
Kabur Lagi! Selama November Asing Catat Net Sell Rp 5,2 T
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 November 2019 17:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi pada perdagangan hari ini, Kamis (14/11/2019) dengan melemah 0,71% menjadi 6.098,95.
Investor asing juga terlihat kembali memilih untuk melepas saham-saham di bursa domestik Ibu Pertiwi karena membukukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 221,72 miliar.
Data Bursa Efek Indonesia mencatat sepanjang November jumlah net sell menembus Rp 3,8 triliun khusus di pasar reguler. Digabung dengan pasar tunai dan nego Rp 1,48 triliun, maka net sell asing selama November tembus Rp 5,29 triliun.
Sementara itu beberapa saham emiten yang paling banyak dilego investor asing pada perdagangan hari ini, di antaranya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-Rp 80,22 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-Rp 59,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-Rp 34,94 milar), PT Astra International Tbk/ASII (-Rp 20,66 miliar), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-Rp 18,76 miliar).
Lebih lanjut, sentimen yang membuat investor asing menarik diri dari perdagangan pasar saham domestik adalah awan kelabu yang menyelimuti prospek ekonomi para macan Asia.
Data-data ekonomi terbaru menunjukkan perlambatan ekonomi menjangkiti Benua Kuning dan bukan tidak mungkin bakal terjadi resesi.
Pagi tadi, Jepang merilis laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized).
Performa tersebut jauh melambat dari kuartal sebelumnya yang dapat tumbuh 1,8% dan lebih rendah dari konsensus Reuters yang memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Negeri Sakura kuartal lalu menyentuh level 0,8%.
"Permintaan domestik bisa menutup perlambatan di sisi eksternal. Namun ini tidak bisa terus diharapkan. Oleh karena itu, sepertinya ekonomi kuartal IV-2019 akan mengalami kontraksi," tegas Taro Saito, Executive Research Fellow di NLI Research Institute, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, data ekonomi suram lainnya juga datang dari China.
Sepanjang bulan Oktober, penjualan ritel Negeri Tiongkok tercatat tumbuh sebesar 7,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka tersebut melambat dari capaian bulan September yang naik 7,8% YoY dan lebih rendah dari konsensus pasar yang mengestimasi pertumbuhan 7,9% YoY, dilansir Trading Economics.
Lalu, Biro Nasional Statistik China menyatakan produksi sektor industri turun menjadi 4,7% pada Oktober dari 5,8% pada bulan sebelumnya. Nilai ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memprediksi pertumbuhan di level 5,4% YoY.
Sementara itu, rilis data investasi fixed-asset, yang merupakan satu faktor kunci roda pertumbuhan ekonomi, dalam 10 bulan pertama tahun ini hanya tumbuh 5,2% atau terendah sejak 1996, dilansir dari Reuters.
Para analis memberi peringatan ekonomi China bisa menghadapi kondisi terparah dalam tiga dekade terakhir.
"Pelemahan lanjutan bisa terjadi lagi," kata Martin Lynge Rasmussen dari Capital Economics, seperti diwartakan AFP. Dia berharap ada kebijakan pelonggaran moneter lebih lanjut di China.
Data ekonomi Jepang dan China yang mendung tentu membawa kekhawatiran bagi pelaku pasar. Terlebih lagi mengingat bahwa kedua negara tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia yang berada di posisi top 3.
Perekonomian Beijing dan Tokyo yang melambat tentu akan berdampak pada permintaan barang modal, barang jadi, serta laju investasi ke Ibu Pertiwi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Investor asing juga terlihat kembali memilih untuk melepas saham-saham di bursa domestik Ibu Pertiwi karena membukukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 221,72 miliar.
Data Bursa Efek Indonesia mencatat sepanjang November jumlah net sell menembus Rp 3,8 triliun khusus di pasar reguler. Digabung dengan pasar tunai dan nego Rp 1,48 triliun, maka net sell asing selama November tembus Rp 5,29 triliun.
Sementara itu beberapa saham emiten yang paling banyak dilego investor asing pada perdagangan hari ini, di antaranya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-Rp 80,22 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-Rp 59,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-Rp 34,94 milar), PT Astra International Tbk/ASII (-Rp 20,66 miliar), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-Rp 18,76 miliar).
Lebih lanjut, sentimen yang membuat investor asing menarik diri dari perdagangan pasar saham domestik adalah awan kelabu yang menyelimuti prospek ekonomi para macan Asia.
Data-data ekonomi terbaru menunjukkan perlambatan ekonomi menjangkiti Benua Kuning dan bukan tidak mungkin bakal terjadi resesi.
Pagi tadi, Jepang merilis laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized).
Performa tersebut jauh melambat dari kuartal sebelumnya yang dapat tumbuh 1,8% dan lebih rendah dari konsensus Reuters yang memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Negeri Sakura kuartal lalu menyentuh level 0,8%.
"Permintaan domestik bisa menutup perlambatan di sisi eksternal. Namun ini tidak bisa terus diharapkan. Oleh karena itu, sepertinya ekonomi kuartal IV-2019 akan mengalami kontraksi," tegas Taro Saito, Executive Research Fellow di NLI Research Institute, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, data ekonomi suram lainnya juga datang dari China.
Sepanjang bulan Oktober, penjualan ritel Negeri Tiongkok tercatat tumbuh sebesar 7,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka tersebut melambat dari capaian bulan September yang naik 7,8% YoY dan lebih rendah dari konsensus pasar yang mengestimasi pertumbuhan 7,9% YoY, dilansir Trading Economics.
Lalu, Biro Nasional Statistik China menyatakan produksi sektor industri turun menjadi 4,7% pada Oktober dari 5,8% pada bulan sebelumnya. Nilai ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memprediksi pertumbuhan di level 5,4% YoY.
Sementara itu, rilis data investasi fixed-asset, yang merupakan satu faktor kunci roda pertumbuhan ekonomi, dalam 10 bulan pertama tahun ini hanya tumbuh 5,2% atau terendah sejak 1996, dilansir dari Reuters.
Para analis memberi peringatan ekonomi China bisa menghadapi kondisi terparah dalam tiga dekade terakhir.
"Pelemahan lanjutan bisa terjadi lagi," kata Martin Lynge Rasmussen dari Capital Economics, seperti diwartakan AFP. Dia berharap ada kebijakan pelonggaran moneter lebih lanjut di China.
Data ekonomi Jepang dan China yang mendung tentu membawa kekhawatiran bagi pelaku pasar. Terlebih lagi mengingat bahwa kedua negara tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia yang berada di posisi top 3.
Perekonomian Beijing dan Tokyo yang melambat tentu akan berdampak pada permintaan barang modal, barang jadi, serta laju investasi ke Ibu Pertiwi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tags
Related Articles
Recommendation


Prancis Akui Palestina, Pemimpin Eropa Kasih Komentar Tak Terduga

Lautan Warga Gaza Terima Paket Bantuan Makanan, Begini Potretnya

3 Jenis Makanan yang Dapat Meningkatkan Fungsi Ginjal

Prabowo Diam-Diam Beri Arahan Soal IKN, Ini Permintaannya

Siap-siap! Prabowo Bakal Bagi-bagi Uang & Diskon ke Warga RI

Awas Perang Saudara Arab Pecah! Milisi Pro-Iran Serbu Kementerian

Aceh Diserang Tentara AS Nyamar Jadi Pedagang, 500 Orang Tewas

Ini 4 Risiko Jika Rekening Bank Tidak Digunakan atau Dormant
Most Popular