Ikuti Bursa Asia, IHSG Juga Jeblok, Adakah Harapan dari BI?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
21 November 2019 09:48
Ikuti Bursa Asia, IHSG Juga Jeblok, Adakah Harapan dari BI?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah pada perdagangan hari ini, Kamis (21/11/2019) dengan mencatatkan koreksi 0,31% ke level 6.135,76.

Kemudian, investor asing juga terlihat memilih untuk melego saham-saham domestik, di mana pada pukul 09:23 WIB, asing membukukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 33,31 miliar

Pergerakan IHSG searah dengan bursa saham acuan kawasan Asia yang juga kompak ditransaksikan di zona merah. Indeks Nikkei anjlok 1,76%, indeks Kospi anjlok 1,55%, indeks Straits Times terkoreksi 1,19%, indeks Hang Seng merosot 2,06%, dan indeks Shanghai melemah 0,6%.


Sentimen global dipenuhi awan mendung seiring dengan resiko bahwa perjanjian dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dan China akan sulit untuk dapat dicapai pada akhir tahun ini.

Reuters melaporkan bahwa penandatanganan kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China dapat mundur hingga tahun 2020 lantaran China berusaha untuk mendapatkan penghapusan bea masuk yang lebih agresif dari AS.

Pemberitaan dari Reuters tersebut mengutip pakar-pakar di bidang perdagangan dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

Sebelumnya, seperti diketahui nada putus asa terkait perkembangan damai dagang telah dilontarkan oleh pihak China. Reporter CNBC International, Eunice Yoo, melaporkan bahwa para petinggi di Beijing pesimistis terhadap prospek perjanjian dagang AS-China.

Penyebabnya, China dibuat kesal dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa AS belum menyepakati penghapusan bea masuk tambahan yang sebelumnya dibebankan terhadap produk impor asal China. Padahal, pihak China menganggap bahwa mereka telah mencapai kesepakatan terkait dengan hal tersebut dengan AS.


"Mood Beijing terkait deal dagang sangat pesimistis. China kecewa setelah Trump mengatakan tidak ada tarif yang ditarik," ujar Yoo.

Akan tetapi, pihak Washington menyampaikan bahwa penghapusan tarif, seperti keinginan Beijing, tidak dapat dengan mudah disepakati jika China juga tidak memenuhi permintaan AS. Hal ini terkait dengan transfer teknologi paksa, isu kekayaan intelektual, dan pembelian produk pertanian AS dalam jumlah besar, dilansir dari Reuters.

Presiden AS Donald Trump pun kemarin (20/11/2019) juga mengindikasikan bahwa perkembangan damai damai dagang dengan Negeri Tiongkok tidak sesuai harapan.

"Saya tidak berpikir mereka melangkah ke level yang saya inginkan," ujar Trump kepada wartawan ketika ditanya terkait status perjanjian dagang dengan China, dikutip dari Reuters.
Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia akan diumumkan siang hari ini, di mana konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan tetap dipertahankan di level 5%.

Sebelumnya, BI sudah empat bulan beruntun menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Ini menjadi penurunan paling agresif sejak 2016.

Oleh karena itu, sepertinya BI ingin 'mengambil nafas' dulu sembari melihat sejauh mana dampak penurunan suku bunga acuan yang sudah mencapai 100 bps. Sejauh ini dampaknya sudah mulai terlihat meski masih samar-samar.

Terlebih lagi mengingat Indonesia masih diuntungkan oleh tren penurunan suku bunga acuan global. Jadi walau BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun empat kali, cuan di pasar keuangan Indonesia masih bisa bersaing.

Meskipun demikian, terdapat potensi BI akan menurunkan suku bunga acuannya lagi. Pasalnya, kekhawatiran BI sejak tahun lalu soal defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sepertinya sudah berkurang. Pada kuartal III-2019, defisit transaksi berjalan tercatat 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang nyaris menyentuh 3% PDB.

Apalagi pada Oktober ada kabar baik yaitu neraca perdagangan membukukan surplus US$ 161,3 juta. Setidaknya ada harapan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2019 membaik, meski indikasinya masih terlalu awal.

Defisit transaksi berjalan yang lebih 'jinak' bisa membuka ruang bagi MH Thamrin untuk melonggarkan kebijakan moneter. Sebab, kebutuhan untuk mendatangkan arus modal portofolio untuk menutup lubang di transaksi berjalan menjadi berkurang.

Ditambah lagi Indonesia punya kebutuhan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III-2019, ekonomi Indonesia 'hanya' tumbuh 5,02%. Laju terlemah sejak kuartal II-2017.

Seperti yang sudah disinggung di atas, penurunan suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan mampu mempercepat laju penurunan suku bunga kredit perbankan. Saat suku bunga semakin rendah, maka minat rumah tangga dan dunia usaha untuk berekspansi bakal meningkat. Hasilnya tentu pertumbuhan ekonomi yang lebih kencang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular