
Banyak Ramalan Buruk Batu Bara RI, Begini Tanggapan Produsen
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
04 December 2019 15:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia tidak menampik laporan Fitch Ratings (Fitch) yang memprediksi prospek industri batu bara Tanah Air masih akan lesu di tahun 2020.
Hendra mengatakan suramnya outlook batu bara dikarenakan harga komoditas tersebut masih akan tertekan di tahun depan, dengan kisaran harga di level US$ 70/metrik ton.
".. apa yang disampaikan oleh Fitch akan mendekati kenyataan, karena harga juga masih tertekan," ujar Hendra dalam wawancara di acara Power Lunch CNBC Indonesia hari ini, Rabu (4/12/2019).
Menurut Hendra harga batu bara tertekan karena kondisi pasar masih oversupply alias terdapat kelebihan pasokan. Terlebih lagi, proporsi oversupply di pasar global paling banyak berasal dari Ibu Pertiwi.
"Dengan situasi pasar yang masih oversupply, supply lebih besar dari demand, diperkirakan tekanan harga masih akan berlanjut ke 2020. Jadi kita lihat di 2020, more or less seperti 2019, bahkan bisa lebih rendah," tegas Hendra.
Sebagai informasi, dalam laporan tanggal 2 Desember, Fitch merevisi turun harga batu bara untuk tahun 2020. Untuk batu bara Qinghuangdao dengan kalori sebesar 5.500 kcal/kg diperkirakan berada di US$ 80/ton.
Sementara itu untuk batu bara Newcastle Australia dengan kalori 6.000 kcal/kg diprediksi menyentuh harga US$ 73/ton. Harga batu bara diprediksi turun dari sebelumnya masing-masing US$ 86/ton dan US$ 73/ton.
Sejak awal tahun harga batu bara Newcastle telah terkoreksi 31,3% dan harga batu bara acuan (HBA) anjlok 28,3%. Rata-rata harga batu bara ICE Newcastle untuk periode 11 bulan tahun ini berada di US$ 79,4/ton, jauh lebih rendah dibanding rata-rata harga batu bara tahun 2018 yang mencapai US$ 105,7/ton. Ke depan Fitch memperkirakan harga batu bara akan terus melemah.
Lebih lanjut, Hendra menambahkan, bahwa selain harga, faktor lain yang membuat analis mengambil sikap konservatif adalah faktor ketidakpastian regulasi. Ambil contoh adalah regulasi terkait domestic market obligation (DMO).
Terkait DMO, menurut Hendra ada baiknya dilakukan peninjauan ulang, baik dari segi ketentuan harga maupun persentase.
Saat ini, kebijakan DMO disertai dengan kisaran harga yang ditentukan oleh pemerintah. Jadi penambang harus menjual batu bara sesuai dengan range tersebut. Sedangkan menurut Hendra, tidak perlu ada patokan harga.
"Sebaiknya DMO batu bara 2020 harganya tidak perlu dipatok, jadi ikutin harga pasar. Toh harga pasar sekarang lebih rendah dri HBA batu bara," jelas Hendra.
Kemudian, proporsi DMO juga sebaiknya diturunkan ke level 20%, melihat kapasitas pasar domestik saat ini. Permintaan DPR yang mengajukan DMO di level 60% menurut Hendra tidak masuk akal. "Real demand domestik 60% itu masih panjang."
Jika memang pemerintah menginginkan level DMO setinggi itu, patut dicatat bahwa batu bara masih menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar. Dengan DMO yang tinggi, maka ada trade off devisa ekspor batu bara menurun drastis sehingga pemerintah perlu merelakan anggarannya.
(dwa/hps) Next Article Harga Batu Bara Naik, Sahamnya Ikut Terbang
Hendra mengatakan suramnya outlook batu bara dikarenakan harga komoditas tersebut masih akan tertekan di tahun depan, dengan kisaran harga di level US$ 70/metrik ton.
".. apa yang disampaikan oleh Fitch akan mendekati kenyataan, karena harga juga masih tertekan," ujar Hendra dalam wawancara di acara Power Lunch CNBC Indonesia hari ini, Rabu (4/12/2019).
Menurut Hendra harga batu bara tertekan karena kondisi pasar masih oversupply alias terdapat kelebihan pasokan. Terlebih lagi, proporsi oversupply di pasar global paling banyak berasal dari Ibu Pertiwi.
Sebagai informasi, dalam laporan tanggal 2 Desember, Fitch merevisi turun harga batu bara untuk tahun 2020. Untuk batu bara Qinghuangdao dengan kalori sebesar 5.500 kcal/kg diperkirakan berada di US$ 80/ton.
Sementara itu untuk batu bara Newcastle Australia dengan kalori 6.000 kcal/kg diprediksi menyentuh harga US$ 73/ton. Harga batu bara diprediksi turun dari sebelumnya masing-masing US$ 86/ton dan US$ 73/ton.
Sejak awal tahun harga batu bara Newcastle telah terkoreksi 31,3% dan harga batu bara acuan (HBA) anjlok 28,3%. Rata-rata harga batu bara ICE Newcastle untuk periode 11 bulan tahun ini berada di US$ 79,4/ton, jauh lebih rendah dibanding rata-rata harga batu bara tahun 2018 yang mencapai US$ 105,7/ton. Ke depan Fitch memperkirakan harga batu bara akan terus melemah.
Lebih lanjut, Hendra menambahkan, bahwa selain harga, faktor lain yang membuat analis mengambil sikap konservatif adalah faktor ketidakpastian regulasi. Ambil contoh adalah regulasi terkait domestic market obligation (DMO).
Terkait DMO, menurut Hendra ada baiknya dilakukan peninjauan ulang, baik dari segi ketentuan harga maupun persentase.
Saat ini, kebijakan DMO disertai dengan kisaran harga yang ditentukan oleh pemerintah. Jadi penambang harus menjual batu bara sesuai dengan range tersebut. Sedangkan menurut Hendra, tidak perlu ada patokan harga.
"Sebaiknya DMO batu bara 2020 harganya tidak perlu dipatok, jadi ikutin harga pasar. Toh harga pasar sekarang lebih rendah dri HBA batu bara," jelas Hendra.
Kemudian, proporsi DMO juga sebaiknya diturunkan ke level 20%, melihat kapasitas pasar domestik saat ini. Permintaan DPR yang mengajukan DMO di level 60% menurut Hendra tidak masuk akal. "Real demand domestik 60% itu masih panjang."
Jika memang pemerintah menginginkan level DMO setinggi itu, patut dicatat bahwa batu bara masih menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar. Dengan DMO yang tinggi, maka ada trade off devisa ekspor batu bara menurun drastis sehingga pemerintah perlu merelakan anggarannya.
(dwa/hps) Next Article Harga Batu Bara Naik, Sahamnya Ikut Terbang
Most Popular