
Ikuti Bursa Asia, IHSG Juga Jeblok, Adakah Harapan dari BI?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
21 November 2019 09:48

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia akan diumumkan siang hari ini, di mana konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) akan tetap dipertahankan di level 5%.
Sebelumnya, BI sudah empat bulan beruntun menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Ini menjadi penurunan paling agresif sejak 2016.
Oleh karena itu, sepertinya BI ingin 'mengambil nafas' dulu sembari melihat sejauh mana dampak penurunan suku bunga acuan yang sudah mencapai 100 bps. Sejauh ini dampaknya sudah mulai terlihat meski masih samar-samar.
Terlebih lagi mengingat Indonesia masih diuntungkan oleh tren penurunan suku bunga acuan global. Jadi walau BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun empat kali, cuan di pasar keuangan Indonesia masih bisa bersaing.
Meskipun demikian, terdapat potensi BI akan menurunkan suku bunga acuannya lagi. Pasalnya, kekhawatiran BI sejak tahun lalu soal defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sepertinya sudah berkurang. Pada kuartal III-2019, defisit transaksi berjalan tercatat 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang nyaris menyentuh 3% PDB.
Apalagi pada Oktober ada kabar baik yaitu neraca perdagangan membukukan surplus US$ 161,3 juta. Setidaknya ada harapan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2019 membaik, meski indikasinya masih terlalu awal.
Defisit transaksi berjalan yang lebih 'jinak' bisa membuka ruang bagi MH Thamrin untuk melonggarkan kebijakan moneter. Sebab, kebutuhan untuk mendatangkan arus modal portofolio untuk menutup lubang di transaksi berjalan menjadi berkurang.
Ditambah lagi Indonesia punya kebutuhan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III-2019, ekonomi Indonesia 'hanya' tumbuh 5,02%. Laju terlemah sejak kuartal II-2017.
Seperti yang sudah disinggung di atas, penurunan suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan mampu mempercepat laju penurunan suku bunga kredit perbankan. Saat suku bunga semakin rendah, maka minat rumah tangga dan dunia usaha untuk berekspansi bakal meningkat. Hasilnya tentu pertumbuhan ekonomi yang lebih kencang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas)
Sebelumnya, BI sudah empat bulan beruntun menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Ini menjadi penurunan paling agresif sejak 2016.
Oleh karena itu, sepertinya BI ingin 'mengambil nafas' dulu sembari melihat sejauh mana dampak penurunan suku bunga acuan yang sudah mencapai 100 bps. Sejauh ini dampaknya sudah mulai terlihat meski masih samar-samar.
Meskipun demikian, terdapat potensi BI akan menurunkan suku bunga acuannya lagi. Pasalnya, kekhawatiran BI sejak tahun lalu soal defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sepertinya sudah berkurang. Pada kuartal III-2019, defisit transaksi berjalan tercatat 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang nyaris menyentuh 3% PDB.
Apalagi pada Oktober ada kabar baik yaitu neraca perdagangan membukukan surplus US$ 161,3 juta. Setidaknya ada harapan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2019 membaik, meski indikasinya masih terlalu awal.
Defisit transaksi berjalan yang lebih 'jinak' bisa membuka ruang bagi MH Thamrin untuk melonggarkan kebijakan moneter. Sebab, kebutuhan untuk mendatangkan arus modal portofolio untuk menutup lubang di transaksi berjalan menjadi berkurang.
Ditambah lagi Indonesia punya kebutuhan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III-2019, ekonomi Indonesia 'hanya' tumbuh 5,02%. Laju terlemah sejak kuartal II-2017.
Seperti yang sudah disinggung di atas, penurunan suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan mampu mempercepat laju penurunan suku bunga kredit perbankan. Saat suku bunga semakin rendah, maka minat rumah tangga dan dunia usaha untuk berekspansi bakal meningkat. Hasilnya tentu pertumbuhan ekonomi yang lebih kencang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Most Popular