonomian India yang melambat turut mempengaruhi konsumsi listrik. Sejak April-September 2019,daya listrik yang dihasilkan rencananya mencapai 680 TWh. Namun nyatanya jauh lebih rendah sekitar 659 TWh.

Penurunan produksi ini seharusnya dapat meningkatkan impor batu bara untuk memenuhi kebutuhan domestik. Namun nyatanya konsumsi listrik dan batu bara pun terus mengalami penurunan.

Saat ini total persediaan batu bara di pelabuhan utama China masih menumpuk. Total persediaan di pelabuhan Caofeidian, Qinhuangdao dan Jingtang di China bagian utara hingga periode 29 November mencapai 17,31 juta ton.

Jumlah tersebut lebih banyak dibanding periode yang sama tahun lalu sebanyak 16,93 juta ton.Mengutip data Refinitiv.

Impor batu bara India pada November juga turun menjadi 16 juta ton dari periode yang sama sebelumnya yang mencapai 17 juta ton. Persediaan batu bara di seluruh wilayah India tercatat mencapai 26 juta ton untuk 15 hari penggunaan

Ke depan harga batu bara masih berpotensi tertekan mengingat konsumsi batu bara Amerika dan Eropa secara historis terus turun. Penurunan konsumsi batu bara di kedua wilayah tersebut diakibatkan oleh kebijakan dan agenda untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil.

Berbagai negara di belahan dunia bagian barat mulai mendiversifikasi sumber energinya dan mulai beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Prospek batu bara di tahun-tahun mendatang masih akan ditopang oleh pasar Asia terutama Asia Tenggara.

Tantangan lain yang juga dihadapi oleh industri batu bara adalah biaya energi terbarukan yang semakin murah. Walau masih relatif lebih mahal ketimbang batu bara, biaya untuk menghasilkan listrik dengan tenaga air dan dengan sumber lainnya akan semakin murah.



Tantangan ini harus segera disikapi oleh negara-negara produsen seperti Indonesia dan Australia. Belum lagi Rusia sekarang sudah mulai masuk ke pasar batu bara Asia Timur.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular